Pengakuan dalam Pembuktian

SUDUT HUKUM | Alat bukti pengakuan dalam hukum acara perdata adalah apabila pihak tergugat atau pihak lawan dalam perkara dipersidangan telah mengakui adanya suatu peristiwa hukum, umumnya tidak perlu adanya pembuktian. Namun, jika ternyata dalam suatu perkara pengakuan seseorang terhadap hak kepemilikan atas suatu benda baik bergerak maupun tidak bergerak dan terjadinya suatu peristiwa hukum disangkal oleh pihak lawan, maka pihak yang disangkal tersebut harus membuktikan adanya bukti hak kepemilikan atas bendanya dan bukti atau saksi yang melihat dan mendengar terjadinya peristiwa hukum yang dilakukan oleh para pihak yang sedang berperkara.[1]

Pengertian pengakuan yang bernilai sebagai alat bukti menurut pasal 1925 KUH Perdata, pasal 174 HIR, adalah:
  1. Pernyataan atau keterangan yang dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam proses pemeriksaan suatu perkara.
  2. Pernyataan atau keterangan itu dilakukan di muka hakim atau dalam sidang pengadilan.
  3. Keterangan itu merupakan pengakuan, bahwa apa yang didalilkan atau yang dikemukakan pihak lawan benar untuk keseluruhan atau sebagian.[2]

Pengakuan dalam PembuktianPengakuan dalam pasal 174 HIR masuk dalam pengakuan murni karena pihak lawan atau tergugat membenarkan secara keseluruhan gugatan penggugat dan tidak mengadakan perlawanan atas gugatan penggugat. Pengakuan ditinjau dari segi hukum pembuktian, merupakan lawan dari penyangkalan atau bantahan. Pihak tergugat menyangkal apa yang didalilkan penggugat, atau sebaliknya penggugat membantah hal-hal yang dikemukakan tergugat. Terjadinya hal seperti itu, dengan sendirinya membawa suasana proses pemeriksaan kearah pembebanan wajib bukti untuk membuktikan dalil yang dibantah masing-masing pihak.
Dalam perkara perdata, fungsi hakim terbatas mencari kebenaran formil yaitu kebenaran tentang hal-hal yang diminta para pihak kepadanya. Itulah sebabnya, apabila ada pengakuan yang diberikan salah satu pihak tentang apa yang didalilkan, berarti para pihak telah menyingkirkan hal yang diakui dari pemeriksaan dan pendapat hakim. Berarti sepanjang yang diakui, tidak perlu dibuktikan lagi dengan alat bukti lain. Oleh karena itu, pengakuan tersebut bukan alat bukti, tetapi merupakan suatu keadaan yang membebaskan dari pembuktian tentang hal-hal atau dalil yang diakui.[3]
Pengakuan yang diberikan secara sukarela (voluntary) bukan dengan paksaan baik secara fisik dan psikis harus dianggap selamanya benar. Tidak menjadi masalah apakah pengakuan itu mengandung kebohongan, hakim mesti menerima dan menilainya sebagai pengakuan yang berisi kebenaran. Yang paling berhak dan berkepentingan atas tindakan itu adalah pihak yang memberikan pengakuan bukan hakim. Oleh karena itu, apabila dia memberi pengakuan yang mengandung kebohongan, berarti yang bersangkutan telah dengan seksama memperhitungkan segala akibat dan resiko yang timbul dari pengakuan itu. Tetapi, dalam hal tertentu secara kasuistik, hakim berwenang menilai apakah pengakuan itu benari atau bohong. Seperti contoh putusan MA No. 288 K/Sip/1973,[4] bahwa berdasarkan yurisprudensi tetap tentang hukum pembuktian, khususnya mengenai pengakuan, hakim berwenang menilai apakah pengakuan tersebut mengandung kebenaran atau kebohongan.
Nilai kekuatan pembuktian pengakuan yang dilakukan dalam persidangan menurut pasal 1925 KUH Perdata dan pasal 174 HIR adalah;
  • Daya mengikatnya, menjadi bukti yang memberatkan pihak yang melakukan pengakuan.
  • Nilai kekuatan pembuktian yang sempurna kepada pihak yang melakukannya.
  • Apabila pengakuan itu murni, kualitas nilai kekuatan pembuktian yang bersifat sempurna itu meliputi juga daya kekuatan mengikat (bindende) dan menentukan (beslissende).[5]

Pengakuan dalam perkara perdata umumnya dipergunakan untuk mengetahui benar tidaknya kejadian atau peristiwa hukum yang dilakukan oleh para pihak yang sedang berperkara. Jadi, jelaslah sudah bahwa secara yuridis pengakuan dalam perkara perdata tidak sama dengan pengakuan yang ada dalam pidana, disini terdapat perbedaan yang sangat bertentangan dalam hal pengakuan dipakai sebagai alat bukti.
Perbedaannya adalah bahwa dalam perkara perdata pengakuan tergugat terhadap gugatan penggugat dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah tentang adanya peristiwa hukum yang dilakukan oleh para pihak sebelum terjadinya perkara, sedangkan dalam perkara pidana pengakuan yang diberikan oleh terdakwa justru akan memberatkan orang yang telah didakwa karena pengakuannya tentang tindak pidana yang telah dilakukannya.[6]
Pengakuan ada kalanya di depan sidang dan ada kalanya tidak di depan sidang. Pengakuan di depan sidang adalah merupakan alat bukti yang sempurna dan mengikat, jadi pihak lawan atau hakim tidak perlu membuktikan, lain lagi melainkan telah cukup untuk memutus dalam bidang persengketaan yang telah diakui tersebut.[7]

Pengakuan yang tidak di depan sidang, hakim bebas untuk menilai tidak mengikat dan bukan alat bukti yang sempurna, kecuali kalau pengakuan di luar sidang dulunya itu diulangi ucapannya di depan sidang, sekalipun pengakuan di luar sidang dahulunya itu diberikan dimuka orang yang kini sebagai hakim yang menyidangkan perkara.[8]



[1] Sarwono, Hukum Acara Perdata (Teori dan Praktik), (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 273.
[2][2] Ropaum Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 254.
[3] Yahya harahap, Hukum Acara Perdata…,722.
[4] Tanggal 16-12-1975, Rangkuman Yurisprudensi MA Indonesia II, Hukum Perdata dan Acara Perdata, Proyek yurisprudensi MA, 1997, 219.
[5] Yahya harahap, Hukum Acara Perdata…,723
[6] Sarwono, Hukum Acara Perdata…, 274.
[7] Raihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2007), 180.
[8] Ibid.