Pengertian dan Pihak-Pihak dalam Perjanjian Kredit

SUDUT HUKUM | Kata kredit berasal dari bahasa Latin, yaitu credo yang berarti saya percaya. Credo merupakan kombinasi dari bahasa Sanskerta, yaitu cred yang artinya kepercayaan dan bahasa Latin, yaitu do yang artinya saya tempatkan. Memperoleh kredit berarti memperoleh kepercayaan. Berdasarkan kepercayaan kepada seseorang yang memerlukannya maka diberikan uang, barang, atau jasa dengan syarat membayar kembali atau memberikan penggantinya dalam suatu jangka waktu yang telah diperjanjikan. Dalam kehidupan sehari-hari, kredit diartikan sebagai pinjaman atau utang.[1]

Pengertian dan Pihak-Pihak dalam Perjanjian Kredit

Pengertian kredit dalam Pasal 1 Angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka tertentu dengan pemberian bunga. Pengertian kredit tersebut tercantum kata-kata persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam. Kata-kata tersebut menegaskan bahwa hubungan kredit adalah hubungan kontraktual (hubungan yang berdasar pada perjanjian) yang berbentuk pinjam meminjam. Perjanjian kredit sendiri mengacu pada perjanjian pinjam meminjam.[2]

Menurut Pasal 1754 KUH Perdata, yang dimaksud perjanjian pinjam meminjam adalah suatu perjanjian yang menentukan pihak pertama menyerahkan sejumlah barang kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak kedua itu akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak pertama dalam jumlah dan keadaan yang sama.
Adapun pihak-pihak dalam perjanjian kredit antara lain:
  • Pihak pemberi kredit atau kreditor, yaitu bank atau lembaga pembiayaan lain selain bank;
  • Pihak penerima kredit atau debitor, yaitu pihak yang bertindak sebagai subjek hukum. Pada dasarnya subjek hukum terdiri dari manusia (person) dan/atau badan hukum (rechtpersoon), misalnya Perseroan Terbatas (PT).[3]

Pasal 1340 KUH Perdata menyatakan tentang ruang lingkup berlakunya perjanjian, yaitu hanya berlaku terbatas bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian itu saja. Jadi, pihak ketiga (pihak di luar perjanjian) tidak dapat ikut menuntut suatu hak berdasarkan perjanjian itu. Pasal 1317 KUH Perdata memperbolehkan untuk meminta ditetapkannya suatu perjanjian bagi kepentingan seseorang (pihak ketiga) jika perjanjian tersebut memuat ketentuan seperti itu.[4]

Rujukan:


[1] Iswi Hariyani, 2010, Restrukturisasi & Penghapusan Kredit Macet, Jakarta: PT Elex Media Komputindo, hlm. 9.

[2] Ibid.

[3] Ibid., hlm. 134.
[4] Ibid., hlm. 17.