Perlindungan Hak Politik Secara Internasional

SUDUT HUKUM | Menurut Robert A. Dahl, demokrasi mengharuskan ada ruang publik untuk mengekspresikan kehendak rakyat yang tersedia untuk memastikan rakyat berpartisipasi aktif dalam mengambil keputusan-keputusan penting. Ruangruang partisipasi itu begitu penting bagi sebuah negara demokrasi. Karena ruangruang partisipasi itulah yang akan menjadi wadah regenerasi pengisian negara demokrasi. Tanpa ada perlindugan atas partisipasi publik itu (hak politik), bisa dipastikan negara demokrasi akan mati dan digantikan dengan negara otoriter.


Sebagaimana telah dibahas dalam perkembangan generasi HAM di atas, wacana penegakan HAM terutama dibidang hak sipil dan politik, berpuncak pada lahirnya Declaration Universal of Human Right (DUHAM) pada tanggal 10 Desember 1948. Setelah DUHAM disahkan PBB maka gerakan perlindungan hak sipil dan politik menjadi semakin kuat dan akhirnya melahirkan instrument HAM lainnya yang lebih terperinci lagi.


Secara Internasional, Hak sipil dan politik dilindungi oleh instrumen Hak asasi mansia yang muncul dalam bentuk perjanjian internasional. Instrumen itu antara lain:

  • Pernyataan Umum tentang Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights);
  • Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights);
  • Kovenan Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (International Covenant on the Elimination of All Format of Racial Discrimination);
  • Kovenan tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (International Covenant on the Elimination of Discrimination Against Women);
  • Konvensi tentang Hak Politik Kaum Perempuan ( International Covenant On The Political Rights Of Women).
Dari kelima instrumen pelindung hak politik di atas, insturumen yang akan penulis bahas di sini hanya Universal Declaration of Human Rights (selanjutnya dibaca : UDHR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (selanjutnya dibaca ICCPR) saja. Hal ini lantaran dua instrumen itu memilik relevansi yang sangat kuat dengan tema tulisan ini. Sedangkan Kovenan yang lain secara umum telah memberikan gambaran perlindungan yang secara umum sama.

1. UDHR

Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) lahir pada tanggal 10 desember 1948 melalui penetapan oleh Majelis Umum Perserikatan bangsa-bangsa dalam resolusi 217 A (III). Di dalamnya termuat 30 pasal yang menyatakan pengakuan secara tegas atas hak asasi manusia, termasuk salah satu nya mengenai hak untuk turut serta dalam pemerintahan atau hak politik.


Ketentuan perlindungan Hak politik dalam UDHR ditetapkan dalam artikel 21. Artikel 21 menyatakan sebagai berikut ini:

  1. Everyone has the right to take part in the government of his country, directly or through freely chosen representatives.
  2. Everyone has the right of equal access to public service in his country.
  3. The will of the people shall be the basis of the authority of government; this will shall be expressed in periodic and genuine elections which shall be by universal and equal suffrage and shall be held by secret vote or by equivalent free voting procedures.

Dalam artikel 21 UDHR ayat (1) dikatakan bahwa Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya, secara langsung atau melalui wakilwakil yang dipilih dengan bebas. ketentuan ini menyatakan dengan tegas bahwa tidak seorangpun bisa dihalangi untuk turut serta dalam pemerintahan negerinya.


Partisipasi publik itu bisa disalurkan baik secara langsung ataupun juga melalui wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat sendiri melalui prosedur yang fair tentunya. Ayat selanjutnya, yakni ayat (2) artikel 21 UDHR menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak akses yang sama bagi pelayanan publik di negerinya. Ketentuan ini mencakup kewajiban pemerintah untuk memberikan perlakukan dan juga kualitas pelayanan publik yang sama dan merata kepada masyarakat.


Masyarakat adalah sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Ayat ini juga memberikan pengertian bahwa Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya.


Ayat terakhir yakni ayat (3) artikel 21 di atas menyatakan bahwa kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan yang tidak membedabedakan, dan dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara-cara lain yang menjamin kebebasan memberikan suara. Ayat terakhir ini melindungi hak suara masyarakat yang akan menjadi basis pemerintahan nantinya. hak suara tersebut harus digunakan tanpa paksaan melalui suatu mekanisme pemilihan umum yang bebas dan dijamin kerahasiaannya. Yang dilindungi dalam ayat ketiga ini adalah hak rakyat untuk memilih.


2. ICCPR

Pasca ditetapkannya UDHR sebagai pernyataan dunia internasional atas hak asasi manusia, Jaminan Hak Politik kembali diatur lebih spesifik melalui Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights). Sejarah terbentuknya ICCPR tidak terlepas dari lahirnya UDHR. Pasca lahirnya UDHR pada tanggal 10 desember 1948, masyarakat dunia internasional kembali menyadari bahwa perlunya penjabaran hak-hak dan kebebasan dasar yang dinyatakan UDHR kedalam instrumen internasional yang bisa mengikat hukum negara-negara yang lebih luas lagi.


Seperti diketahui bahwa, Deklarasi UDHR itu sendiri memiliki kekuatan hukum yang lemah, karena hanya bisa diikuti dan dipatuhi oleh negara yang memang telah mengakui dan ikut meratifikasi UDHR.


Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR, Majelis Umum PBB meminta Komisi Hak Asasi Manusia (KHAM) untuk menyusun rancangan tentang HAM beserta tindakan pelaksanaannya. Komisi kemudian mulai bekerja menyusun rancangan tersebut satu tahun setelahnya yakni dimulai tahun 1949. Satu tahun berikutnya, yakni pada tahun 1950, Komisi HAM PBB lalu memutuskan suatu resolusi yang menyatakan bahwa pengenyaman kebebasan sipil dan politik serta kebebasan dasar di satu pihak dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya di lain pihak, adalah bersifat saling terkait dan saling tergantung.


Setelah melalui perdebatan panjang, dalam sidangnya di tahun 1951, Majelis Umum PBB lalu meminta Komisi HAM PBB untuk merancang dua kovenan tentang Hak Asasi Manusia yakni : (1) Kovenan mengenai hak sipil dan politik. dan (2) kovenan mengenai hak ekonomi, sosial dan budaya. Komisi HAM PBB lalu berhasil menyelesaikan dua rancangan tersebut masing-masing pada tahun 1953 dan 1954.


Pada tahun 1954, kedua rancangan tersebut disebar luaskan agar pemerintah negara-negara dapat mempelajarinya secara mendalam dan khalayak dapat menyatakan pandangannya secara bebas. Meskipun pembahasan rancangannya telah berjalan cukup lama, naskah kedua kovenan tersebut baru bisa diselesaikan pada tahun 1966. Akhirnya barulah pada tanggal 16 Desember 1966, Kovenan tentang hak hak sipil dan politik (ICCPR) disahkan oleh majelis umum PBB melalui resolusi 2200A (XXI). Di dalamnya termuat 53 pasal yang melindungi hak politik warga negara.


Perlindungan hak politik itu secara spesifik diatur dalam artikel 25 yang berbunyi sebagai berikut :

Every citizen shall have the right and the opportunity, without any of the distinctions mentioned in article 2 and without unreasonable restrictions:(a) To take part in the conduct of public affairs, directly or through freely chosen representatives;(b) To vote and to be elected at genuine periodic elections which shall be by universal and equal suffrage and shall be held by secret ballot, guaranteeing the free expression of the will of the electors;

Dalam artikel 25 huruf a diatas dikatakan bahwa setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apapun sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2 dan tanpa ada pembatasan yang tidak layak untuk:

(a) ikut serta dalam urusan pemerintah, baik secara langsung maupun melalui wakilwakil yang dipilih secara bebas. Teks perlindungan ini memiliki konsep yang sama dengan ketentuan perlindungan hak asasi manusia dalam UDHR artikel 21 ayat (1). Keduanya memang sama-sama menegaskan perlindungan hak untuk turut serta dalam pemerintahan baik secara langsung ataupun tidak langsung melalui wakil-wakil yang dipilih rakyat secara fair.


Selanjutnya pasal 25 huruf b ICCPR menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum berkala yang murni, dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan menyatakan keinginan dari para pemilih. Konsep pasal 25 huruf b juga memiliki kemiripan dengan pasal 21 ayat (3) UDHR. Akan tetapi pasal 25 huruf b ICCPR lebih spesifik lagi untuk melindungi hak pilih dan hak untuk dipilih masyarakat dalam suatu pemilihan umum yang murni, bebas dan terjamin kerahasiaannya.

Dengan selesainya dibahas kedua instrument tersebut, maka tidaklah terbantahkan lagi bahwa hak politik itu dilindungi secara internasional. Indonesia sendiri telah secara terang-terangan mengakui dan meratifikasi ICCPR lewat diundangkanya Undang-Undang No 12 tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR. Dengan begitu segala hal yang menyangkut hak politik yang menjadi hak rakyat harus dijamin perlindungannya oleh negara melalui hukum nasional.


Rujukan:

  1. Robert A.Dahl, Analisa Politik Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1982).
  2. Indonesia, Undang-Undang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Right(Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik). UU No 12 tahun 2005, LN No 119 Tahun 2005.TLN. No. 4558, Penjelasan umum.