Teori Kedaulatan dan Hukum

SUDUT HUKUM | Kedaulatan rakyat adalah salah satu fokus perhatian penting yang muncul pada saat BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) mengadakan sidang I (29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945) yang menampilkan 3 orang pembicara yaitu: Soepomo, M. Jamin, dan Soekarno. Mereka masing-masing mengemukakan Dasar negara Indonesia yang akhirnya diberi nama Pancasila. PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) merumuskan Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945. Sebagai negara yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, Negara Indonesia perlu mempelajari konsep-konsep kedaulatan dan negara-negara lain yang telah lebih dahulu berdiri.
Hasil dan pengkajian dan diskusi inilah yang kemudian menjadi konsep Kedaulatan Rakyat Indonesia menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya tulisan ini hanya akan dibahas secara konsepsional. Konsepsional yang dimaksud adalah pembahasan didasarkan pada isi UUD 1945 dan sila-sila Pancasila secara teori (konsep).

Teori Kedaulatan dan Hukum
Menurut Hans Kelsen Teori mengenai negara maka jalan yang paling baik ialah meninjau persoalan tersebut semata-mata dari sudut hukum saja. Tiap peninjauan negara, organisasi negara hendaklah dimulai dengan peninjauan dari sudut hukum. Hans Kelsen menganggap lahirnya suatu negara sebagai suatu pernyataan yang sederhana yang tak dapat dimasukkan dalam hal-hal yang Yurusdiksi.
Generasi yang menjalankan negeri kita saat ini memang bukanlah mereka yang bermandikan peluh dan darah dalam memperjuangkan kemerdekaan. Bila tidak kita lestarikan, bisa saja apa yang sudah ada hanya menjadi sebuah tontonan tanpa suatu arti. Satu-satunya jalan agar sebuah perjuangan itu tidak padam adalah dengan mengingat apa yang terjadi di Indonesia dahulu kala. Akibat kemajuan, api revolusi kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan di negeri ini sudah dapat kita rasakan dan hargai.
Perjuangan merebut dan menegakkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia melahirkan dan membentuk Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai penjelmaan rakyat Indonesia yang melakukan perlawanan bersenjata terhadap penjajah, dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sebagai intinya. Bersamaan dengan itu, terbentuk pula tradisi kepejuangan prajurit Indonesia yang manunggal dengan rakyat, rela berkorban, percaya pada kekuatan sendiri, dan tidak mengenal menyerah. Tradisi itulah yang kemudian dikukuhkan sebagai kode etik prajurit ABRI, yaitu Sapta Marga, sebagai pencerminan tekad dan kepribadian prajurit ABRI seutuhnya, yaitu pejuang prajurit dan prajurit pejuang.
Disamping melahirkan dan membentuk TNI sebagai wadah pengabdian, pengalaman perjuangan kemerdekaan Indonesia telah pula keyakinan yang kuat tentang hakikat Pertahanan Keamanan Negara (Hamkamneg), yaitu perlawanan rakyat semesta, yang dilaksanakan dengan sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata). TNI beserta cadangannya, yang menjadi komponen utama kekuatan Hankamneg dalam Sishankamrata, dibina sebagai kekuatan siap yang relative kecil namun efektif dan efesien, serta memiliki mobilitas yang tinggi dan kekuatan cadangan yang cukup.
Pembinaan prajurit ABRI harus mengacu kepada tetap lestarinya tradisi keperjuangan, sehingga mampu mengemban setiap tugas yang dibebankan kepadanya, baik sebagai kekuatan pertahanan maupun keamanan Negara. Dalam pada itu, pembinaan prajurit ABRI merupakan salah satu fungsi komando yang menjadi tanggung jawab setiap Komandan/Pimpinan satuan ABR1 yang bersangkutan, mulai dan yang terendah sampai yang tertinggi.
Perlu tidaknya Hukum Militer erat hubungannya dengan persoalan ada tidaknya perbedaan antara Hukum Umum dan Hukum Militer. Dan ada tidaknya perbedaan fungsi ini tergantung dan pada ada tidaknya perbedaan kedudukan atau tugas kewajiban antara orang preman (bukan militer) dengan orang militer.
Orang militer harus mengabdikan kemauannya sendiri kepada kemauan orang lain, kepada kemauan Angkatan Bersenjata. Untuk itu jika perlu, dia harus mengenyampingkan perasaan-perasaan, pendapat-pendapat serta kepentingan-kepentingan pribadinya. Sifat menurut dan menjadikan kemauan sendiri kepada kemauan orang lain, harus dipelajari dan dipelihara. Untuk memudahkannya maka setiap militer diwajibkan untuk menghormati atasannya dan menghargai bawahannya.
Itulah kewajiban-kewajiban khusus yang terutama dan pada seorang militer. Secara praktis dapat dikatakan bahwa semua kewajiban-kewajiban lainnya dan pada seorang militer dapat dikembalikan kepada kedua kewajiban utama tadi. Melalaikan kewajiban-kewajiban tersebut mungkin dapat mengakibatkan suatu malapetaka bagi kelanjutan kehidupan Negara dan Bangsa. 33 Oleh karena itu bagaimana yurisdiksi yang dimaksud “Pelanggaran Hukum Pidana” yang terdapat dalam Pasal 65 ayat (2) dan (3) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI hal ini berkaitan dengan tindak pidana dan kompetensi mengadili.

Teori Kedaulatan

Kedaulatan rakyat sesungguhnya merupakan salah satu dan sekian banyak teori kedaulatan. Di samping teori kedaulatan rakyat, dikenal juga teori kedaulatan Tuhan, kedaulatan raja, Kedaulatan negara dan kedaulatan hukum. Jenis teori kedaulatan yang dianut suatu negara biasanya dapat diamati dan dasar negara, bentuk negara, bentuk pemerintahan, dan sistem hukumnya. Dapat juga terjadi, tidak hanya satu teori kedaulatan yang dianut oleh suatu negara, tetapi gabungan atau kombinasi dan beberapa teori sekaligus. Indonesia misalnya, termasuk negara yang menganut lebih dan satu teori kedaulatan.
Dalam pembukaan UUD 1945 dinyatakan, bahwa kemerdekaan didasarkan atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Hal ini mengandung pengakuan akan kekuasaan Tuhan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas makhluk hidup dan segenap ciptaan-Nya. Dengan demikian, Tuhan memiliki kedaulatan. Selanjutnya disinggung pula tentang Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dan dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 ditegaskan tentang kedaulatan ada di tangan rakyat. Pasal 3 UUD 1945 menyatakan: “Oleh karena Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) memegang kedaulatan negara, maka kekuasaannya tidak terbatas,..,”. Penjelasan tersebut menyinggung tentang kedaulatan negara. Kemudian Penjelasan UUD 1945 tentang sistem pemerintahan negara, kunci pokok yang pertama menegaskan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat). Ini berarti Negara Indonesia juga menganut teori kedaulatan hukum, demikian juga dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 45 secara tegas dituliskan : “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dalam ilmu hukum dan filsafat hukum, kasus mengenai istilah kedaulatan rakyat dikaitkan dengan permasalahan : mengapa orang menaati hukum. Permasalahan tersebut dapat dirumuskan dengan perkataan lain: “Siapa yang menjadi sumber hukum utama dalam negara itu?” Jawaban atas pertanyaan itu melahirkan banyak teori kedaulatan, seperti kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Rakyat, kedaulatan negara, dan kedaulatan hukum.
Demikian pula dalam hukum tata negara, masalah kedaulatan ini juga muncul dalam konteks pembicaraan serupa tentang siapa yang memegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Konsep kedaulatan rakyat ini sering kali diidentikkan dengan konsep demokrasi. Secara etimologis, demokrasi (demos = rakyat, kratos/kratein kekuasaan/berkuasa). Lengkapnya, dapat dikatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat.
Pengertian kekuasaan sendiri menurut definisi yang telah diterima secara umum adalah kemampuan seseorang/ sekelompok orang/ suatu badan untuk mempengaruhi orang lain agar bersikap/bertindak sesuai dengan keinginan yang memiliki kemampuan itu. Kekuasaan harus pula dibedakan dengan kewenangan. Kewenangan adalah kekuasaan yang ada pada seseorang/ sekelompok orang yang mempunyai dukungan/ mendapat pengakuan dan masyarakat. Dengan demikian, demokrasi sesungguhnya lebih luas cakupannya daripada kedaulatan rakyat.
Demokrasi dalam arti material adalah segala kewenangan yang dimiliki rakyat. Dalam arti formal, demokrasi berkaitan dengan tata cara rakyat dalam melaksanakan kewenangan itu. Jelaslah, bahwa kedaulatan rakyat adalah salah satu unsur penting dalam demokrasi.
Kedaulatan rakyat sendiri merupakan suatu konsep ketatanegaraan yang dianut banyak negara. Konsep kedaulatan dalam alam pikiran modern pertama kali dikemukakan oleh Jean Bodin, melanjutkan apa yang dikemukakan oleh Machiaveli. Selanjutnya, konsep ini terus berkembang dan tercatat beberapa nama penting disinggung setiap kali berbicara tentang Kedaulatan Rakyat, yaitu Thomas Hobbes, John Locke dan Jean Jacques Rousseau. Konsep tersebut dikembangkan sebagai reaksi atas kekuasaan yang terlalu besar dan kaum penguasa negara dan gereja, khusus pada abad pertengahan di Eropa. Paham perjanjian yang dikemukakan Thomas Hobbes berangkat dan perjanjian antar individu untuk melahirkan suatu negara.
Dalam perjanjian itu, para individu yang selalu bertikai itu menyerahkan semua hak mereka kepada negara. ini berarti perjanjian yang dilakukan bukan antara individu dengan negara, sebab negara adalah buah dari perjanjian itu, dan tidak mempunyai kewajiban apapun terhadap para individu. Negara adalah “manusia buatan”, atau Sang Leviatan sebagaimana judul yang diberikan Thomas Hobbes atas bukunya. Negara mempunyai kehidupan dan kehendak sendiri. Sang Leviatan ini dapat saja mati/bubar, tetapi selama ia ada, selama itu pula ia berkuasa dan berwenang mutlak menyerupai Tuhan.
Hobbes bahkan juga mengatakan, bahwa negara itu ibarat “Tuhan yang dapat mati”. Paham ini melahirkan absolutisme negara, yang dalam prakteknya berarti bukan pula absolutisme penguasa negara (raja). Hobbes bukan tidak menyadari jika absolutisme ini dapat saja disalahgunakan oleh penguasa. Untuk itu ia menyatakan penguasa masih mempunyai kewajiban untuk bertanggung jawab kepada Tuhan, karena kekuasaan yang diperolehnya berasal dan Tuhan, bukan dan masyarakat Landasan moral inilah satu-satunya pembatas yang dapat menghindarkan negara dan kesewenang-wenangan. John Locke secara tidak langsung memberi reaksi atas pemikiran Hobbes tersebut. Jika Hobbes berpendapat bahwa individu-individu senantiasa bertikai, Locke sebaliknya mengatakan bahwa manusia itu pada awalnya hidup dalam kedamaian. Situasi ini baru berubah setelah manusia mulai diperdayai oleh materi, termasuk masalah tanah. Untuk melindungi hak milik inilah yang membuat para individu bersepakat mendirikan negara. Hak milik ini meliputi pula hak-hak asasi manusia yang paling utama, seperti hak untuk hidup dan kebebasan. Para individu yang mengadakan perjanjian tersebut kemudian menyerahkan 2 haknya kepada negara, yaitu:
  1. Hak untuk menentukan sendiri bagaimana mempertahankan din dan dan orang-orang lain.
  2. Hak untuk menghukum seorang pelanggar hukum menurut aturan hukum kodrat.

Kekuasaan negara dengan demikian, terbatas pada tujuan penegakan 2 hak itu saja. Urusan yang pribadi adalah hal individu yang bersangkutan, yang tidak perlu dicampuri oleh negara. Pemikiran ini lebih jauh melahirkan paham negara sebagai penjaga malam (nachtwakerstaat). Kekuasaan negara tidaklah tak terbatas. Kekuasaan yang dimiliki negara datang dari para individu yang membuat perjanjian, bukan dari Tuhan seperti teori Hobbes. Pembatasan kekuasaan negara ini dimuat dalam konstitusi. John Locke membagi kekuasaan ini menjadi 3 fungsi, yaitu legislatif, eksekutif, dan federatif (hubungan luar negeri). Menurut Locke, kekuasaan yang tertinggi ada di tangan legislatif, yaitu parlemen.
Sayangnya ia tidak merekomendasikan parlemen yang benar-benar dapat menggambarkan kedaulatan rakyat, walaupun ia menyatakan konstitusi negara harus menganut prinsip mayoritas yang berarti didukung oleh kesepakatan sebagian besar masyarakat. Kenyataannya, para parlemen di Inggris tidak lebih daripada representasikan golongan pemilik modal dan kaum bangsawan, bukan rakyat kebanyakan. Pembagian kekuasaan ini (negara) dan Locke dikembangkan oleh Montesquieu dengan menyebut 3 fungsi yaitu legislative, eksekutif, dan yudikatif. Fungsi federatif dimasukkannya dalam eksekutif.
Tokoh terakhir yang akan disinggung berikut adalah Jean Jacques Rousseau. Ia menentang keras absolutisme negara. Menurutnya, setiap individu memiliki kehendaknya sendiri, tetapi di sisi lain juga ada kepentingan para individu untuk menjaga hubungan sosial. Hal terakhir ini disebut kehendak umum (volonte generale), dan tugas negara adalah menjalankan kehendak umum dari rakyat itu. Ini berarti kehendak rakyat identik dengan kehendak negara. Rakyat yang memiliki negara, bukan penguasa. Rakyatlah pemilik kedaulatan. Dalam hal ini tidak ada satupun hak-hak rakyat yang diserahkan kepada negara. Sampai di sini pemikiran Rosseau dapat kita terima.
Hanya kemudian, sebagai konsekuensi pendapatnya tentang identifikasi negara dan rakyat. Rosseau menolak keberadaan lembaga perwakilan. Menurutnya, rakyat tidak dapat diwakili. Bila diadakan pemilihan umum untuk memilih wakil-wakil rakyat, itu artinya sama dengan mengasingkan negara dan rakyat. Untuk menjaga kemurnian kehendak rakyat itu, tidak ada jalan lain kecuali mengajak rakyat seluruhnya bersama masyarakat menyuarakan kehendaknya dan mencantumkan dalam undang-undang.

Gagasan Rosseau ini tentu suatu utopia untuk dapat dilaksanakan, bahkan bagi negara Perancis ketika Rosseau hidup. Paham negara persatuan yang dianut oleh bangsa Indonesia sepintas agak menyerupai pemikiran Rosseau ini. Hanya saja pemikiran Rosseau tentang perlindungan hak-hak individu tentu saja tidak sejalan dengan pandangan Indonesia. Karena rakyat identik dengan negara, berarti negara (rakyat) tidak perlu membatasi kekuasaan yang dimilikinya sendiri. Konsekuensinya, wujud final pemikiran Rosseau untuk menolak.