Metode Tafsir Tahlili

SUDUT HUKUM | Metode tahlili adalah metode tafsir dimana mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat dan surat-surat Al-Qur’an sebagaimana yang tercantum dalam mushaf.


Dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan mempergunakan metode ini, mufasir menguraikan hal-hal yang dirasa perlu untuk diuraikan, mulai dari kosa kata, asbab an Nuzul, Munasabah dan hal-hal lain yang berkaitan dengan teks dan kandungan ayat.5 Mufassir mengatur komentarnya dalam kerangka urutan Al-Qur’an.

Dia menerangkan ayat Al-Qur’an dengan bantuan peralatan yang dimilikinya, seperti arti harfiyah dari setiap ayat dan konotasinya yang masuk akal dalam sinaran-sinaran hadits-hadits yang relevan dan ayat-ayat Al-Qur’an lainnya yang mempunyai konsep dan konteks yang sama. Mufassir tersebut melakukan upaya apa saja untuk memberikan perhatian sepenuhnya pada persoalan ini dalam tafsirnya, dengan tujuan untuk menghasilkan makna yang benar dari setiap bagian ayat. Metode tahlili ini terbagi menjadi dua bentuk yaitu bentuk Tafsir Bi Al-Ma’tsur dan bentuk Al-Ra’yi.


Bentuk Tafsir Bi Al Ma’tsur

Tafsir jenis ini biasa disebut juga dengan tafsir bi al riwayah atau tafsir bi al mangul. Tafsir bi al ma’tsur adalah cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an, menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan sunnah, menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan pendapat para sahabat, atau menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan perkataan para tabi’in.


a. Sumber Tafsir Bi Al Ma’tsur

Untuk lebih memperjelas terhadap bentuk tafsir bi la ma’tsur, maka disini akan dikemukakan beberapa sumber di dalam menafsirkan Al-Qur’an dan secara operasional akan dikemukakan beberapa contoh penafsiran bentuk ini sebagai berikut:


Sumber pertama tafsir bi al ma’tsur adalah Al-Qur’an penafsiran ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an adalah metode terbaik dalam tafsir. Contoh penafsiran ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an, banyak dijumpai dalam beberapa ayat Al-Qur’an diantaranya dalam firman Allah seperti Q.S. al-Baqarah / 2:187.

Lafadz من الفجر dalam ayat diatas sebagai penjelasan terhadap kata الخيط الابيض yang disebutkan sebelumnya. Contoh lain adalah firman Allah Q.S. al-A’raf / 7:23. Ayat tersebut merupakan penjelasan terhadap lafadz آلمات yang terdapat dalam Q.S. al-Baqarah / 2:37.


فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ آَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

Sumber kedua tafsir bi al ma’tsur adalah sunnah Nabi saw sebagaimana diketahui bahwa sunnah atau hadits Nabi saw mempunyai kedudukan dan fungsi yang sangat penting dalan Islam, yaitu sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an.12 Contohnya adalah penjelasan Nabi Muhammad terhadap Q.S. al-An’am / 6:82.


الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُ هْتَدُونَ



Lafadz بظلمم dalam ayat diatas oleh Rasulullah saw ditafsiri dengan الشرك hal ini sejalan dengan firman Allah swt dalam Q.S. Luqman / 31:13.


Sumber ketiga tafsir bi al ma’tsur adalah pendapat sahabat. Contoh ayat penafsiran Al-Qur’an dengan pendapat sahabat sebagaimana penafsiran Abd Allah bin Abbas terhadap surah al-Nasr/110, dimana- menurutnya – surah tersebut merupakan penjelasan terhadap ajal Rasulullah saw.


Sumber keempat tafsir bi al ma’tsur adalah perkataan tabi’in. Contoh penafsiran ayat Al-Qur’an dengan perkataan tabi’in ini sebagaimana ditulis oleh al-Zarqani dapat diamati dalam kitab tafsir karya Ibn Jarir Al-Thabary.


b. Contoh-contoh kitab tafsir bi al ma’tsur yang telah dibukukan dan sangat terkenal adalah:

  • Jami’ Al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur’an karya Ibn Jarir Al-Thabary
  • Al Kasyaf Wa Al Bayan An Tafsir Al-Qur’an karya Abu Ishaq Al-Tsa’laby
  • Ma’alim Al-Tanzili karya Abi Muhammad Al-Hussain Al-Baghawi
  • Tafsir Al-Qur’an Al Adzim karya Abi Al-Fida’ Al-Hafidz Ibnu Katsir
  • Al Jawahir Al Hasan Fi Tafsir Al-Qur’an karya Abd Al Rahman Al Tsa’laby
  • Al Dar Al Ma’tsuri Tafsir Al Ma’tsur karya Jalal Al Din Al Suyuthi
  • Asbab Al Nuzul karya Imam Al Wahidy
  • Al Nasikh Wa Al Mansukh karya Abi Ja’far Al Nuhas.


2. Bentuk Tafsir Bi Al Ra’yi

Tafsir Bi Al Ra’yi ialah tafsir yang di dalam penjelasan maknanya mufassir hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan (istinbath) yang didasarkan pada ra’yu semata. Tidak termasuk kategori ini. Pemahaman (terhadap Al-Qur’an) yang sesuai dengan roh syari’at dan didasarkan pada nas-nasnya. Ra’yu semata yang tidak disertai dengan bukti-bukti akan membawa penyimpangan terhadap kitabullah.


  • Metodologi Tafsir Bi Al Ra’yi
Pada pembahasan sebelumnya telah disinggung bahwa seorang mufasir al ra’yi harus menguasai beberapa perangkat ilmu pengetahuan yang dibutuhkan untuk memahami kitab Allah dan mengetahui

rahasia-rahasianya. Juga telah dijelaskan bahwa seorang mufasir dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an harus menggunakan kerangka berpikir yang sistematis yaitu terlebih dahulu harus mencari makna ayat-ayat Al-Qur’an yang terdapat dalam Al-Qur’an sendiri, lalu pada sunnah Nabi saw.

Perkataan para sahabat dan tabi’in dan kalau tidak menjumpai beberapa dalil yang tidak terdapat dalam beberapa sumber diatas. Barulah seorang mufasir menggunakan kekuatan akal pikirannya (ijtihad) untuk mengungkap rahasia-rahasia dari kitab-Nya berdasarkan beberapa perangkat ilmu pengetahuan dan syarat-syarat sebagaimana telah disebutkan.

Untuk dapat menghasilkan tafsir bi al ra’yi yang dapat diterima, maka seorang mufasir harus memperhatikan kerangka berpikir metodologis yang lain sebagai berikut:

  1. Seorang mufasir harus menyesuaikan penafsirannya tanpa mengurangi makna yang tepat atau menambahkan makna lain yang tidak sesuai.
  2. Menjaga makna yang hakiki ataupun yang majazi dalam menafsirkan suatu ayat Al-Qur’an karena ada kalanya dalam makna majaz terkandung di dalamnya makna yang hakiki atau sebaliknya.
  3. Menjaga susunan dan maksud ayat sesuai dengan susunan kalimat yang dipakai
  4. Menjaga ada atau tidaknya hubungan ayat yang satu dengan yang lain
  5. Memperhatikan asbab al nuzul dari suatu ayat, jika suatu ayat mempunyai asbab al Nuzul maka harus menyebutkannya setelah mufasir menjelaskan munasabah ayat dan sebelum menjelaskan ayat tersebut secara terperinci
  6. Seseorang mufasir harus memperhatikan susunan ayat Al-Qur’an yang dalam beberapa bagian banyak dipakai lafadz-lafadz yang berdekatan artinya, yang kesemuanya itu dimaksudkan untuk menguatkan makna.
  7. Setelah itu seorang mufasir harus mengetahui kaidah-kaidah dalam mentarjihkan ayat yang dianggap muntamil. Kapan suatu ayat harus ditarjihkan atau dikompromikan.

  • Contoh-contoh Kitab Tafsir Bi Al Ra’yi
Adapun contoh kitab tafsir jenis ini yang terkenal diantaranya adalah:

  1. Mafatih Al Ghaib karya Fahr Al Razy
  2. Anwar Al Tanzil Wa Asrar Al Ta’wil karya Baidhawi
  3. Madarik Al Tanzil Wa Ha Qaiq Al Ta’wil karya Al Nasati
  4. Lubab Al Ta’wil Fi Al Ma’anni Al Tanzil karya Al Khazin
  5. Al Bahr Al Mubid karya Abu Hayyan
  6. Gharib Al-Qur’an Wa Raghaib Al Furqan karya Naisaburi
  7. Tafsir Al Jalalain karya Jalal Al Din Muhammad Al Mahali dan Jalal Al Din Abd Al Rahman Al Suyuthi
  8. Irsyad Al Aql Al Salim Ila Mayaza Al Kitab Al Karim karya Abu Su’ud
  9. Rub Al Ma’ani Fi Tafsir Al-Qur’an Al Adzim Wa Al Sab’ Al Matsari karya Al Alusty.


Kelebihan dan kekurangan metode tahlili

1. Kelebihan Metode Tahlili

  • Ruang Lingkup
Metode tahlili mempunyai ruang lingkup yang teramat luas. Metode ini dapat digunakan oleh mufasir dalam dua bentuk al ma’tsur dan ra’yi. Bentuk al ra’yi dapat lagi dikembangkan dalam berbagai corak penafsiran sesuai dengan keahlian masing-masing mufasir.

  • Memuat Berbagai Ide
Telah dikemukakan diatas, tafsir dengan metode tahlili ini relatif memberikan kesempatan yang luas kepada mufasir untuk mencurahkan ide-ide dan gagasannya dalam menafsirkan Al-Qur’an. Itu berarti, pola penafsiran metode ini dapat menampung berbagai ide yang terpendam di dalam benak mufasir, bahkan ide-ide jahat dan ekstrim pun dapat ditampungnya.


2. Kekurangan Metode Tahlili

  • Menjadikan petunjuk Al-Qur’an parsial
  • Melahirkan penafsiran subyektif
  • Masuk pemikiran israiliyat
  • Urgensi metode tahlili.

Rujukan:

  • Rosihan Anwar, Samudera Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, 2001,
  • Ahmad Arif Junaidi, Pembaruan Metodologi Tafsir Al-Qur’an; Studi atas Pemikiran Tafsir Kontekstual Fazllur Rahman, Gunung Jati, 2001,
  • Manna Khallil al-Qathan, Mabahits fi Ulum Al-Qur’an, Terj. Mudzakir, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Litera Antar Nusa, Bogor, 2001.