Pengertian Bank Syariah

SUDUT HUKUM | Istilah bank telah menjadi istilah umum yang banyak dipakai di masyarakat dewasa ini. Kata Bank berasal dari kata banque dalam bahasa Prancis, dan dari banco dalam bahasa italia, yang dapat berarti peti/lemari atau bangku. Konotasi kedua kata ini menjelaskan dua fungsi dasar yang ditujnjukkan oleh bank komersial. Kata peti atau lemari menyiratkan fungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda berharga, seperti peti emas, peti berlian, peti uang, dan sebagainya. Istilah perbankan di dalam Al-Qur’an tidak disebutkan secara eksplisit tetapi yang dimaksud adalah sesuatu yang memiliki unsur-unsur seperti struktur, manajemen, fungsi, hak dan kewajiban maka semua itu disebutkan dengan jelas, seperti zakat, sadaqah, ghanimah (rampasan perang), bai’ (jual beli), dayn (utang dagang, maal (harta dan sebagainya, yang memiliki fungsi yang dilaksanakan oleh pihak tertentu dalam kegiatan ekonomi.

Dalam Peraturan Bank Indonesia, yang dimaksud dengan Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998. termasuk kantor cabang bank asing. Sedangkan yang dimaksud dengan Bank Syari’ah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syari’ah dan menurut jenisnya terdiri atas BUS dan BPRS (Pasal 1 angka 7 UU Perbankan Syari’ah).

UU perbankan syariah sangat diperlukan karena beberapa alasan, yaitu: pertama, sejalan dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk mencapai terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi, perlu dikembangkan sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan. Perbankan syari’ah merupakan satu-satunya institusi yang paling tepat untuk menerjemahkan tujuan pembangunan nasional diatas dalam kehidupan yang nyata.

Kedua, bahwa kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa perbankan syari’ah semakin meningkat, seiring dengan kesadaran masyarakat muslim dan bahkan non muslim bahwa jasa-jasa perbankan syari’ah lebih sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat. Kebutuhan masyarakat terhadap perbankan syari’ah semakin meningkat manakala kita melihat bahwa sebagian besar dari mereka adalah pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sistem yang cocok untuk mengembangkan UMKM adalah sistem bagi hasil dan bagi resiko yang biasa dilaksanakan oleh perbankan syari’ah.

Ketiga, bahwa perbankan syari’ah memiliki kekhususan dibandingkan dengan perbankan konvensional sehingga memerlukan pengaturan yang khusus. Kekhususan itu, seperti fokus pada sektor riil atau keterlibatan banyak untuk hal-hal yang halal, sangat diperlukan untuk memajukan Indonesia. Pegerakan sektor riil dibutuhkan untuk mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran.

Keempat, bahwa peraturan mengenai perbankan syari’ah didalam UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan belum spesifik sehigga perlu diatur secara khusus dalam suatu undang-undang tersendiri.

Kelima, perbankan syari’ah sebagai salah satu sistem perbankan nasional memerlukan berbagai sarana pendukung agar dapat memberikan kontribuksi yang maksimum bagi pengembangan ekonomi maksimum. Salah satu sarana pendukung vital adalah adanya pengaturan yang memadai dan sesuai dengan karakteristik perbankan syari’ah. Meskipun itu, pembentukan UU perbankan syari’ah menjadi kebutuhan dan keniscayaan bagi berkembangnya lembaga tersebut.

Sebelum undang-undang perbankan syari’ah disahkan, posisi perbankan syari’ah diindonesia cukup mengambang, meskipun didukung oleh konstitusi, namun tidak diatur dalam peraturan undang-undang yang ada dibawahnya. Akhirnya, perbankan syari’ah berjalan sesuai dengan kreatifitas pendukung dan pejuang perbankan syari’ah dengan segala macam. Rancangan undang-undang perbankan syari’ah sebenarnya suda sejak tiga tahun lalu di bahas DPR, namun baru disahkan pada 17 Juni 2008 lalu. Sebagai undang-undang yang khusus mengatur perbankan syari’ah, dalam undang-undang ini diatur mengenai masalah kepatuhan syari’ah yang kewenangannya berada pada majelis ulama Indonesia (MUI) yang di reperentasikan melalui Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) yang harus dibentuk pada masing-masing bank syariah.

Berdasarkan pendapat di atas maka Bank Syariah adalah Bank yang aktivitasnya dan pengelolaannya menanggalkan sistem bunga yang merupakan suatu riba. Bank Syariah bisa juga disebut sebagai Bank Islam atau Bank muamalah adalah lembaga keuangan atau perbankan dimana kegiatan utamanya memberikan kredit dan jasa-jasa perbankan pada umumnya serta peredaran uang yang pengoperasiannya sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadist. Jadi dengan adanya Bank Syari”ah maka akan tercipta suatu sistem bermuamalat secara Islam yaang mengacu kepada ketentuan Al-Qur’an dan Hadist. Sistem ini dimaksudkan untuk mencapai suatu mamfaat yang tidak hanya mamfaat duniawi tapi juga mamfaat akhirat.

Riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktekkan. Allah berfirman dalam surat Al-Imran ayat 130 : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.


Rujukan:

  • Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syari‟ah, jilid 4, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006,
  • Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari”ah Deskripsi dan Ilustrasi. Yogyakarta: EKONISIA, 2008,
  • Khotibul Umam, Bank Umum Syariah, Yogyakarta: BPFE, edisi 1, 2009,
  • Zubairi Hasan, Undang-Undang Perbankan Syari‟ah, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
  • Zubairi Hasan, Undang-undang Perbankan Syari‟ah, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.