Model Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana

SUDUT HUKUM | Istilah criminal justice system atau sistem peradilan pidana (SPP) menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Criminal justice process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya pada penentuan pidana. Sedangkan Criminal justice system adalah interkoneksi antar keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.


Menurut Musawir (2003: 14), sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana. Tujuannya sebagai berikut:

  • Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
  • Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
  • Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi kembali kejahatannya.
Sistem peradilan pidana tersebut merupakan jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil, hukum pidana formil, maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun, kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial. Sifat yang terlalu berlebihan jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Berbagai pandangan mengenai sistem peradilan pidana yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Sistem peradilan pidana merupakan konstruksi sosial yang menunjukkan proses interaksi manusia (di dalamnya ada aparatur hukum, advokat, terdakwa serta masyarakat) yang saling berkaitan dalam membangun dunia (realitas) yang mereka ciptakan (Barda Nawawi Arif, 2002: 75).

Berkaitan dengan sistem peradilan pidana di atas maka penyusunan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak dengan memperkenalkan model restorative Justice dilatarbelakangi oleh kebutuhan dan tuntutan nasional untuk melakukan pembaharuan hukum pidana (criminal law reform), khususnya pembaharuan hukum pidana anak. Pembaharuan hukum pidana (criminal law reform), pada hakikatnya di samping menggantikan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997, juga merupakan bagian integral dari ide dan tujuan yang lebih besar, yaitu kebutuhan dan tuntutan nasional untuk melakukan pembaharuan sistem hukum nasional yang modern yang mengandung pula elemen nuansa negara yang berdaulat dan demokratis, baik yang berkaitan dengan struktur, substansi maupun kultur hukumnya (Chairul Huda, 2009: 97).

Model peradilan restorative yang lebih menekankan diskresi untuk penyelesaian masalah anak nakal, memberikan alternative diversi sebagai upaya menghindarkan stigma mental anak pada proses hukum. Model peradilan restorative ini, pada tataran ius constotuendum peradilan anak Indonesia adalah suatu perkembangan dalam rangka perumusan undang-undang peradilan anak.

Adapun pengaturan masalah pidana dan tindakan dengan model restorative justice dalam sistem peradilan pidana antara lain:

  • Tujuan Pemidanaan (The Aim of Punishment).
Tujuan pemidanaan bertolak dari pemikiran bahwa sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang bertujuan purposive system atau teleological system dan pidana hanya merupakan alat/sarana untuk mencapai tujuan, maka Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak 2010 merumuskan tujuan pemidanaan yang bertolak pada keseimbangan dua sasaran pokok, yaitu perlindungan hak anak (general prevention) dan perlindungan/pembinaan individu anak (special prevention).


  • Syarat Pemidanaan.
Jika tujuan pemidanaan bertolak dari keseimbangan dua sasaran pokok, maka syarat pemidanaan menurut Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak 2010 juga bertolak dari keseimbangan mono-dualistik antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu. Oleh karena itu, syarat pemidanaan didasarkan pada dua pilar atau asas yang sangat fundamental, yaitu asas legalitas (yang merupakan asas kemasyaraktan) dan asas kesalahan atau culpabilitas (yang merupakan asas kemanusiaan atau individual).


  • Pengembangan sanksi-sanksi alternative (alternative sanctions) terhadap pidana kemerdekaan (imprisonment) jangka pendek di bawah satu tahun (short prison sentence), berupa pidana pengawasan, pidana kerja sosial dan pidana denda, untuk menghindari daya destruktif dari pidana pernjara.
  • Dalam rangka perkembangan HAM yang berkaitan dengan anak, maka secara eksplisit diadakan pengaturan tentang juvenile justice berupa Pidana dan Tindakan Bagi Anak. Dalam hal ini juga ditegaskan batas minimum umum pertanggungjawaban pidana (the minimum age of criminal respomsibility), yaitu 12 tahun.
  • Di samping pengembangan di bidang jenis pidana (strafsoort), berat ringannya pidana (strafmaat) dan cara pelaksanaan pidana (strafmodus), juga dikembangkan sistem tindakan (maatregelstelsel), yang meliputi baik yang berkaitan tindakan bersifat mandiri sehubungan kekurangmampuan bertanggungjawab maupun tindakan yang dapat dikenakan bersama-sama dengan pidana pokok dengan pertimbangan kemanfaatan. Sistem ini dikenal sebagai system dua jalur (double-track system) (Chairul Huda, 2009: 102).
Model Restorative Justice sebagai bentuk diskresi yang dikenal dalam proses hukum, merupakan salah satu prinsip pengecualian yang perlu dipikirkan sebagai konsep proses peradilan anak pada tataran ius constituendum. Model restorative justice adalah salah satu model peradilan anak, dalam rangka melindungi anak agar terhindar dari trauma psikis dan pandangan sebagai mantan residivis.