Kewenangan Pemberi Pembebasan Bersyarat

SUDUT HUKUM | Menteri hukum dan HAM dalam kewenangan memberikan pembebasan bersyarat sesuai dengan ketentuan yang ditentukan oleh undang-undang pemberian Pembebasan bersyarat adalah proses pembinaan narapidana di luar Lembaga Pemasyarakatan setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) masa pidananya dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut minimal 9 (sembilan) bulan.24 Pembebasan bersyarat tersebut merupakan bagian dari fungsi Lembaga Pemasyarakatan, yang merupakan salah satu dari bagian sistem peradilan pidana Indonesia, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan.[1]

Ketentuan mengenai pembebasan bersyarat di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, pertama kalinya termuat dengan istilah pelepasan bersyarat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dimana penyusunan KUHP dibuat berdasarkan Wetboek van straftrecht voor Nederlandsch-Indie, yang Hukum Pidana itu sendiri. Keberadaan ketentuan pelepasan bersyarat dalam Wetboek van straftrecht voor Nederlandsch-Indie terpengaruh oleh sistem pidana penjara di Inggris (progressive system), dimana pembebasan bersyarat tersebut dimaksudkan sisa pidana terakhir dalam Peraturan Pemerintah tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, PP No. 32 Tahun 1999, LN No. 69 Tahun 1999, TLN No. 3846,ps. 1 bagian 7.[2]

Kewenangan Pemberi Pembebasan Bersyarat

Pengertian pelepasan bersyarat tidak secara tersurat dituliskan dalam KUHP. Ketentuan pelepasan bersyarat dalam KUHP yang ditetapkan dengan K.B. No.33 tanggal 15 Oktober 1955 yang berlaku di Indonesia pada tanggal 1 Januari1918 (vide Stb. 1917-497 jo 645), mengalami perubahan melalui Stb. 1926-251 jo 486.29 Pada Pasal 15 lama ditentukan bahwa pelepasan bersyarat diterapkan kepada penjatuhan pidana penjara yang panjang. Pelepasan bersyarat akan diberikan apabila tiga perempat dari pidananya telah dijalani dalam penjara, yang sekurangkurangnya harus tiga tahun.[3]

Sedangkan pada Pasal 15 KUHP yang diubah dengan Stb 1926-251 jo 486, yang merupakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku hingga sekarang, pelepasan bersyarat dapat diberikan kepada terpidana yang telah menjalani 2/3 (dua per tiga) dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, yang sekurangkurangnya harus 9 (sembilan) bulan, dimana ketentuan ini juga berlaku pada saat istilah pembebasan bersyarat digunakan. Selanjutnya, dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pelepasan bersyarat, yaitu KUHP dan Ordonansi Pelepasan Bersyarat.[4]

Hal tersebut berbeda pada saat istilah pembebasan bersyarat digunakan, yakni terdapat pengaturan mengenai bimbingan dan pembinaan dalam ketentuan pembebasan bersyarat, yaitu dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang menyatakan bahwa terpidana yang menjalani pembebasan bersyarat wajib mengikuti bimbingan yang diberikan oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS). Berdasarkan dari tujuan daripada penjatuhan pidana selain pembalasan kepada pelaku atas kejahatannya juga bermaksud mengamankan masyarakat, dari kedua tujuan tersebut juga bermaksud untuk mempersiapkan dan memberikan narapidana tersebut bekal saat dikembalikan ke dalam masyarakat. Pembinaan narapidana yang dilaksanakan berdasarkan sistem kemasyrakatan diharapkan mampuh untuk mencapai tujuan-tujuan dari pemidanaan, untuk mewujudkan tujuan tersebut salah satu upayanya adalah dengan pemberian pembebasan bersyarat.

Pelepasan bersyarat pada awalnya dikenal di dalam Wetboek Van Strafrecht (WvS) Belanda, kemudian dirubah dengan Stb. 1926 No. 251 jo 486 yang merupakan kelanjutan dari Stb. 1917 No. 749 yang saat ini dikenal sebagai Ordonnantie Op De Voorwaardelijke Invrjheids Stelling.

Lamintang mengatakan bahwa pembebasan bersyarat dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

  1. Pembebasan bersyarat dari kewajiban untuk menjalankan pidana penjara dalam suatu lembaga pemasyarakatan seperti yang diatur dalam Pasal 15 sampai Pasal 17 KUHP, lebih lanjut setelah diatur dalam ordonansi tanggal 27 Desember 1917, Stb nomor 749 yang juga dikenal sebagai ordonansi de voorwardelijjke invrijheidstelling atau peraturan mengenai Pembebasan bersyarat.
  2. Pembebasan bersyarat dari kewajiban untuk mendapatkan pendidikan dalam suatu lembaga pendidikan suatu Negara seperti yang dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2) dan Pasal 69 ayat (1) dari ordonansi pada tanggal 21 Desember 1917, Stb nomor 741 yang juga dikenal sebagai dwangopveding regeling atau peraturan mengenai pendidikan paksa. Pembebasan yang akan dijelaskan lebih lanjut adalah pembebasan bersyarat dari kewajiban untuk menjalankan pidana penjara sebagai mana telah diatur dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 16 KUHP.[5]

Dalam praktek dibidang hukum khususnya hukum pidana sering dijumpai berbagai terjemahan yang berbeda-beda mengenai pembebasan bersyarat. Dalam bahasa Belanda digunakan istilah voorwardelijje invrijheidstelling yang jika diterjemahkan artinya Pembebasan Bersyarat. BPHN menggartikannya dengan istilah pelepasan bersyarattanpa menyadari bahwa istilah tersebut dapat menimbulkan salah penafsiran terutama bagi orang awam, karena istilah pelepasan ini tidak lazim digunakan dalam hukum pidana dan BPHN sendiri sering mengalami kesulitan dalam penggunaannya.

Istilah pembebasan bersyarat akan Nampak lebih lazim digunakan dalam hukum pidana jika dalam Pasal 191 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 192 ayat (1), Pasal 183 ayat (2) huruf b KUHP dan lain-lain. Dalam KUHP kita tidak ada Pasal yang menyebutkan pengertian pembebasan bersyarat, KUHP hanya menyebutkan mengenai syarat-syarat bahwa seorang narapidana berhak mendapatkan pembebasan bersyarat. Pengertian pembebasan bersyarat ini akan nampak lebih jelas jika kita melihat peraturan perundang-undangan diluar KUHP dan pendapat para pakar bidang ilmu hukum.

Pembebasan bersyarat menurut ketentuan Pasal 1 huruf b Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.01-PK.04.10 Tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas adalah:

Pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas adalah proses pembinaan narapidana di luar lembaga pemasyarakatan, berdasarkan ketentuan Pasal 15 dan 16 KUHP serta Pasal 14, Pasal 22 dan Pasal 29 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Mengenai pengawasan terhadap narapidana yang sedang menjalankan pembebasan bersyarat dilakukan oleh Kejaksaan Negeri dan BAPAS. Pengawasan tersebut dimaksudkan untuk tetap memonitor segala perbuatan narapidana dalam menjalani cuti yang diberikan. Apabila nantinya dalam pelaksanaan bebas bersyarat terdapat narapidana ternyata hidup secara tidak teratur, bermalas-malasan berkerja, bergaul dengan residivis, mengulangi tindak pidana, menimbulkan keresahan dan melanggar ketentuan mengenai pelaksanaan pembebasan bersyarat maka pembebasan yang di berikan dicabut kembali.

Dasar hukum yang utama mengenai pembebasan bersyarat adalah tertuang dalam Pasal 15 dan Pasal 16 KUHP, disamping itu terdapat pula aturan pelaksanaan yang lain dalam berbagai bentuk peraturan perundangundangan. Dalam Pasal 15 dan Pasal 16 KUHP tersebut terdapat syaratsyarat untuk mendapatkan pembebasan bersyarat bagi narapidana. Pasal 15 KUHP:

  • Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, sekurang-kurangnya harus sembilan bulan, maka ia dapat dikenakan pelepasan bersyarat. Jika terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut- turut, pidana itu dianggap sebagai satu pidana.
  • Ketika memberikan pelepasan bersyarat, ditentukan pula suatu masa percobaan, serta ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan.
  • Masa percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani, ditambah satu tahun. Jika terpidana ada dalam tahanan yang sah, maka waktu itu tidak termasuk masa percobaan. Pasal 15a KUHP:
  1. Pelepasan bersyarat diberikan dengan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana dan perbuatan lain yang tidak baik.
  2. Selain itu, juga boleh ditambahkan syarat-syarat khusus mengenai kelakuan terpidana, asal saja tidak mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik.
  3. Yang diserahi mengawasi supaya segala syarat dipenuhi ialah pejabat tersebut dalam Pasal 14d ayat 1.
  4. Agar supaya syarat-syarat dipenuhi, dapat diadakan pengawasan khusus yang semata- mata harus bertujuan memberi bantuan kepada terpidana.
  5. Selama masa percobaan, syarat-syarat dapat diubah atau di hapus atau dapat diadakan syarat-syarat khusus baru; begitu juga dapat diadakan pengawasan khusus. Pengawasan khusus itu dapat diserahkan kepada orang lain daripada orang yang semula diserahi.
  6. Orang yang mendapat pelepasan bersyarat diberi surat pas yang memuat syarat-syarat yang harus dipenuhinya. Jika hal-hal yang tersebut dalam ayat di atas dijalankan, maka orang itu diberi surat pas baru.
Pemberian pidana bersyarat sesuai dengan ketentuan pasal 15b KUHP:

  • Jika orang yang diberi pelepasan bersyarat selama masa percobaan melakukan hal-hal yang melanggar syarat-syarat tersebut dalam surat pasnya, maka pelepasan bersyarat dapat dicabut. Jika ada sangkaan keras bahwa hal-hal di atas dilakukan, Menteri Kehakiman dapat menghentikan pelepasan bersyarat tersebut untuk sementara waktu.
  • Waktu selama terpidasna dilepaskan bersyarat sampai menjalani pidana lagi, tidak waktu pidananya.
  • Jika tiga bulan setelah masa percobaan habis, pelepasan bersyarat tidak dapat dicabut kembali, kecuali jika sebelum waktu tiga bulan lewat, terpidana dituntut karena melakukan tindak pidana pada masa percobaan, dan tuntutan berakhir dengan putusan pidana yang menjadi tetap. Pelepasan bersyarat masih dapat dicabut dalam waktu tiga bulan bersyarat masih dapat dicabut dalam waktu tiga bulan setelah putusan menjadi tetap berdasarkan pertimbangan bahwa terpidana melakukan tindak pidana selama masa percobaan.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 15 KUHP tersebut diatas dapat dilihat tentang syarat pemberian pembebasan bersyarat. Dalam hal tersebut terdakwa harus telah menjalani hukuman sekurang-kurangnya dua pertiga dari hukuman yang dijatuhkan oleh hakim atau sekurang kurangnya sembilan (9) bulan dan dalam jangka waktu yang telah ditentukan tidak boleh melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum. Permohonan pembebasan bersyarat bagi narapidana yang telah memenuhi dua pertiga masa pidanannya yang sekurang-kurangnya Sembilan (9) bulan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 15 KUHP, maka sebelum permohonan diajukan ke Kantor Wilayah Departemen Kehakiman Republik Indonesia terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang telah ditentukan dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor. M.01.04.10 Tahun 1999 tentang Asimilasi, Cuti menjelang bebas dan Pembebasan Bersyarat, syaratnya sebagai berikut:

  • Syarat Substantif
  1. Telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana;
  2. Telah menunjukkan perkembangan budi pekerti dan moral yang positif;
  3. Berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun dan bersemangat;
  4. Masyarakat telah dapat menerima program pembinaan narapidana yang bersangkutan;
  5. Selama menjalani pidana narapidana atau anak pidana tidak pernah mendapat hukuman disiplin sekurang-kurangnya dalam waktu 9 bulan terakhir;
  6. Masa pidana yang dijalani; telah menjalani 2/3 darimasa pidananya, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi dihitung sejak tanggal putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dengan ketentuan 2/3 tersebut tidak kurang dari 9 bulan.
  • Administratif
  1. Salinan surat keputusan pengadilan;
  2. Surat keterangan asli dari kejaksaan bahwa narapidanma yang bersangkutan tidak mempunyai perkara atau tersangkut dengan tindak pidana lainnya;
  3. Laporan penelitian kemasyarakatan (Litmas) dari balai pemasyarakatan tentang pihak keluarga yang akan menerima narapidana, keadaan masyarakat sekitarnya dan pihak lain yang ada hubungannya dengan narapidana;
  4. Salinan (daftar huruf F) daftar yang memuat tentang pelanggaran tata tertib yang dilakukan narapidana selama menjalankan masa pidana dari kepala lembaga pemasyarakatan;
  5. Salinan daftar perubahan atau pengurangan masa pidana, seperti grasi, remisi, dan lain-lain dari kepala lembaga pemasyarakatan;
  6. Surat pernyataan kesanggupan dari pihak yang akan menerima narapidana, seperti; pihak keluarga, sekolah, intansi pemerintah/swasta dengan diketahui oleh pemerintah daerah setempat serendah-rendahnya lurah atau kepala desa;
  7. Surat keterangan kesehatan dari psikolog atau dari dokter bahwa narapidana sehat baik jasmani maupun jiwanya dan apabila di Lapas tidak ada Psikolog dan dokter, maka surat keterangan dapat dimintakan kepada dokter puskesmas atau rumah sakit umum;
  8. Bagi narapidana atau anak pidana WNA diperlukan syarat tambahan:
  • Surat keterangan sanggup menjamin kedutaan besar/konsulat negara orang asing yang bersangkutan.
  • Surat rekomendasi dari kepala kantor imigrasi setempat.
Selain ketentuan yang mengatur tentang syarat untuk pemberian pembebasan bersyarat tersebut diatas, dalam Pasal 16 KUHP juga diatur tentang pihak yang berwenang untuk menetapkan pemberian pembebasan bersyarat. Ketentuan dalam Pasal 16 KUHP adalah sebagai berikut :

Pasal 16

a) Ketentuan pelepasan bersyarat ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas usul atau setelah mendapat kabar dari pengurus penjara tempat terpidana, dan setelah mendapat keterangan dari jaksa tempat asal terpidana. Sebelum menentukan, harus ditanya dahulu pendapat Dewan Reklasering Pusat, yang tugasnya diatur oleh Menteri Hukum dan HAM. Ketentuan mencabut pelepasan bersyarat, begitu juga hal-hal yang tersebut dalam Pasal 15a ayat 5, ditetapkan oleh Menteri Hukum dan HAM atas usul atau setelah mendapat kabar dari jaksa tempat asal terpidana. Sebelum memutus, harus ditanya dahulu pendapat Dewan Reklasering Pusat.

b) Selama pelepasan masih dapat dicabut, maka atas perintah jaksa tempat dimana dia berada, orang yang dilapaskan bersyarat orang yang dilepaskan bersyarat dapat ditahan guna menjaga ketertiban umum, jika ada sangkaan yang beralasan bahwa orang itu selama masa percobaan telah berbuat hal-hal yang melanggar syarat-syarat tersebut dalam surat pasnya. Jaksa harus segera memberitahukan penahanan itu kepada Menteri Kehakiman.

c) Waktu penahanan paling lama enam puluh ahri. Jika penahanan disusul dengan penghentian untuk sementara waktu atau pencabutan pelepasan bersyarat, maka orang itu dianggap meneruskan menjalani pidananya mulai dari tahanan.

Mengenai bagaimana cara pengusulan pembebasan bersyarat, tentang bagaimana cara Menteri Hukum dan HAM meminta saran dari Dewan Reklasering Pusat, tentang apa saja yang dapat diputuskan oleh Menteri Hukum dan HAM tersebut, Semua tidak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, melainkan diatur dalam Ordonansi Pembebasan Bersyarat Tanggal 27 Desember 1917, Staatblad tahun1919 Nomor 744. Menurut Pasal 1 dari Ordonansi tentang pembebasan bersyarat, usul dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan yang dikirim kepada Menteri Hukum dan HAM memuat:

  1. Penunjukan dengan secermat mungkin terpidana yang bersangkutan;
  2. Penyebutan putusan hakim yang pidananya harus dijalankan oleh terpidana tersebut, hari mulai dijalankannya pidana itu dan kapan akan berakhir;
  3. Segala hal yang diketahui oleh kepala penjara tentang riwayat hidup terpidana tersebut yang sekiranya perlu dicantumkan, pekerjaan atau usaha apa yang telah pemah dijalankan sebelum dijatuhi pidana, apa yang telah dipelajarinya, kemungkinan cara mencari nafkah sesudah dilepaskan dan berhubungan dengan itu usul untuk diberikan bekal uang atau tidak kepada orang yang akan dilepaskan dengan bersyarat itu dari kas pesangonnya;
  4. Syarat-syarat khusus yang dihubungkan dengan pelepasan bersyarat itu yang antara lain dapat mengenai tempat tinggalnya di dalam atau di luar suatu daerah;
  5. Tempat yang ingin dituju terpidana itu setelah dilepaskan dengan bersyarat itu.

Pasal 2 Ordonansi ini juga menentukan bahwa usulan dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan harus terlampir dengan :

  1. Kutipan surat keputusan hakim yang menjadi dasar terpidana tersebut menjalani pidananya disertai daftar mutasinya;
  2. Daftar yang disahkan tentang pidana tata tertib yang telah dijatuhkan kepadanya selama tiga tahun sebelum usul itu diajukan;
  3. Segala pemberitaan dan keterangan yang diperoleh berdasarkan Pasal 3 atau turunannya.

Setelah menerima usulan mengenai pembebasan bersyarat seseorang narapidana dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan, maka Menteri Hukum dan HAM akan mengusulkan usul tersebut kepada Dewan Reklasering Pusat. Menteri Hukum dan HAM akan memberikan putusannya mengenai pembebasan bersyarat bagi seorang narapidana dengan menetapkan jangka waktu yang ada dan menetapkan besarnya jumlah uang yang akan didapat oleh narapidana sebagai bekal untuk memulai dengan usaha yang baru setelah dibebaskan secara bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan. Dalam Pasal 5 Ordonansi tentang Pembebasan Bersyarat menyebutkan sebagai berikut:

  • Pada waktu pemberian pelepasan bersyarat, diberikan surat tanda izin (Pas) kepada terpidana itu menurut model yang dilampirkan pada ordonansi ini;
  • Syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa pidananya belum selesai dicantumkan di bagian belakang surat izin itu;
  • Duplikat surat izin yang dibubuhi sidik jari terpidana itu disampaikan kepada Kantor Besar Penjara (kini: Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia). Pasal 15a ayat (1) dan ayat (2) KUHP hanya menyantumkan bahwa bagi orang yang dibebaskan secara bersyarat itu dapat ditetapkan secara syarat umum dan syarat khusus yang harus dipenuhi oleh seseorang narapidana selama masa percobaan, akan tetapi tidak menjelaskan secara rinci tentang kriteria yang harus digunakan untuk menetapkan syarat-syarat tersebut, kecuali hanya membatasi bahwa syarat khusus berkenaan dengan prilaku narapidana tidak boleh membatasi kebebasan untuk beragama dan kebebasan berpolitik.

Pasal 19 Ordonansi pembebasan bersyarat mengatur syarat limitatife hal-hal yang tidak boleh dilanggar seorang narapidana yang mendapatkan pembebasan bersyarat, yaitu : Terpidana yang dilepaskan dengan bersyarat dianggap berprilaku bertentangandengan syarat-syarat umum yang dimaksud dalam Pasal 15 a Kitab Undang-undang Hukum Pidana bila:

  1. ia hidup secara malas dan tidak terkendalikan.
  2. ia bergaul dengan orang-orang yang terkenal jahat
Terhadap seorang narapidana yang sedang menjalani masa percobaan pembebasan bersyarat kemudian melakukan pelanggaran seperti yang telah ditentukan dalam Pasal 19 Ordonansi pembebasan bersyarat, maka pembebasan bersyarat dapat dicabut kembali untuk sementara waktu atau dapat di cabut sepenuhnya. Mekanisme pencabutan pemberian pembebasan bersyarat ini dilakukan oleh Dewan Reklasering Pusat atau usul dari Menteri Hukum dan HAM Setelah Menteri Hukum dan HAM mendapat surat dari Jaksa wilayah dimana tnarpidana tersebut tinggal yang isinya sesuai dengan Pasal 12 ayat (2) huruf a dan b juga pada ayat (3) Ordinansi pembebasan bersyarat, yaitu:

  • Usul asisten residen agar keputusan tentang pelepasan bersyarat dicabut memuat:
  1. keterangan yang terinci mengenai orang yang dilepaskan dengan bersyarat itu, sedapat mungkin dengan dilampirkan juga pasnya;
  2. alasan-alasan yang menyebabkan diajukan usul itu.
  • Pada usul ini dilampirkan berita-berita acara, catatan-catatan, dan surat surat lain yang dipandangberguna, begitu pula berita acara pemberiksaan orang yang dilepaskan dengan bersyarat itu, kecuali jika memang ia tidak dapat didengar.


[1] Petrus Irwan Pandjaitan dan Wiwik Sri Widiarty, 2008, Pemasyarakatan Narapidana, Jakarta: Indhill Co, hal. 23.

[2] R. Achmad S. Soemadipradja dan Romli Atmasasmita, 1997, Sistem Pemasyarakatan Di Inodonesia,Bandung: Penerbit Binacipta, hal. 17.

[3] E.Y. Kanter dan S. R. Sianturi,2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, cet. 3, Jakarta: Storia Grafika, hal. 473.

[4] Bambang Poernomo, 1995, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan,Yogyakarta: Liberty, hal. 87.

[5] P.A.F. Lamintang, 1984. Op. Cit., hal. 247-248.