Pokok-Pokok Isi Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat

SUDUT HUKUM | Undang-undang Zakat yaitu Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat (selanjutnya disebut UUPZ) disahkan di Jakarta pada tanggal 23 September 1999 pada masa pemerintahan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie.

Inilah kali pertama dalam sejarah pemerintah mengatur kaitan antara zakat yang dibayarkan masyarakat sebagai pelaksanaan kewajiban beragama dengan pajak yang dibayarkan kepada negara yang merupakan kewajiban kenegaraan bagi setiap warga negara.

Sebagai landasan pertimbangannya adalah bahwa Republik Indonesia yang menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk beribadat menurut agamanya masing-masing serta kepercayaannya itu; sehingga dalam penunaian zakat sebagai kewajiban atas umat Islam Indonesia yang mampu.

Hasil pengumpulan zakat merupakan sumber dana yang potensial bagi upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa. zakat merupakan pranata keagamaan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan memperhatikan masyarakat yang kurang mampu.

Undang-undang ini terdiri dari 10 Bab dan 25 Pasal yang disertai dengan penjelasan. Adapun sistematika dari UUPZ adalah sebagai berikut:

1. Bab I Ketentuan Umum terdiri dari 3 Pasal (Pasal 1, 2 dan 3).
Bab I ini mengatur tentang pengertian-pengertian dari istilah yang dipakai dalam UUPZ, siapa yang berkewajiban membayar zakat dan juga tentang tugas pemerintah berkaitan dengan pengelolaan zakat.

2. Bab II terdiri dari 2 pasal yaitu pasal 4 dan 5.
Bab II ini mengatur tentang asas dan tujuan pengelolaan zakat.

3. Bab III mengatur tentang Organisasi Pengelolaan Zakat.
Bab ini terdiri dari 5 pasal (Pasal 6, 7, 8, 9 dan 10).

4. Bab IV terdiri dari 5 pasal yaitu pasal 11, 12, 13, 14, dan 15. Bab IV ini mengatur tentang pengumpulan zakat.

5. Bab V terdiri dari 2 pasal yaitu pasal 16 dan 17.
Bab ini mengatur tentang pendayagunaan zakat.

6. Bab VI adalah bab yang mengatur tentang pengawasan.
Bab ini terdiri dari 3 pasal (pasal 18, 19 dan 20).

7. Bab VII mengatur tentang Sanksi.
Bab ini terdiri dari 1 pasal yaitu pasal 21.

8. Bab VIII mengatur tentang ketentuan-ketentuan lain dan terdiri dari 2 pasal yaitu pasal 22 dan 23.

9. Bab IX mengatur tentang ketentuan peralihan yang terdiri dari 1 pasal yaitu pasal 24.
10. Bab X adalah bab terakhir dalam UUPZ yang mengatur tentang ketentuan penutup dan terdiri dari 1 pasal yaitu pasal 25.

Patut disyukuri telah lahir Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Ketentuan ini semakin mengokohkan eksistensi badan pengelola zakat, infaq dan shadaqah (baca: BAZIS) di negara kita. Dengan adanya pengukuhan terhadap lembaga ini diharapkan zakat bisa dikelola secara profesional sehingga mampu memberikan output yang lebih jelas.

Ini sejalan dengan ayat yang mengakui eksistensi amil (QS. 9: 60). Dalam ayat ini, Allah menggunakan lafal jamak muzakkar salim (menggunakan subjek banyak) yang berarti zakat dikelola oleh banyak orang atau secara kolektif.

Malahan posisi amil disebutkan setelah posisi fakir dan miskin yang sama-sama berhak menerima zakat. Artinya, Allah menginginkan agar penanganan zakat ini profesional dan butuh cost (biaya) yang bisa diambil dari zakat itu sendiri (2,5%).

Hanya saja masyarakat terkadang belum begitu menyadari pentingnya lembaga ini. Tak sedikit yang memilih langsung memberikan kepada fakir miskin. Sehingga tanpa disadari ikut menumbuhkan timbulnya rasa riya sebagai dewa penolong pada yang berzakat di satu sisi, dan di sisi lain melahirkan ketergantungan mustahik yang luar biasa pada muzakki. Kelompok mustahik hanya akan tetap jadi konsumen tanpa ada kemungkinan jadi muzakki. Sebab yang mereka peroleh biasanya juga bersifat konsumtif, dan bukan produktif.

Lain halnya kalau zakat, infaq dan shadaqah ditangani secara profesional, maka akan lebih bisa diberdayakan. Dana yang terkumpul bisa dialokasikan sebagai modal usaha. Sehingga sekian tahun ke depan mustahik sudah berubah menjadi muzakki.

Khalifah Umar bin Khatab pernah memberikan modal seekor unta berikut tepung dan minyak untuk pengembangan bisnis kepada seorang wanita yang meminta tolong kepadanya. Pada tahun berikutnya Umar masih menambahi modal perempuan tersebut. Sampai pada akhirnya sang wanita bisa mandiri sekaligus berstatus pemberi zakat. Oleh sebab itu, sangat besar harapan masyarakat akan kiprah Badan Amil Zakat yang telah ada saat ini.