Pemakzulan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden

SUDUT HUKUM | Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar Tahun 1945 telah melahirkan ketentuan yang lebih rinci mengenai alasan dan mekanisme pemakzulan (impeachment) Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pasal 7A UUD Tahun 1945 berisi alasan yang isinya memuat mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai berikut:

Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Kemudian, Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 menentukan mekanisme pemakzulan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai berikut:

Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konsttusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atauWakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Organ atau lembaga yang diberi wewenang untuk menilai apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan perbuatan sebagaimana ketentuan Pasal 7B ayat (1) di atas adalah Mahkamah Konstitusi. Wewenang tersebut tercantum secara konkret di dalam Pasal 24C ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar”.

Pemakzulan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden

Ketentuan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 tersebut mengandung pengertian bahwa yang menjadi tugas Mahkamah Konstitusi adalah menilai benar atau tidaknya pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melanggar hukum atau tidak memenuhi syarat, bukan mengadili kesalahan yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Kewajiban Mahkamah Konstitusi memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan Presiden dan/atau Wakil Presiden berkaitan dengan kedudukannya sebagai lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman, yaitu memutus pro justicia, bukan sebagai lembaga politik. Kewajiban Mahkamah Konstitusi hanyalah memutus apakah dugaan DPR terbukti secara hukum dan tidak menyangkut pemberhentian. Apabila dugaan tersebut terbukti, lembaga yang berwenang mengambil keputusan tentang pemberhentiannya adalah MPR. Meskipun Mahkamah Konstitusi telah memutus Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti bersalah atau tidak lagi memenuhi syarat, tidak menjadi keharusan bagi MPR untuk memeberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden.
Apabila MPR pada akhirnya tidak memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang sudah dinyatakan melanggar hukum atau tidak memenuhi syarat oleh Mahkamah Konstitusi, tidak dapat diartikan bahwa MPR mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi, karena wewenang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden berada pada MPR. Hal tersebut terjadi karena dalam pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak hanya berada pada dimensi hukum, melainkan juga berada pada dimensi politik.
Setidaknya ada 5 (lima) faktor menurut Jody C. Baumgartner yang mengakibatkan muncul dan berhasilnya usaha pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden, yaitu:
  • keseimbangan kekuasaan antara berbagai cabang kekuasaan,
  • ketentuan konstitusi dan perundang-undangan tentang pemakzulan,
  • struktur partai politik,
  • popularitas Presiden dan/atau Wakil Presiden sebelum tuduhan pelanggaran atas kesalahan bertindak dari Presiden dan/atau Wakil Presiden,
  • faktor lain-lain (media massa, kondisi ekonomi, dan tekanan internasional).

Rujukan:
  • Harjono, Transformasi Demokrasi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2009).
  • Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011).