Menguji Undang-Undang

SUDUT HUKUM | Kewenangan Mahkmah Konstitusi menguji undang-undang dapat dijelaskan dari perspektif sejarah kontitusi itu sendiri. Konstitusi pada dasarnya adalah perjuangan manusia untuk mendapatkan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak dasarnya. Maka dari itu, konstitusi modern, termasuk UUD 1945 hasil amandemen mencantumkan hak-hak dasar itu sebagai substansi utama. Jika ternyata ada undang-undang yang terbukti melanggar hak-hak tersebut, undang-undang itu harus dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.

Pengujian konstitusionalitas undang-undang dipandang perlu selain karena faktor sejarah konstitusi juga penting keberadaannya dalam sebuah negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Sebagaimana pendapat Mahfud yang mengatakan bahwa, undang-undang merupakan produk politik yang belum tentu sesuai dengan konstitusi. Bisa jadi sebuah ndang-undang dibentuk hanya sekadar memenuhi hasrat politik para pembuatnya.

Menguji Undang-Undang


Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undangundang yang diundangkan setelah perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal tersebut sebagaimana yang termuat di dalam ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Dengan demikian, pentingnya pengujian undang-undang sangat erat hubungannya dengan masalah konstitusionalime dan konstitusionalitas produk politik. Pengujian undang-undang sangat erat kaitannya dengan struktur ketatanegaraan dan bahkan hingga ke proses politik. Adanya keterkaitan hal tersebut, kemudian menjadi salah satu faktor penentu dipilihnya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang memiliki kompetensi untuk melaksanakan kewenangan pengujian undang-undang.

Rujukan:
  • Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010).
  • Ni’matul Huda dan R. Nazriyah, Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, (Bandung: Nusa Media, 2011).
  • I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan Welfare State, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstiitusi, 2008).