Pengertian Penegakan Hukum Pidana

SUDUT HUKUM | Secara konsepsional inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kadamaian pergaulan hidup. (Soerjono Soekanto, 1983, dalam Nyoman SPJ, 2008 : 134).
Pengertian penegakan hukum ialah penerapan hukum (acara) pidana dalam menyelesaikan kasus-kasus pidana. Di dalam literatur hukum pidana di negara barat (Amerika), istilah penegakan hukum lebih dikenal dengan istilah “Criminal Justice System”.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa penegakan hukum (acara) pidana sebagai suatu sistem harus merupakan suatu kesatuan aparat penegak hukum yang bertugas menindak para pelanggarhukum pidana, sedangkan penegakan hukum sebagai suatu proses. Jelas bahwa ia harus merupakan suatu kesatuan proses penerapan hukum (acara) pidana. Hal ini berarti sebagai suatu proses penegakan hukum tersebut harus terdiri dari penyelidikan dan penyidikan kejahatan, penangkapan, pemeriksaan pendahuluan, penuntutan dan peradilan serta pelaksaan pidana.

Pengertian Penegakan Hukum Pidana

Penegakan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan hukum, maka sudah semestinya seluruh energi dikerahkan agar hukum mampu bekerja untuk mewujudkan nilai-nilai moral dalam hukum. Kegagalan hukum untuk mewujudkan nilai hukum tersebut merupakan ancaman bahaya akan bangkrutnya hukum yang ada.

Hukum yang miskin implementasi terhadap nilai-nilai moral akan berjarak serta terisolasi dari masyarakatnya. Keberhasilan penegakan hukum akan menentukan barometer legitimasi hukum ditengah-tengah realitas sosialnya.

Tujuan penegakan hukum di Indonesia disamping untuk mengurangi dan membatasi peningkatan kejahatan yang timbul dalam masyarakat, juga memberikan kesempatan bagi pelanggar hukum untuk menjadi warga masyarakat yang berguna . (R. Atmasasmita : 1982)
Menurut Lawrence M Friedman (Satjipto Rahardjo, 1986 : 203) untuk menganalisis masalah penegakan hukum, perlu diperhatikan tiga komponen sistem hukum, yakni struktur, substansi dan kultur.
Komponen struktur adalah bagian yang bergerak dalam suatu mekanisme, misalnya pengadilan. Komponen substansi merupakan hasil aktual yang diterbitkan oleh sistem hukum dan meliputi kaidah-kaidah hukum yang tidak tertulis, sedangkan komponen kulutr adalah nilai nilai dan sikap yang mengikat sistem hukum itu secara bersama dan menghasilkan suatu bentuk penyelenggaraan hukum dalam budaya masyarakat secara keseluruhan.
Komponen kultur memegang peranan sangat penting dalam penegakan hukum. Adakalanya, tingkat penegakan hukum pada suatu masyarakat sangat tinggi, karena didukung oleh kultur masyarakat, misalnya melalui partisipasi masyarakat yang sangat tinggi dalam melakukan usaha pencegahan kejahatan, yakni melaporkan dan membuat pengaduan atas terjadinya kejahatan dilingkungannya dan bekerjasama dengan aparat penegak hukum dalam usaha penanggulangan kejahatan, meskipun komponen struktur dan substansinya tidak begitu baik dan bahkan masyarakat tidak menginginkan prosedur formal itu diterapkan sebagaimana mestinya. Sebaliknya, adakalanya suatu komponen struktur dan substansi yang sangat baik atau dapat dikatakan modern, dalam kenyataannya untuk menghasilkan output penegakan hukum yang tinggi, karena kultur masyarakat tidak mendukung prosedur formal yang telah ditetapkan. Padahal
penegakan hukum akan selalu berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.
Menurut Sudarto (1981 : 81) didalam penegakan hukum terdapat tiga kerangka konsep yang dapat dibagi, yaitu :
  • Konsep penegakan hukum preventif (pencegahan).

Penegakan hukum bidangnya luas sekali, tidak hanya bersangkut paut dengan tindakan-tindakan apabila sudah ada atau ada persangkaan telah terjadi kejahatan, akan tetapi juga menjaga kemungkinan akan terjadinya kejahatan.
  • Konsep penegakan hukum tindakan represif.

Tindakan represif adalah segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum sesudah terjadi kejahatan atau tindak pidana.
  • Konsep penegakan hukum tindakan kuratif.

Tindakan kuratif pada hakekatnya juga merupakan usaha preventif dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu dalam usaha penanggulangan kejahatan.

Sedangka menurut Joseph Goldstein (dalam Muladi dan Barda Nawai Arief, 1986:11-12) membedakan penegakan hukum pidana menjadi tiga bagian, sebagai berikut :
  1. Total enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana secara total sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantsif (substantive law of crimes). Penegakan hukum secara total ini tidak mungkin dilakukan, sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana, yang antara lain mencakup aturan aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan pendahuluan. Disamping itu mungkin terjadi hukum pidana substantif itu sendiri memberi batasan batasan, misalnya dibutuhkan pengaduan terlebih dahulu, sebagai syarat penuntutan pada delik delik aduan (klacht delicten). Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut sebagai area of no enforcement.
  2. Full enforcement. Ruang lingkup pada model ini mengharapkan para penegak hukum diharapkan menegakkan hukum secara maksimal. Tetapi oleh Joseph Goldstein, harapan ini dianggap tidak realistis, sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat investigasi, dana dan sebagainya, yang kesemuanya mengakibatkan discretions.
  3. Actual enforcement. Penegakan hukum model ini dilaksanakan secara aktual disesuaikan dengan ketentauan dan kondisi yang ada dan berlaku pada saat itu Tujuan penegakan hukum seringkali dirumuskan sebagai penegakan keadilan, keamanan dan ketertiban masyarakat, menurut Satjipto Rahardjo (1983 : 179) ”penegakan hukum adalah suatu rumusan yang abstrak, sedangkan prosedur untuk melaksanakannya bersifat formal”. Lebih lanjut dinyatakannya bahwa, prosedur belum tentu dapat mengantarkan penegakan hukum secara baik kepada tujuannya, bahkan ia dapat mendorong ditempuhnya tindakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum.

Tetapi bukan berarti tindakan yang demikian bertentangan dengan hukum, karena penegakan hukum itu sesungguhnya tidak hanya mencakup “law enforcement”, akan tetapi juga ”peace maintenance” sebagaimana dinyatakan oleh Soerjono Soekanto (1980: 116), bahwa pada hakikatnya penegakan hukum merupakan proses penyerasian antara nilai nilai,
kaidah-kaidah dan pola prilaku nyata, yang bertujuan untuk mencapai kedamaian”.
Karena itu menurut International Criminal Investigative Training Asistance Program (dikutip oleh Bagus Setiawan dalam majalah Polda Lampung, Edisi 78, April 2004:27), ”Prosedur adalah sebuah petunjuk tertulis yang merupakan bimbingan dalam melaksanakan kegiatan organisasi. Sebuah prosedur dapat dijadikan sesuatu yang bersifat wajib melalui penggunaan kata ’akanbukan ’dapat’ atau ’harus’. Prosedur kadangkala memungkinkan sejumlah kebebasan dan keleluasaan dalam melaksanakan suatu tindakan”.
Sehingga dapat dipahami adanya kenyataan, bahwa dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum yang terjadi dimasyarakat (termasuk penyelesaian yang dilakukan oleh polisi), tidak seluruhnya diselesaikan melalui prosedur berdasarkan ketentuan hukum.
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief (1986:12) sistem peradilan pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan, dalam kerangka penegakan hukum pidana tidak merupakan sarana satu-satunya untuk upaya penyelesaian. Hal tersebut disebabkan oleh banyaknya perkara yang undetected (tidak diketahui), unreported (tidak dilaporkan) dan unsolved (tidak diselesaikan). Berdasarkan hal tersebut dimungkinkan untuk penegakan hukum melalui berbagai alternatif lainnya.