Metode Penemuan Hukum

SUDUT HUKUM | Pada hakikatnya tidak ada perundang-undangan yang selengkaplengkapnya atau sejelas-jelasnya dalam mengatur seluruh kegiatan manusia. Pada kenyataannya aturan perundang-undangan bersifat stastis dan rigid (kaku), sedangkan manusia selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Sehingga dapat dimengerti kalau kemudian muncul suatu ungkapan “Het recht hink achter de feiten ann”, bahwa hukum tertulis selalu ketinggalan dalam peristiwanya.

Suatu perundangan-undangan yang tidak jelas harus dijelaskan terlebih dahulu, sedangkan peraturan perundang-undangan yang tidak lengkap tidak dapat secara langsung diterapkan terhadap peristiwanya. Demikian pula jika peraturan perundang-undangan tidak ada, maka harus dibentuk atau diciptakan aturan hukumnya. Oleh karena itu dalam menghadapi suatu peristiwa konkrit harus ditemukan hukumnya yaitu dengan menjelaskan, melengkapi, dan menciptakan aturan hukumnya.

Metode Penemuan HukumUntuk menemukan hukumnya dalam suatu peristiwa diperlukan suatu ilmu bantu yaitu metode penemuan hukum. Beberapa metode penemuan hukum yang selama ini sudah dikenal yaitu: Interpretasi (penafsiran), argumentasi (penalaran, redenering, reasoning) dan eksposisi (konstruksi hukum).

Apabila peraturan perundang-undangan tidak jelas digunakanlah metode Interpretasi, apabila peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak ada digunakan metode argumentasi dan apabila peraturan perundang-undangannya tidak ada digunakan metode konstruksi hukum.

Menurut Sudikno Mertokusumo dalam bukunya “Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum”,

Interpretasi adalah metode penemuan hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Sebaliknya dapat juga terjadi hakim harus memeriksa dan mengadili perkara yang tidak ada peraturannya yang khusus. Di sini hakim menghadapi kekosongan atau ketidaklengkapan undang-undang yang harus diisi atau dilengkapi, sebab hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara dengan dalih tidak ada hukumnya atau tidak lengkap hukumnya. Dalam hal ini apa yang harus dilakukan oleh hakim untuk menemukan hukumnya? Untuk mengisi kekosongan itu digunakan metode berpikir analogi, metode penyempitan hukum dan metode a contartio.

Beberapa metode penemuan hukum yang selama ini sudah dikenal dan dilakukan dalam praktek antara lain: metode Interpretasi, argumentum a contrario, rechtvervijning, fiksi hukum dan eksposisi (konstruksi hukum).


Metode Interpretasi (Penafsiran)

Metode Interpretasi adalah metode untuk menafsirkan terhadap teks perundang-undangan yang tidak jelas, agar perundang-undangan tersebut dapat diterapkan terhadap peristiwa konkret tertentu. Penafsiran tidak hanya dilakukan oleh hakim, tetapi juga oleh peneliti hukum dan mereka yang berhubungan dengan kasus (konflik) dan peraturan-peraturan hukum.

Menafsirkan undang-undang adalah kewajiban hukum dari hakim. Tugas penting dari hakim ialah menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal nyata di masyarakat. Dengan kata lain apabila undang-undangnya tidak jelas, hakim wajib menafsirkannya sehingga ia dapat membuat suatu keputusan yang adil dan sesuai dengan maksud hukum yaitu mencapai kepastian hukum.

Sekalipun penafsiran merupakan kewajiban hukum dari hakim, ada beberapa pembatasan mengenai kemerdekaan hakim untuk menafsirkan undang-undang itu. Hakim seyogyanya harus tunduk pada kehendak pembuat undangundang. Dalam hal kehendak itu tidak dapat dibaca begitu saja dari kata-kata peraturan perundang-undangan, hakim harus mencarinya dalam sejarah kata-kata tersebut, dalam sistem undang-undang atau dalam arti kata-kata seperti itu yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari.

Hakim wajib mencari kehendak pembuat undang-undang, karena ia tidak boleh menafsirkan tafsiran yang tidak sesuai dengan kehendak itu. Jadi kehendak pembuat undang-undang adalah batasan bagi hakim dalam menafsirakn suatu undang-undang. Hakim tidak boleh menafsirkan kaedah yang mengikat, kecuali hanya penafsiran yang sesuai dengan maksud pembuat undang-undang saja yang menjadi tafsiran yang tepat. Bandingkan dengan pendapat Logemann.

Dalam praktik, tidak ada prioritas dalam penggunaan dalam metode Interpretasi. Oleh karena itu metode Interpretasi dapat digunakan sendiri-sendiri, dapat pula disinergikan dengan beberapa metode Interpretasi sekaligus. Dalam hal ini hakim mempunyai kebebasan atau tidak terikat harus menggunakan metode Interpretasi tertentu, tetapi yang terpenting bagi hakim adalah Interpretasi yang dipilih adalah dapat tepat sasaran, yaitu dapat memperjelas ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga dapat secara tepat diterapkan terhadap peristiwanya.


Karena itulah dalam penyusunan tesis ini penyusun hanya akan menggunakan beberapa interpretasi yang dapat dipergunakan untuk memahami maksud pembuat undang-undang Bahasa ini terutama dalam memahami pasal 31 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 yang menjadi objek penyusunan tesis ini.

Dalam ilmu hukum dan praktik peradilan, dikenal beberapa macam metode Interpretasi, yaitu:

  • Interpretasi subsumptif,
  • Intprestasi gramatikal,
  • Interpretasi sistematis/logis,
  • Interpretasi historis,
  • Interpretasi teologis/sosiologis,
  • Interpretasi komparatif,
  • Interpretasi antisipatif/futuristis,
  • Interpretasi restriktif,
  • Interpretasi ekstentif,
  • Interpretasi otentik/secara resmi,
  • Interpretasi interdisipliner,
  • Interpretasi multidisipliner,
  • Interpretasi dalam perjanjian.
Lebih lanjut berupa metode Interpretasi tersebut akan diuraikan di bawah ini.

a. Interpretasi subsumptif.

Metode yang digunakan adalah penerapan silogisme. Silogisme adalah bentuk berfikir logis dengan mengambil kesimpulan dari hal-hal yang besifat umum (premis mayor atau peraturan perundang-undangan) dan hal-hal yang bersifat khusus (premis minor atau peristiwanya).


b. Intprestasi gramatikal.

Metode yang digunakan adalah menafsirkan kata-kata atau istilah-istilah dalam perundang-undangan sesuai kaedah bahasa (hukum tata bahasa) yang berlaku. Bahasa merupakan sarana yang penting bagi hukum, karena merupakan alat satu-satunya yang dipakai pembuat undang-undang dalam merumuskan pasal-pasal dan penjelasannya. Metode Interpretasi gramatikal ini merupakan cara penafsiran yang paling sederhana untuk mengetahui makna yang terkandung di dalam pasal-pasal tersebut. Dalam mengungkapan maknanya disamping harus memenuhi standar logis, juga harus mengacu pada kelaziman bahasa sehari-hari yang digunakan masyarakat.


Penafsiran ini penting untuk mencari arti, maksud dan tujuan dari kata-kata atau istilah yang digunakan dalam suatu kaidah hukum, dengan memperhatikan apakah kata-kata itu kata kerja, kata benda, kata sifat atau keadaan, kata ganti, ataukah kata dasar, kata jadian, kata ulang, kata majemuk, atau kata imbuhan dengan awalan sisipan dan akhiran, atau kata depan, dan sebagainya.

c. Interpretasi Sistematis/logis.

Metode yang digunakan adalah menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan peraturan hukum (undang-undang lain) atau dengan keseluruhan sistem hukum. Hukum dilihat sebagai suatu kesatuan atau sebagai sistem peraturan. Artinya tidak satupun dari peraturan perundangan tersebut dapat ditafsirkan seakan-akan ia berdiri sendiri, tetapi harus selalu dipahami dalam kaitannya dengan jenis peraturan yang lainnya. Menafsirkan peraturan perundang-undangan tidak boleh menyimpang atau keluar dari sistem perundang-undangan suatu negara.

d. Interpretasi Historis.

Metode yang digunakan adalah penafsiran makna undang-undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah, baik sejarah hukumnya, maupun sejarah terjadinya Undang-undang. Dengan demikian ada dua macam interpretasi historis, yaitu:


Pertama, interpretasi menurut sejarah pengaturannya atau sejarah undangundangnya (wets historisch) adalah mencari maksud dari perundang-undangan itu seperti apa dalam hal ini dilihat dari pembentuk undang-undangnya. Jadi dalam Interpretasi ini, kehendak pembuat undang-undang itu sangat menentukan. Kedua, Interpretasi menurut sejarah kelembagaan hukumnya atau sejarah hukumnya (rechts hisoris) adalah metode Interpretasi yang ingin memahami undang-undang dalam konteks seluruh sejarah hukumnya, khususnya yang terkait dengan lembaga hukumnya.

Hakim yang bermaksud mengetahui makna kata atau kalimat dalam suatu undang-undang harus menafsirkan dengan jalan meneliti sejarah kelahiran pasal tertentu itu dirumuskan. Sejarah yang dimaksud adalah sejarah terjadinya peraturan tertentu dan apa yang merupakan latar belakang pasal, maksud dan tujuan peraturan itu ditetapkan atau dimasukannya pasal-pasal tertentu ke dalam suatu peraturan. Jadi yang dilihat bukan kata demi kata atau kalimat demi kalimat, melainkan kebulatan peraturannya atau pasal-pasalnya.

Di dalam praktik peradilan para hakim, jaksa, pembela atau penasehat hukum akan terlebih dahulu berhadapan dengan ketentuan perundangan, yang memerlukan penafsiran itu dibuat dan ditetapkan. Untuk itu maka perlu dipelajari laporan-laporan, surat-surat, keterangan atau penjelasan tertulis ketika peraturan itu dibuat. Misalnya diteliti berita acara sidang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).


Kemudian penafsiran yang terbatas untuk mengetahui latar belakang penetapan undang-undang itu dapat diperluas dengan meneliti latar belakang sejarah hukumnya, yaitu asal-usul dan sistem hukumnya. Apakah sistem hukum itu berasal dari sistem hukum asing, dari negeri Belanda yang dipengaruhi hukum Perancis, apakah sistem hukum itu sesuai dengan sistem hukum Indonesia berdasarkan hukum Pancasila, dan sebagainya.

e. Interpretasi teologis/sosiologis.

Dengan Interpretasi teologis (Sosiologis), hakim menafsirkan undang-undang sesuai dengan tujuan pembentuk undang-undang sehingga tujuan lebih diperhatikan dari bunyi kata-katanya. Interpretasi teologis terjadi apabila makna Undang-Undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Peraturan undang-undang disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Undang-undang yang sudah usang harus ditafsirkan dengan berbagai cara dalam memecahkan perkara yang terjadi sekarang.

Melalui Interpretasi ini hakim dapat menyelesaikan adanya perbedaan atau kesenjangan antara sifat positif dari hukum (rechtspositiveit) dengan kenyataan hukum (rectswerkelijkheid), sehingga jenis Interpretasi sosiologis atau teologis menjadi sangat penting. Sebagai contoh ada sebuah undang-undang yang masih berlaku tetapi sebenarnya jiwanya sudah usang dan tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan zaman. Kemudian berdasarkan Interpretasi sosiologis/teologis undang-undang ini kenyataannya masih diterapkan terhadap peristiwa atau kasus masa kini, maka sudah barang tentu sebenarnya undangundang itu tidak layak lagi dijadikan dasar pertimbangan hukum oleh hakim, dan kalaulah dipaksakan penerapannya keadilan masyarakat tidak akan tercapai karena sudah tidak sesuai lagi.

f. Interpretasi komparatif.

Metode penafsiran dengan jalan membandingkan antara berbagai sistem hukum. Interpretasi Komparatif digunakan untuk mencari kejelasan mengenai suatu ketentuan perundang-undangan dengan membandingkan undang-undang yang satu dengan yang lain dalam suatu sistem hukum atau hukum asing lainnya.

g. Interpretasi antisipatif/futuristis.

Metode interpretasi antisipatif adalah metode penafsiran atas apa yang hendak dicapai (diantisipasi) oleh perumus peraturan perundang-undangan pada saat peraturan perundang-undangan dirumuskan. Dengan kata lain, metode ini sangat penting untuk memperoleh pemahaman yang baik dan benar mengenai “untuk melindungi siapa atau apa suatu ketentuan peraturan perundang-undangan dirumuskan”.

h. Interpretasi restriktif.

Interpretasi restriktif digunakan untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-undang dimana ruang lingkup ketentuan itu dibatasi dengan berititik tolak pada artinya menurut bahasa. Dengan demikian Interpretasi restriktif adalah metode interpretasi yang bersifat membatasi.

i. Interpretasi ekstentif.

Metode penafsiran yang membuat interpretasi melebihi batas-batas hasil interpretasi gramatikal. Jadi interpretasi ekstensif figunakan untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-undang dengan melampaui batas yang diberikan oleh interpretasi gramatikal. Contoh: Perkataan “menjual” dalam pasal 1576 KUHPerdata oleh hakim ditafsirkan secara luas yaitu bukan hanya semata-mata hanya berarti jual beli, tetapi juga menyangkut peralihan hak.

Pada umumnya interpretasi historis menurut undang-undang dan interpertasi teologis bersifat memperluas makna suatu ketentuan undang-undang. Sedangkan interpretasi ekstentif dan restriktif didasarkan pada hasil dan akibat dari penemuan berbagai metode interpretasi.

j. Interpretasi otentik/secara resmi.

Penafsiran otentik ini biasanya dilakukan oleh pembuat undang-undang sendiri dengan mencantumkan arti beberapa kata yang digunakan di dalam suatu peraturan. Dalam jenis interpretasi ini hakim tidak diperkenankan melakukan penafsiran dengan cara lain selain dari apa yang telah ditentukan pengertiannya di dalam undang-undang itu sendiri.

k. Interpretasi interdisipliner.

Interpretasi jenis ini biasa dilakukan dalam suatu analisis masalah yang menyangkut berbagai disiplin ilmu hukum. Di sini digunakan logika penafsiran lebih dari satu cabang ilmu hukum.

l. Interpretasi multidisipliner.

Seorang Hakim harus juga mempelajari suatu atau beberapa disiplin ilmu lain di luar ilmu hukum.

m. Interpretasi dalam perjanjian.


Interpretasi terhadap kontrak atau perjanjian dalam praktik hukum mengalami perkembangan, mengingat perjanjian merupakan kumpulan kata dan kalimat yang sifatnya interpretable (dapat ditafsirkan), baik oleh para pihak yang berkepentingan, undang-undang maupun oleh hakim. Sementara itu dalam aturan perundang-undangan sendiri tidak memberikan pedoman dan kepastian hukum tentang bagaimana seharusnya dalam menafsirkan perjanjian terutama ketika muncul adanya perbedaan penafsiran antar satu pihak dengan pihak lainnya.

Metode Argumentasi

Interpretasi adalah metode penemuan hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Sebaliknya dapat terjadi juga hakim harus memeriksa dan mengadili perkara yang tidak ada peraturannya yang khusus. Di sini hakim menghadapi kekosongan atau ketidaklengkapan undang-undang yang harus diisi atau dilengkapi, sebab hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara dengan dalih tidak ada hukumnya atau tidak lengkap hukumnya (pasal 16 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman). Untuk mengisi kekosongan itu digunakanlah metode itu digunakanlah metode berfikir analogi, penyempitan hukum dan a contrario.

a. Argumentum per Analogiam

Terhadap peraturan perundang-undangan terlalu sempit ruang lingkupnya. hakim akan memperluaskan dengan metode argumentum per analogiam atau analogi untuk dapat menerapkan undang-undang pada peristiwanya. Dengan analogi maka peristiwa yang serupa, sejenis atau mirip dengan yang diatur dalam undang-undang diperlakukan sama.

Analogi dapat diterapkan apabila menghadapi peristiwa yang mirip termasuk juga apabila kepentingan masyarakat hukum menuntut penilaian yang sama. Analogi selain sebagai salah satu metode penemuan hukum juga sebagai penciptaan sesuatu hal yang baru. Di dalam hukum pidana analogi dilarang.

b. Penyempitan hukum

Dalam penyempitan hukum dibentuk pengecualian-pengecualian atau penyimpangan baru dari peraturan-peraturan yang bersifat umum.

c. Argumentum a Contratio

Ada kalanya suatu peristiwa tidak secara khusus diatur oleh undang-undnag, tetapi kebalikan dari peristiwa itu diatur oleh undang-undang. Cara menemukan hukum dengan pertimbangan bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu itu dan untuk peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya, ini merupakan argumentum a contrario.

Penemuan Hukum Bebas

Makin tua suatu undang-undang makin banyak terdapat kekosongan di dalamnya karena itu hakim harus aktif dalam menemukan hukum untuk mengisi kekosongan tersebut. Di sini hakim berfungi sebagai pencipta hukum. Penemuan hukum yang tidak terikat pada undang-undang disebut penemuan hukum bebas.

Penemu hukum yang bebas tugasnya bukanlah menerapkan undangundang tetapi menciptkan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkrit tertentu sehingga peristiwa berikutnya dapat dipecahkan menurut kaedah yang telah diciptakan oleh hakim.