Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional Menurut Statuta Roma 1998

SUDUT HUKUM | Yurisdksi Mahkamah Pidana Internasional menurut Statuta Roma 1998, terdapat Empat macam yurisdiksi yang dimiliki yaitu, yurisdiksi personal, kriminal, temporal dan territorial. Berikut penjelasan mengenai yurusdiksi Mahkamah Pidana Internasional yang dikutip berdasarkan I Wayan Parthiana (2006:207-211)

Yurisdiksi Personal

Pasal 1 juncto Pasal 25 StatutaRoma sesuai dengan judulnya bahwa Mahkamah menganut tanggung jawab pidana secara pribadi dari individu (individual criminal responsibility). Menurut Pasal 25 ayat (1), yurisdiksi Mahkamah adalah terhadap orang-orang atau individu-individu yang harus bertanggungjawab atas kejahatan yang dilakukannya sebagaimana ditentukan dalam Statuta. Dengan demikian Mahkamah hanya memiliki yurisdiksi personal terhadap individu, jadi tidak terahadap negara maupun subyek hukum internasional lainnya selain terhadap individu. Khusus hubungannya dengan negara, Pasal 25 ayat (4) secara tegas menyatakan, bahwa tiada satupun ketentuan Statuta yang berkenaan dan tanggung jawab kriminal dari individu akan mempengaruhi tanggung jawab negara berdasarkan hukum internasional.

Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional Menurut Statuta Roma 1998Mahkamah Pidana Internasional tidak memiliki yurisdiksi personal terhadap seseorang pelaku kejahatan yang ditetapkan dalam Statuta apabila si pelaku pada waktu terjadinya kejahatan berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun Pasal 26 Statuta Roma 1998. Hal ini berkaitan dengan batas umur minimum seseorang untuk dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana di dalam hukum pidana nasional negara-negara di dunia, berkisar sekitar umur 18 (delapan belas) tahun.

Ada pula ketentuan yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk menghapuskan tanggung jawab pidana dari seorang individu apabila ketika perbuatan itu terjadi, individu yang bersangkutan dalam kondisi-kondisi seperti tercantum dalam Pasal 31 ayat (1), yakni:

  • Orang yang bersangkutan menderita cacat mental atau sakit ingatan;
  • Orang yang bersangkutan sedang dalam keadaan mabuk ketika perbuatan itu dilakukan sehingga mempengaruhi kemampuannya untuk menilai perbuatannya;
  • Orang yang bersangkutan melakukan perbuatannya tersebut demi membela diri ataupun membela orang lain; dan
  • Perbuatan atau kejahatan dalam yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional itu dilakukannya dibawah tekanan fisik ataupun mental yang tidak dapat dihindarkannya.

Dalam prakteknya, sejauh mana alasan-alasan ini dapat dibenarkan penggunaannya, tentulah akan dinilai dan diputuskan oleh Mahkamah Pidana Internasional sendiri dalam persidangan sesuai dengan hukum acara dan hukum pembuktiannya.

Yurisdiksi Kriminal

Yurisdiksi Kriminal dari Mahkamah Pidana Internasional berdasarkan Statuta Roma 1998 adalah empat jenis kejahatan atau tindak pidana yang dinyatakan dalam Pasal 5 yakni, kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Dalam Pasal 9 ditegaskan perlunya dirumuskan secara lebih rinci tentang unsur-unsur dari masing-masing kejahatan (elements of crimes) tersebut demi membantu Mahkamah dalam menafsirkan dan menerapkan ketentuan dalam Pasal 6,7, dan 8 Statuta Roma. Adapun lembaga yang berwenang merumuskan dan memutuskannya adalah Majelis Negara-Negara Peserta, berdasarkan persetujuan dari dua pertiga negara-negara anggotanya.

Dalam hubungan ini, ternyata Majelis Negara-Negara Peserta telah berhasil merumuskan unsur-unsur dari masing-masing kejahatan tersebut. Sedangkan terhadap kejahatan agresi (the crime of aggression) masih belum ditetapkandefinisi dan ruang lingkupnya sehingga untuk sementara ini belum dapat diterapkan, karena masih menunggu adanya amandemen atas Statuta Roma pada Pasal 121 dan peninjauan kembalinya pada Pasal 123.

Yurisdiksi Temporal

Pasal 11 ayat (1) dan (2) statutaRoma menjelaskan tentang yurisdiksi temporal (jurisdiction ratione temporis). Menurut Pasal 11 ayat (1), Mahkamah Pidana Internasional hanya memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang dilakukan setelah mulai berlakunya Statuta. Demi adanya kepastian hukum, haruslah ditentukan terlebih dahulu tentang waktu atau tanggal mulai berlakunya Statuta. Sesuai dengan ketentuan Pasal 126 ayat (1), Statuta mulai berlaku pada hari pertama dari bulan sesudah hari kesepuluh setelah penyimpanan instrumen ratifikasi, penerimaan, persetujuan atau aksesi pada Sekertaris Jendral PBB.

Dengan demikian Mahkamah Pidana Internasional hanya memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang ditentukan di dalam Pasal 5-8 statuta yang telah terjadi sesudah tanggal berlakunya. Mahkamah tidak memiliki yurisdiksi atas kejahatanyang terjadi sebelum berlakunya statuta. Hal ini selaras dengan asas non-rectroctive (non-rectroactive ratione personae) dalam Pasal 24 ayat (1) yang menyatakan, bahwa tiada seorangpun akan dimintakan pertanggung-jawaban pidana berdasarkan Statuta atas perbuatan yang dilakukannya sebelum mulai berlakunya Statuta.

Peradilan terhadap pelaku kejahatan sebelum berlakunya Statuta Roma 1998, yang pertama adalah penagadilan nasional negara tempat terjadinya kejahatan atau pengadilan nasional negara lain yang memiliki yurisdiksi atas kejahatan tersebut. Jika pengadilan nasional tidak berfungsi karena tidak mampu atau kalau mampu tidak mau melaksanakan yurisdiksinya, atau hukum nasional suatu negara itu sama sekali tidak mengatur kejahatan tersebut sebagai tindak pidana di dalam atau peraturan perundang-undangan pidana nasionalnya, maka melalui prosedur yang telah berlaku, Dewan Keamanan dapat membentuk badan pengadilan pidana internasional ad hoc, seperti halnya Mahkamah Kejahatan Perang dalam kasus bekas Yugoslavia 1993 atau Rwanda 1994.

Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internsional hanya berlaku atas kejahatan yang terjadi di dalam wilayah negara-negara pesertanya, yaitu negara-negara yang sudah meratifikasi dan demikian sudah terikat pada Statuta. Negara-negara lain yang tidak atau belum mengikatkan diri pada Statuta, tetapi diwilayahnya terjadi kejahatan yang seperti ditentukan di dalam Statuta, meskipun waktu terjadinya itu sesudah mulai berlakunya Statuta tetap saja Mahkamah Pidana Internasional tidak memiliki yurisdiksi. Ini sesuai dengan asas Pacta Tertiiis Nec Nocent Nect Prosunt dalam hukum perjanjian internasional, bahwa suatu perjanjian internasional tidak memberikan hak dan atau membebani kewajiban kepada pihak ketiga.

Terhadap kejahatan semacam itu, maka pertanggungjawaban pidana atas si pelakunya dikembalikan kepada hukum pidana nasional dari negara yang bersangkutan. Akan tetapi jika negara itu tidak mampu ataupun tidak mau menerapkan hukum pidana nasionalnya, menurut Pasal 13 butir (b) Statuta, Dewan keamanan PBB berdasarkan Bab VII Piagam PBB dapat menyerahkan kasus tersebut kepada Jaksa Penuntut untuk selanjutnya Jaksa Penuntut akan memprosesnya sesuai dengan tugas dan wewenangnya.

Negara yang baru mengikatkan dirinya pada Statuta, tegasnya setelah Stauta mulai berlaku, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat (2), Mahkamah baru bisa menerapkan yurisdiksinya hanya atas kejahatan yang terjadi di dalam wilayah negara yang bersangkutan dan yang terjadinya sesudah Statuta mulai berlaku atau mengikat terhadap negara tersebut. Kemudian pada Pasal 126 ayat (2) menyatakan, terhadap negara yang bersangkutan Statuta mulai berlaku atau mengikat terhadap suatu negara itu pada hari pertama dari bulan setelah hari keenampuluh dari saat penyimpanan instrumen pengikatan diri pada Statuta (seperti ratifikasi, penerimaan, persetujuan, atau aksesi) dari negara yang bersangkutan.

Statuta tidak mengenal pembatasan waktu untuk menggugurkan yurisdiksinya. Dalam hubungan ini Pasal 29 secara tegas menyatakan, bahwa tidak ada satu atau lebih kejahatan dalam yurisdiksi Mahkamah yang tunduk pada pembatalan waktu untuk melakukan penuntutan terhadap si pelakunya. Dengan kata lain, Mahkamah tidak memberlakukan asas daluwarsa (lapse of time) atas kempat jenis kejahatan yang tunduk pada yurisdiksinya sebagaimana diatur dalam Statuta. Oleh karena itu, meskipun suatu kejahatan sudah terjadi demikian lamanya yang ditinjau dari segi asas daluwarsa sebenarnya hak untuk melakukan penuntutan ataupun penghukumannya sudah gugur si pelakunya masih tetap dapat dituntut dihadapan Mahkamah Pidana Internasional.

Yurisdiksi Teritorial

Mengenai yurisdiksi teritorialnya, tidak ada satu Pasal pun pada statuta Roma yang menegaskannya. Hal ini disebabkan karena Mahkamah Pidana Internasional merupakan badan peradilan kriminal yang dimaksudkan untuk menjangkau keempat jenis kejahatan yang ditentukan dalam Statuta yang terjadi dimanapun di muka bumi ini. Terhadap kejahatan yang terjadinya di dalam atau lintas batas territorial dari negara-negara yang sudah menjadi peserta pada Statuta, tentulah tidak menjadi masalah dengan penerapan yurisdiksi territorial mahkamah sebab negara-negara itu merupakan negara yang menerima yurisdiksi mahkamah, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 12 ayat (1).

Dalam hubungannya dengan negara-negara yang tidak atau menolak untuk menjadi peserta Statuta (tidak atau menolak untuk meratifikasi Statuta), tentulah Mahkamah tidak bisa menerapkan yurisdiksinya terhadap kejahatan yang terjad di dalam wilayah negara itu. Sebagai akibatnya, si pelaku kejahatan tersebut menjadi berada diluar jangkauan yurisdiksi mahkamah sehingga ia akan menikmati impunitas. Hal ini sudah tentu akan menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat internasional pada umumnya, para korban dari kejahatan itu pada khususnya.

Agar pelaku kejahatan tidak menikmati impunitas, para perancang Statuta menerapkan yurisdiksi kriminalnya terhadap kejahatan yang terjadi di wilayah negara yang belum atau tidak meratifikasi Statuta, dengan syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 12 ayat (3) yakni, negara tersebut mengeluarkan suatu pernyataan (deklarasi) yang menyatakan penerimaannya atas yurisdiksi Mahkamah dan deklarasi tersebut disampaikan kepada Panitera. Akan tetapi sejauh mana suatu negara semacam itu akan bersedia mengeluarkan pernyataan tentang penerimaannya atas yurisdiksi Mahkamah, sepenuhnya tergantung pada negara yang bersangkutan.

Dewan Keamanan PBB berdasarkan kewenangannya menurut Bab VII Piagamnya, berhak untuk menyerahkan kepada mahkamah melalui Jaksa Penuntut (the Presecutor) atas kejahatan yang terjadi di wilayah negara semacam itu. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 3 butir (b) Statuta. Namun penyerahan ini hanya bisa terjadi, apabila Dewan Keamanan PBB terlebih dahulu bersidang untuk membahas masalah yang terjadi di wilayah atau lintas batas wilayah negaranegara yang tidak menjadi peserta Statuta yang menurut Dewan Keamanan merupakan ancaman atas keamanan dan perdamaian dunia (Bab VII Piagam PBB) dan diakhiri dengan pengambilan keputusan (yang dituangkan dalam satu resolusi) untuk menyerahkan kasus tersebut kepada Jaksa Penuntut (the Presecutor) untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan Statuta. Dengan demikian maka secara teoritis terhindarlah terjadinya impunitas atas orang yang bersangkutan.Dewan Keamanan adalah suatu lembaga politik maka nuansa politiknya sama sekali tidak dapat dipisahkan.

Dengan adanya hak veto yang dimiliki oleh lima negara anggota tetapnya (Inggris, Perancis, Amerika Serikat, Rusia, dan Cina) praktis kelima negara ini tidak akan pernah terkena resolusi Dewan Keamanan PBB yang merugikan dirinya sendiri. Secara lebih konkrit, jika di salah satu dari kelima negara itulah terjadinya kasus kejahatan yang tunduk pada yurisdiksi mahkamah tetapi negara itupun tidak mengambil tindakan apa-apa terhadap si pelakunya, maka sudah pasti tidak akan berhasil dibahas dalam persidangan Dewan Keamanan PBB.

Kalaupun dibahas dan akan diambil keputusan untuk menyerahkannya kepada Jaksa Penuntut pada Mahkamah, sudah pasti akan diveto oleh negara tersebut. Demikian juga jika terjadi di salah satu atau lebih Negara yang tidak menjadi peserta Statuta yang kemudian dibahas dalam Dewan Keamanan tetapi berkat keberhasilan negara itu mendekati salah satu dari lima negara anggota tetap supaya menggunakan hak vetonya untuk menggagalkan resolusi yang akan diambil, maka praktis si pelakunya juga akan menikmati impunitas.


Menurut Eddy O.S. Hiarej, Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional meliputi kejahatan agresi, kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Akan tetapi sampai dengan saat ini, definisi mengenai kejahatan agresi belum ada kesepakatan, sedangkan definisi genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang tertuang dalam Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 Statuta Roma. Prinsip-prinsip dasar yang dianut dalam Statuta Roma adalah sebagai berikut:


1. Bersifat Komplementer

Bersifat komplementer artinya, jika terjadi kejahatan yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional, maka pengadilan terhadap pelaku kejahatan terlebih dahulu diserahkan kepada hukum nasional negara dimana kejahatan tersebut dilakukan. Apabila negara Negara tersebut tidak mau atau tidak dapat mengadili pelaku kejahatan tersebut, maka pengadilan terhadap pelaku dilakukan oleh Mahkamah Pidana Internasional.

2. Asas Legalitas

Asas Lagalitas berlaku secara absolut dan tidak dimungkinkan penyimpangan terhadapnya selama menyangkut kejahatan-kejahatan yang menjadi Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Tidak hanya larangan hukuman berlaku surut atau prinsip non-retroaktif, larangn terhadap analogi juga termaktub secara eksplisit dalam Statuta Roma.

3. Asas Nebis In Idem

Asas nebis in idem yang berarti bahwa seseorang tidak dapat dituntut lebih dari satu kali di depan pengadilan dengan perkara yang sama. Akan tetapi, dalam Statuta Roma asas nebis in idem ini tidak berlaku mutlak. Artinya asas tersebut dapat disimpangi jika pengadilan nasional yang mengadili pelaku kejahatan tersebut tidak fair atau bermaksud membebaskan pelaku dari segala tuntutan.

4. Prinsip Pertanggungjawaban Pribadi

Prinsip pertanggungjawaban pribadi adalah sebagaimana yang dianut dalam hukum pidana.

5. Percobaan, penyertaan dan permufakatan

Percobaan, penyertaan dan permufakatan merupakan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional.

6. Tidak Mengenal Jabatan

Tidak mengenal relevansi jabatan resmi dan tidak berlaku tanggung jawab komando dan atasan lainnya.

7. Batasan Umur Pada Yurisdiksi

Tidak dimasukkannya yurisdiksi anak-anak di bawah umur delapan belas tahun.