Teori Benhard Grose Fedd Dalam Bukunya The Strength and Weaknese of Comparative

SUDUT HUKUM | Bahwa tiap negara mempunyai sejarah dan culture yang berbeda, demikian juga historis yuridis kemerdekaan yang berbeda pula. Dikatakan dalam teori ini bahwa tiap kebudayaan mempunyai hukumnya sendiri (Every culture has its particular law, and every law has an unique individuality). Tentang ketentuan Perundang-undangan dapat mengakomodir penundukan militer pada peradilan umum dalam melakukan tindak pidana umum.

Tentang kompetensi mengambil tindak pidana yang dimaksud dalam Paal 65 ayat (2) UURI No. 24 Tahun 2004 tentang TNI. Hal ini tentunya kembali kepada historis, yuridis dan sosiologis TNI dan Palsafah Bangsa yang mengandung Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dan tercetus dalam sumpah Pemuda.

Peradilan Militer tetap dipertahankan karena merupakan fungsi strategis nilai-nilai dan semangat juang 1945. Hal ini merupakan pertahanan keamanan nasional yang jika tidak diberlakukan terjadi gaps atau kekosongan hukum sebagaimana diuraikan dalam pendapat Hans Kelsen. Dikatakan berlaku dalam segala situasi dan Eskalase Nasional baik dalam keadaan aman, terjadi perubahan adanya ancaman, gangguan yang dapat merongsong kewibawaan Pemerintah atau Negara meningkat menjadi darurat, darurat militer dan darurat perang.

Peradilan Militer merupakan gerbang keamanan nasional karena merupakan sejarah (historis) perjuangan kemerdekaan dan kemudian lahirnya TNI dari sini lahirnya Keamanan Republik Indonesia. Perjuangan yang panjang dalam merintis kemerdekaan melalui pejuang-pejuang rakyat Indonesia yang bersatu padu membuat Barisan Keamanan Rakyat (BKR) untuk mengusir penjajah dari muka bumi Indonesia yakni dari BKR (Badan Keamanan Rakyat)


berubah menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) kemudian TRI (Tentara Rakyat Indonesia) dan menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia). Maka hal ini senantiasa dipertahankan dan menjadi tradi. Dipertahankan dalam Sistim Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrat) yang merupakan pelibatan seluruh Rakyat Indonesia.

Pasal 27 UUD 1945 tentang persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, dan Pasal 30 UUD 1995 tentang kewajiban belanegara. Dalam historis yuridis merupakan perjuangan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang bersidang pada 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 dengan 3 orang pembicara sebagai putra-putri terbaik bangsa yaitu : Soepono, M. Jamin dan Soekarno. Mereka mengemukakan Dasar Negara Indonesia yang akhirnya diberi nama Pancasila. Dari sini PPKI merumuskan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945. Hasil pengkajian dan diskusi ini yang kemudian menjadi konsep kedaulatan Rakyat Indonesia menurut Pancasila dan UUD 1945.

Secara sosiologis hal ini diikuti, ditaati dan diyakini sebagai idiologi bangsa. Secara ideal sebagai satu kesatuan pandang dalam visi dan missi secara logis diterima oleh bangsa Indonesia dengan kesadaran bernegara, kesadaran hukum.

Pengalaman-pengalaman dalam negara kita sejak perang kemerdekaan, perang pembebasan (Irian) dan penumpasan-penumpasan pemberontakan sudah cukup banyak untuk dijadikan sebagai dasar penilaian apakah bagi kita perlu


mengadakan perundang-undangan agar supaya kekuasaan peradilan militer lebih diperluas lagi untuk dapat menanggulangi suatu tindak pidana yang dilakukan oleh “orang-orang tertentu”/non militer dalam keadaan perang dan/atau dalam suatu bagian negara yang dinyatakan dalam suatu tingkatan keadaan bahaya tertentu, atau dilakukan di suatu daerah musuh/lawan yang telah dikuasai angkatan Perang kita. Mengingat perkembangan hakekat, sifat dan cara peperangan di dunia internasional dewasa ini, kiranya tidak salah lagi apabila kita mengakui kekurang-cepatan kita untuk membuat perundang-undangan yang setidak-tidaknya mirip dengan ketentuan yang telah ada di negeri Belanda (bukan di Hindia Belanda).

Kecenderungan ini lebih diperkuat lagi dengan perkembangan-perkembangan pelajaran-pelajaran atau doktrin-doktrin dalam Angkatan Perang kita mengenai taktik dan stragtegi perang seperti misal perang gerilya, perang lawan gerilya, penyerangan, pertahanan, gerak mundur dan lain sebagainya. Terutama di daerah-daerah gerilya sudah barang tentu sangat rawan bagi alat-alat penegak hukum umum (sipil) untuk menjalankan fungsinya, sementara di satu negara hukum tidak diharapkan gar suatu kejahatan dibiarkan begitu saja, atau akan diselesaikan secara “hukum rimba”.

Peradilan Militer mengadili tindak pidana militer dan pelanggaran disiplin militer, terhadap pelanggaran disiplin militer yang berulang-ulang dapat dilakukan (pemecatan/PDTH (Pemberhentian Tidak Dengan Hormat).


Bahwa hukum disiplin militer merupakan “sifat alamiyah ke dua” (tweede natuur) dari seseorang militer dan tanpa (hukum) disiplin dalam kehidupan dan penghidupan militer, maka mereka itu tiada lebih dari pada gerombolan liar. Oleh karena itu terhadap mereka yang diberlakukan hukum disiplin militer walaupun mereka itu tidak disamakan dengan seseorang militer, sebaiknya ditentukan bahwa mereka termasuk jurisdiksi peradilan militer, setidak-tidaknya dalam rangka penerapan pasal-pasal tindak pidana dalam KUHPM.

Bahwa apabila suatu golongan, jawatan, badan atau organisasi demi kepentingan negara dalam hal ini kepentingan pertahanan dan keamanan (militer, dalam arti sempit) dinyatakan dipersamakan dengan (bagian) Angkatan Perang, maka sudah dapat dipastikan adanya hubungan yang erat secara timbal-balik antara organisasi tersebut dengan Angkatan Perang. Suatu contoh, apabila suatu pabrik pemerah bibir (lipstick) “ditugaskan” untuk memproduksikan peluru senjata, adalah tepat jika perusahaan itu dipersamakan dengan bagian dari Angkatan Perang. Demi kerahasiaan pembuatan peluru atau kemampuan memproduksi dan lain sebagainya, adalah tepat juga apabila terhadap anggota-anggota organisasi tersebut ditentukan termasuk juridiksi peradilan militer, setidak-tidaknya dalam rangka penerapan pasal-pasal tindak pidana dari KUHPM.

Bahwa seseorang non-militer yang menyertai/mengikuti suatu operasi militer baik karena hubungan dinas ataupun atas izin pimpinan operarasi militer, dalam banyak hal mempunyai “kesempatan” menyalahgunakn suatu kekuasaan/sarana/kesempatan yang ada pada satuan operasi tersebut. Kepada mereka ini pun perlu ditetapkan seperti yang diutarkan diatas.

“Pertahanan Negara merupakan fungsi pemerintahan negara untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan baik yang beradal dari luar maupun dalam negeri. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Pasal 7 ayat (2) dan (3) menyebutkan dua macam ancaman yaitu ancaman militer dan ancaman non militer. Ancaman militer adalah ancaman yang menggunakan kekuatan bersenjata dan terorganisasi serta dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara. Keutuhan wilayah negara dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman non militer, pada hakekatnya ancaman yang menggunakan faktor-faktor non militer yang dinilai mempunyai kemampuan dan membahayakan kedaulatan negara, kutuhan wilayah negara dan keselamatan segenap bangsa.

Masalah yang melibatkan Polisi mengabaikan kenyataan bahwa Polisi adalah bagian dari sistem keamanan dan keadilan yang lebih luas, yang bukan menjadi tanggung jawab mereka sepenuhnya.

Sistem Keamanan

Badan-badan yang terlibat dalam pemeliharaan dan pemulihan keamanan yaitu:

  • Militer.
  • Badan-badan keamanan internal.
  • Sektor keamanan swasta.
  • Penataan keamanan dan keadilan tradisional dan informal.
Bagaimana dengan Polisi (de jure dan de facto) berkaitan dengan hal tersebut. Polisi dituntut untuk melaksanakan tiga fungsi dasar yaitu pemeliharaan ketertiban umum, pencegahan dan pendeteksian tindak pidana dan penyediaan bantuan namun dapat diperbantukan atau ditambahkan fungsi lain diantaranya Keamanan Nasional dan Fungsi Intelijen.

Keamanan

Keamanan adalah kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hak dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.

Keamanan dibagi 2 bagian:

  • Defence security approach adalah merupakan pertahanan keamanan.
  • Social security approach (Kamtibmas)
Keterangan : subversi, insurgensi/insureaksi direct action (aksi sepihak). Proses sosial disosiatif bencana alam dan kriminilitas.