Pendapat Ulama tentang Pernikahan yang dilakukan Pada Waktu Ihram

SUDUT HUKUM | Pernikahan merupakan wadah penyaluran kebutuhan biologis manusia yang wajar, dan dalam ajaran Nabi Muhammad SAW pernikahan ditradisikan menjadi sunah beliau. Oleh karena itu, pernikahan yang sarat nilai dan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, maka perlu diatur dengan syarat dan rukun tertentu agar tujuan disyariatkannya pernikahan dapat tercapai. Di antara rukun nikah tersebut adalah, adanya calon kedua mempelai, adanya saksi, adanya wali dan adanya ijab qabul, dan syarat ijab qabul tersebut tidak dalam sedang dalam keadaan ihram haji/umrah.
Sebagaimana dijelaskan dalam bab pendahuluan bahwa dalam permasalahannya hukum akad nikah (nikah) sewaktu ihram ini para ulama fiqih berselisih pendapat, ada yang tidak membolehkan dan ada yang membolehkannya. Beda pendapat ini disebabkan oleh terdapatnya bermacam-macam hadits yang berkenaan dengan pernikahan pada waktu ihram tersebut. Bagi ulama yang tidak membolehkan melangsungkan nikah, menikahkan maupun meminang adalah berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan dari Utsman bin Affan r.a, sedangkan bagi ulama yang membolehkan melangsungkan nikah, menikahkan maupun menjadi wali adalah berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a.
Mazhab Hanafi pada dasarnya membolehkan pernikahan pada waktu ihram, sebagaimana mereka mengatakan pernikahan yang dilakukan ketika sedang Ihram adalah di bolehkan atau sah. Dan dalil mereka berpendapat demikian adalah berdasarkan hadits Rasulullah SAW : Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu berkata: Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menikahi Maimunah ketika beliau sedang ihram.
Namun pendapat ini sangat berbeda dengan pendapat jumhur ulama, dan Mazhab-mazhab lainnya, diantaranya imam As-Syafi’i menyebutkan dalam kitabnya Al-Umm :

AsySyafi’i rahimahullah berkata: Malik memberitakan kepada kami dari Nafi’ dari Nabih bin Wahab saudara Bani Abdiddar, ia memberitakan kepadanya bahwa Umar bin Ubaidillah mengirimkan utusan kepada Aban bin Utsman dan Aban itu sebagai Amirul Haj kedua orang itu sedang ihram sesungguhnya saya ingin menikahkan Thalhah bin Umar binti Zaibah bin Jabiir dengan anak perempuan itu. Aban mengingkari hal itu dan berkata: “Saya mendengar Utsman bin Affan berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang ihram itu tidak boleh menikah dan tidak boleh menikahkan.”

Lebih lanjut dalam halaman yang sama Imam Syafi’i mengungkapkan bahwa, seorang yang ihram selain tidak boleh menikah dan menikahkan juga tidak boleh untuk mengkhitbah (meminang) sebagaimana dalam kitabnya, beliau mengungkapkan sebagai berikut:

AsySyafi’i berkata: Malik memberitakan kepada kami dari Nafi bahwa Ibnu Umar berkata; “Orang yang berihram tidak nikah, tidak menikahkan, tidak meminang untuk dirinya dan tidak pula untuk orang lain”.

Lebih lanjut dalam kitab “Mukhtashar al-Muzani” beliau mengungkapkan sebagai berikut:

Asy-Syafi’i berkata: Seorang muhrim tidak boleh menikah dan tidak menikahkan karena sesungguhnya Nabi SAW melarang dari hal itu. Dan beliau berkata: Jika menikah atau menikahkan maka pernikahan tersebut menjadi rusak (fasid).”

Pendapat Imam Syafi’i di atas, juga didukung oleh penganut Mazhabnya Imam Nawawi, yang memaparkan bahwa sesungguhnya larangan nikah dan menikahkan ketika Ihram adalah larangan haram. Sekalipun nikah itu dilangsungkan juga, akadnya tersebut tidak sah (batal) baik yang Ihram itu hanya si suami saja atau si istri saja.

Dan didalam kitab al-Fiqh al- Islam wa Adillatuhu yang ditulis oleh Wahbah Al- Zuhaili dipaparkan bahwa orang yang sedang Ihram tidak boleh menikah meskipun dengan perantara wakil yang tidak sedang Ihram, juga tidak boleh menikahkan dengan status sebagai wali maupun wakil, dan jika dia melakukannya maka pernikahan tersebut bathil (tidak sah). Juga, karena ihram mengharamkan wewangian, maka ia pun mengharamkan pernikahan, jika orang yang sedang ihram menikah ataupun dinikahkan, maka pernikahannya tidak sah sebab akad tersebut terlarang.

Imam Malik memaparkan dalam kitab al-Muwattha’, sebagai berikut:

Malik berkata: Dari Nafi’ bahwa Abdullah bin Umar berkata: Seseorang yang sedang ihram tidak boleh menikah maupun melamar untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain.”

Selanjutnya didalam kitab al-Muwattha’ juga ada disebutkan : ia menceritakan kepadaku dari malik, sesungguhnya seorang menyampaikan kepadanya bahwa sa’id bin al-Musayyab salim bin Abdullah bin yasar ditanya tentang nikahnya orang yang sedang ihram, maka mereka menjawab “orang yang sedang ihram tidak boleh menikah dan tidak boleh dinikahkan”.
Demikian beberapa pendapat ulama tentang pernikahan orang yang sedang ihram.