Syarat-syarat Pemberian Perlindungan dan Bantuan

SUDUT HUKUM | Syarat-syarat pemberian perlindungan dan bantuan terdapat dalam Pasal 28 Undang-undang No 13 Tahun 2006 dimana perjanjian perlindungan lembaga perlindungan saksi dan korban terhadap Saksi dan/atau Korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diberikan dengan mempertimbangkan syarat sebagai berikut:
  • Sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau Korban;
  • Tingkat ancaman yang membahayakan Saksi dan/atau Korban;
  • Hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau Korban;
  • Rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh Saksi dan/atau Korban.

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memberikan batasan pengertian saksi itu sendiri sebagai seseorang yang “melihat, mendengar, atau mengalami” suatu tindak pidana. Pengertian yang sama dijumpai dalam Undang- Undang Perlindungan Saksi dan Korban (Pasal 1 ayat (1)). Dalam beberapa kasus, bagaimanapun,orang-orang akan lebih takut untuk melapor suatu tindak pidana.

Seseorang yang mengetahui suatu tindak pidana dan bahkan memiliki bukti penting tetapi tidak masuk dalam kategori sebagaimana ditetapkan dalam undangundang, tidak akan mendapatkan perlindungan saksi, yang mana berarti bahwa mereka dapat saja mengalami bentuk-bentuk intimdasi dan ancaman.
Keamanan seseorang yang tampil ke depan dan mempublikasikan informasi masih dibatasi, mengingat tidak semua orang yang dapat saja melapor sebuah kejahatan, atau menyediakan bukti, diberikan perlindungan. Dalam kasus terjadinya pelanggaran HAM hal pokok termasuk keperluan untuk menjaga aktifis Lembaga Swadaya Masyarakat dan kelompok masyarakat sipil lainnya. Secara khusus, seseorang yang karena “menyediakan informasi tanpa adanya itikad baik” tidak mendapatkan perlindungan (Pasal10ayat (3)) Undang-undang No 13 Tahun 2006. Dengan menghindari klarifikasi pada siapa yang berhak memberikan penilaian semacam itu dan atas dasar apa seseorang dapat dimasukkan ke dalam kategori ini, teks tersebut meninggalkan celah interpretasi yang cukup besar bagi kepentingan para pelaku.
Asian Human Rights Commisions menyambut dimasukkannya anggota keluarga saksi dan korban ke dalam skema perlindungan saksi dari lembaga perlindungan saksi dan korban. Tetapi, sebagai tambahan, seluruh saksi yang dapat menyediakan bukti-bukti, tanpa melihat hubungan mereka dengan kasus tersebut, seharusnya juga dapat dimasukkan kedalam undang-undang ini. Bagi seseorang yang dimasukkan ke dalam program perlindungan saksi dari lembaga perlindungan saksi dan korban, harus mendapat kepastian bahwa mereka akan diproses secara tepat waktu.
Lembaga perlindungan saksi dan korban diberikan waktu selama 7 hari untuk menanggapi, tetapi tidak ada ketentuan apapun yang dikeluarkan untuk mempercepat persyaratan-persyaratan tersebut dalam kasus-kasus yang sifatnya darurat, seperti pelanggaran Hak Asasi Manusia yang melibatkan pembunuhan oleh aparat militer atau personil kepolisian. Terlebih lagi, hak untuk mendapatkan asistensi medis dan rehabilitasi psikologi hanya dapat diterapkan pada korban pelanggaran Hak Asasi Manusias aja, sementara korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak termasuk untuk asistensi dan perlindungan semacam itu.

Berdasarkan Pasal 28 Undang-undang No 13 Tahun 2006, kondisi untuk perlindungan didasarkan pada pentingnya pemberian informasi oleh saksi atau korban, tingkatan ancaman, hasil asistensi medis dan analisa psikologis, dan catatan criminal saksi tersebut tidak disebutkan dalam undang-undang.
Mengenai motif dibalik pengancaman, maupun indikasi apapun yang dibuat dalam hal mana aspek-aspek pendampingan akan diperlukan.Untuk mengakhiri kebijakan perlindungan, bukti meyakinkan adanya ketidak amanan bukan syarat mutlak. Tanpa adannya bukti seperti itu, setiap petugas yang berwenang dapat saja mengakhiri perlindungan saksi yang dimohonkan oleh petugas yang sama. (Pasal 32 angka 1b) Undang-undang No 13 Tahun 2006.

Tidak ada ketentuan yang dibuat untuk memberikan perlindungan bagi para saksi dari aparat bersenjata untuk menjamin keamanan secara fisik, maupun tidak ada indikasi apapun menunjukkan kepada siapa yang berwenang untuk mengambil langkah seperti itu. Hanya pada Pasa l36 ayat (1) yang memberikan mandat kepada lembaga perlindungan saksi dan korban untuk “bekerjasama dengan instansi berwenang lainnya yang terkait”. Namun, instansi seperti itu hanya diwajibkan melaksanakan keputusan lembaga perlindungan saksi dan korban, sesuai dengan kewenangannya.
Negara lainnya, instansi seperti itu, termasuk kepolisian, angkatan bersenjata, departemen tertentu seperti Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum dan HAM. Di Indonesia, indikasi semacam ini tidak jelas. Undang-undang tersebut juga menghindari untuk mengklarifikasi prosedur komunikasi dan tugas antar instansi. Oleh karena itu, birokrasi yang berkepanjangan dan masalah procedural yang berbelit-belit hampir pasti akan dihadapi. Tidak ada persyaratan yang disebutkan dalam undang-undang bagi para anggota lembaga perlindungan saksi dan korban dalam hal pelatihan profesional. Namun, Pasal 11 ayat(3), menyatakan bahwa lembaga perlindungan saksi dan korban akan memiliki perwakilan di daerah sesuai dengan keperluan. Jika hal tersebut membuat kepolisian terlibat dalam perlindungan sebagaimana disyaratkan dalam undangundang, keselamatan para saksi hamper pasti tidak dapat terjamin, secara khusus dimana kebanyakan pelaku dalam kasus pelanggaran HAM adalah kepolisian.
Pendirian kantor cabang, diatas segalanya, tentu diperlukan di daerah-daerah tertentu dimana pelanggaran HAM serius sering terjadi, seperti Aceh, Papua Barat, Maluku, dan Sulawesi. Undang-undang juga tidak merujuk pada hak apapun bagi para korban atau saksi untuk memilih divisi lain di kepolisian untuk melaksanakan langkah-langkah perlindungan, begitu kepolisian ditugaskan untuk melaksanakan tugas perlindungan. Hal ini penting dalam kasus dimana petugas kepolisian di daerah biasanya menjadi pelaku pelanggaran HAM.
Perlindungan saksi yang dilakukan oleh Komisi Independen Pemberantasan Korupsi Hong Kong (Independent Commission against Corruption), adalah sebagai contoh pelaksanaannya dilakukan oleh divisi khusus tersendiri.