Pengertian Intervensi

SUDUT HUKUM | Lauterpacht dalam Huala Adolf memberikan definisi intervensi sebagai campur tangan secara diktator oleh suatu negara terhadap urusan dalam negeri negara lain dengan maksud memelihara atau mengubah keadaan, situasi, atau barang di negara tersebut. Berdasarkan Diplomat’s Dictionary sebagaimana dikutip dalam Boer Mauna, intervensi diartikan sebagai tindakan suatu negara untuk mengawasi atau mengarahkan aktivitas dalam negeri negara lain terutama melalui cara-cara militer. Dewasa ini para pakar hukum internasional sepakat mengatakan bahwa intervensi adalah campur tangan secara terang-terangan dari suatu negara terhadap permasalahan dalam negeri negara lain dengan tujuan untuk memelihara atau mengubah situasi yang ada.

Istilah “intervensi” dapat digunakan secara luas untuk menangani kasus pengerahan angkatan bersenjata untuk perlindungan rakyat dan kepemilikan serta kasus-kasus tindakan sendiri yang lain. Sebagaimana contoh-contoh aktual yang terkait gangguan kedaulatan terhadap negara lain, Intervensi dapat atau tidak melibatkan pengerahan kekuatan. Kata intervensi secara umum kerap kali dipakai untuk menunjukkan hampir semua tindakan campur tangan oleh suatu negara ke dalam urusan negara lain.

Pengertian Intervensi



Menurut pengertian yang lebih khusus, intervensi terbatas pada tindakan mencampuri urusan dalam negeri atau luar negeri dari negara lain yang melanggar kemerdekaan negara itu. Campur tangan harus berbentuk suatu perintah atau ancaman kekerasan berdiri di belakangnya.


Setiap negara berkewajiban untuk tidak mencampuri urusan-urusan dalam negeri negara lain. Hukum internasional pada umumnya melarang campur tangan suatu negara kepada negara lain yang berdaulat. Dalam hal ini suatu intervensi dilarang oleh hukum internasional apabila:

  • Merupakan campur tangan yang berkaitan dengan masalah-masalah dimana setiap negara diperbolehkan untuk mengambil keputusan secara bebas. Misalnya mengenai sistem politik atau ekonomi atau sistem politik luar negerinya sendiri, atau
  • Campur tangan itu meliputi gangguan terhadap kemerdekaan negara lain dengan cara-cara paksa, khususnya kekerasan. Misalnya memberikan dukungan secara tidak langsung terhadap aktivitas-aktivitas subversif terhadap negara yang menjadi tujuan intervensi tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, segala sesuatu yang tidak termasuk dalam pengertian yang dikemukakan secara tegas ini dapat dikatakan bukan termasuk intervensi yang dilarang oleh hukum internasional. Kejadian yang merupakan satu intervensi, jika hanya dipandang dari sudut hukum, dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu : bela diri, pembalasan, dan mempergunakan hak yang diberikan oleh satu perjanjian.

Menurut J.G. Starke, ada tiga tipologi dalam melihat intervensi suatu Negara terhadap Negara lain, yaitu:

  • Intervensi Internal, yaitu intervensi yang dilakukan sebuah Negara dalam urusan dalam negeri Negara lain.
  • Intervensi Eksternal, yaitu intervensi yang dilakukan sebuah Negara dalam urusan luar negeri sebuah Negara dengan Negara lain. Contoh: keterlibatan Italia dalam mendukung Jerman pada Perang Dunia Kedua.
  • Intervensi Punitive, yaitu intervensi sebuah Negara terhadap Negara lain sebagai balasan atas kerugian yang diderita oleh Negara tersebut.
Selain beberapa pengertian intervensi di atas, terdapat pula pengertian intervensi kemanusiaan yakni intervensi bersenjata yang dilakukan oleh suatu negara dengan pertimbangan kemanusiaan. Intervensi kemanusiaan bukan bertujuan untuk mengganti kedaulatan suatu negara tetapi menyelamatkan para korban perlakuan brutal atau kejam dan tidak manusiawi yang dialami di suatu negara. Melihat kebiasaannya yang melibatkan penggunaan kekuatan bersenjata, bukan suatu kejutan jika keberadaan intervensi kemanusiaan menjadi hal yang kontraversial dan cenderung mendapat penolakan.

Ada tiga alasan pokok penolakan terhadap keberadaan intervensi kemanusiaan, yaitu:

  1. Piagam PBB dan korpus hukum internasional modern secara khusus tidak berisikan hak intervensi kemanusiaan;
  2. Praktik negara-negara terutama sejak tahun 1945 menunjukkan bahwa sangat sedikit kasus-kasus intervensi kemanusiaan yang benar-benar dilandasi pertimbangan kemanusiaan; dan
  3. Atas dasar keberhati-hatian yaitu terbuka kemungkinan terhadap penyalahgunaan hak tersebut, sehingga menyebabkan suatu negara tidak tertarik untuk mengijinkan intervensi kemanusiaan.