Pembagian Maqasid Al-Syari’ah

SUDUT HUKUM | Dalam memaparkan hakikat Maqasid Al-Syari’ah, telah dikemukakan bahwa dari segi substansi Maqasid Al-Syari’ah adalah kemaslahatan. Kemaslahatan dalam taklif Tuhan dapat berwujud dalam dua bentuk, pertama dalam bentuk hakiki, yakni manfaat langsung dalam arti kausalitas, kedua, dalam bentuk majazi yakni bentuk yang merupakan sebab yang membawa kemaslahatan.[1]


Sebagian besar masalah yang terdapat dalam Ushul Fiqh tidak memperdulikan hikmah syariah dan tujuannya, tetapi hanya sekedar berputar-putar pada wilayah pengambilan hukum dari lafadz asy- Syari melalui kaidah-kaidah kebahasaan yang jelas-jelas memungkinkan bagi orang yang menguasainya untuk melepaskan furu dan rsquo; dari hikmah dan tujuan syariah. Menurut alsyatibi kemaslahatan tersebut dilihat dari dua sudut pandang.

Dua sudut pandang itu adalah:

  1. Maqasid Al-Syari’ (Tujuan Tuhan)
  2. Maqasid Al-mukalaf (Tujuan Mukallaf)
Maqasid Al-Syrai’ah dalam arti Maqasid al-Syari’, mengandung empat aspek. Keempat aspek tersebut adalah:
  1. Tujuan awal dari syari’at yakni kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat
  2. Syari’at sebagai sesuatu yang harus di fahami
  3. Syari’at sebagai hukum taklif yang harus dilakukan, dan
  4. Tujuan syari’at adalah membawa manusia ke bawah naungan hukum.
Aspek pertama berkaitan dengan muatan dan hakikat maqasid al sayri’ah. Aspek kedua berkaitan dengan dimensi bahasa agar syariat dapat dipahami sehingga dicapai kemaslahatan yang dikandungnya. Aspek ketiga berkaitan dengan pelaksanaan ketentuan-ketentuan syari’at dalam rangka mewujudkan kemaslahatan. Ini juga berkaitan dengan kemampuan manusia untuk melaksanakanya. Aspek yang terakhir berkaitan dengan kepatuhan manusia sebagai mukallaf di bawah dan terhadap hukum-hukum Allah atau dalam istilah yang lebih tegas aspek tujuan syari’at berupaya membebaskan manusia dari kekangan hawa nafsu.[2]

Apabila tujuan dari suatu larangan adalah bentuk perbuatan, maka tidak diperbolehkan menggunakan sifat yang tidak berhubungan dengan esensi dari perbuatan itu sendiri.[3] Aspek pertama sebagai inti dapat terwujud melalui pelakasanaan taklif atau pembenahan hukum terhadap para hamba sebagai aspek ketiga.


Taklif tidak dapat dilakukan kecuali memiliki pemahaman baik dimensi lafal maupun maknawi sebagaimana aspek kedua. Pemahaman dan pelaksanaan taklif ini dapat membawa manusia berada dibawah lindungan hukum Tuhan, lepas dari kekangan hawa nafsu, sebagai aspek keempat.


Dalam keterkaitan demikianlah tujuan diciptakan syariat yakni kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat, sebagai aspek inti, dapat diwujudkan.


Dalam rangka pembagian Maqasid Al-Syari’ah, aspek pertama sebagai aspek ini menjadi focus analisi. Sebab, aspek pertama berkaitan dengan hakikat pemberlakuan syariat oleh tuhan. Hakikat atau tujuan awal pemberlakuan syari’at adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Kemaslahatan itu dapat diwujudkan apabila unsur pokok dapat diwujudkan dan dipelihara. Kelima unsur pokok itu, kata al-Sytaibi adalah agama, jiwa keturunan, akal dan harta. Dalam usaha mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok itu, ia membagi kepada tingkat maqasid atau tujuan syari’ah, yaitu:

  • Maqashid al-daruriyat
  • Maqashid al-Hajiyat, dan
  • Maqashid al-Tahsiniyat.
Maqasid al Daruriyat dimaksud untuk memelihara lima unsur pokok dalam kehidupan manusia di atas. Maqasid al- Hajiyat dimaksud untuk menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharan terhadap lima unsur pokok menjadi lebih baik lagi. Sedangkan Maqasid al Tahsiniyat dimaksudkan agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk penyempurnaan pemeliharaan lima unsur pokok.


Tidak terwujudnya aspek daruriyat dapat merusak kehidupan manusia dunia dan akhirat secara keseluruhan. Pengabian terhadap aspek hajiyat, tidak sampai merusak keberadaan lima unsur pokok, akan tetapi hanya membawa kepada kesulitan bagi manusia sebagai mukallaf dalam merealisasikanya. Sedangkan pengabaian aspek tahsiniyat, membawa upaya pemeliharaan lima unsur pokok tidak sempurna. Sebagai contoh, dalam memelihara unsur agama, aspek daruriyatnya antara lain mendirikan salat. Salat merupakan aspek darurariyat, keharusan menghadap kiblat merupakan aspek hajiyat, dan menutup aurat merupakan aspek tahsiniyat.


Dalam rangka pemahaman dan dinamika hukum Islam, pengkategorian yang dilakukan oleh Al-syatibi kedalam tiga macam Maqasid itu perlu pula dilihat dalam dua klompok besar pembagian yaitu segi keduniaan dan segi keahiratan. Secara tegas al-Syitibi memang tidak menyebutkan pembagian terakhir ini. Akan tetapi apabila kita memahami pemikiran al-syatibi dalam kitabnya Al-Muafaqot, bertolak dari batasan bahwa al-Maqasid adalah kemaslahatan, maka dapat dikatakan bahwa ia juga membagi maqasid atau tujuan hukum kepada oreentasi kandungan.

Kedua kandungan itu adalah:

  • Al-masalih al-Dunyawiyyah (tujuan kemaslahatan dunia)
  • Al-masalih al-Ukhrowiyyah (tujuan kemaslahatan akhirat)



[1] Husen Hamid Hasan, Nazariyah al maslahah fi al-fiqih al-islam, (Mesir: dar al Nahdhah al-arabiyah, 1971), Hal. 5

[2] Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Al-Ssyari’ah menurut AL-Syatibi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm 70

[3] Muhamad Hashim kamali, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam ‘ushu al-Fiqh’ (Yogyakarta : Pustaka pelajar, 1996), Hal. 186