Pengertian Zina

SUDUT HUKUM | Zina berasal dari bahasa arab yang biasa diartikan dengan persetubuhan di luar pernikahan. Selain itu, zina juga berarti perbuatan terlarang dan haram.[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan zina dengan dua pengertian, pertama, zina adalah perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan (perkawinan). Kedua, zina adalah perbuatan bersenggama seorang laki-laki yang terikat perkawinan dengan seorang perempuan yang bukan istrinya, atau seorang perempuan yang terikat perkawinan dengan seorang laki-laki yang bukan suaminya.[2]

Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa perzinaan merupakan perbuatan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan baik belum menikah atau sudah menikah akan tetapi dilakukan dengan orang lain yang bukan pasangannya.

Pengertin Zina


Menurut Ibnu Rusyd, zina adalah setiap persetubuhan yang terjadi bukan karena pernikahan yang sah, bukan karena syubhat, dan bukan pula karena pemilikan (budak).[3] Pengertian ini telah disepakati para ulama Islam, meski mereka masih berselisih pendapat tentang mana yang dikatakan syubhat yang menghindarkan hadd dan mana pula yang tidak menghindarkan hukuman tersebut.
Menurut Ibnu Qudamah, zina adalah persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan baik dari qubul atau dubur perempuan yang haram disetubuhi, bukan karena syubhat.[4]

Sayyid Sabiq mendefinisikan zina yang mewajibkan hukuman adalah memasukkan alat kelamin laki-laki dalam kelamin perempuan yang haram dengan syahwat dengan tanpa ada syubhat nikah, meskipun tidak keluar sperma.[5]
Menurut Abdur Rahman I Doi, zina adalah hubungan kelamin antara seorang lelaki dengan seorang perempuan yang satu dengan yang yang lain tidak terikat dalam hubungan perkawinan.[6]
Sedangkan menurut Wahbah Zuhaili, zina adalah aktifitas seksual yang melibatkan organ reproduksi yang diharamkan, membangkitkan nafsu syahwat serta menetapkan adanya hadd. Meskipun memasukkan pucuk atau kadar tertentu dari penis seorang lelaki, sekalipun impoten, non ereksi, berkondom ke dalam lubang vagina perempuan atau lubang anus laki-laki atau perempuan yang tidak halal. Dan tindakan zina itu tidak mengandung unsur bias yang dapat menggugurkan hadd, serta vagina tersebut dapat membangkitkan libido orang normal, sehingga hal itu dapat menetapkan adanya hadd.[7]

Unsur bias yang dapat menggugurkan hadd ada tiga macam, pertama, unsur bias yang muncul dari subyek pelaku, misalnya pelaku tidak mengetahui larangan berzina. Kedua, bias obyek sasaran, misalnya seseorang diduga sebagai istrinya. Ketiga, bias prosedur, misalnya pernikahan tanpa wali.[8]

Dari beberapa definisi di atas dapat diambil pengertian bahwa zina adalah masuknya alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan tanpa ada ikatan perkawinan baik memasukkan tersebut mengeluarkan sperma atau tidak dan tanpa adanya subhat (bias).

Para ulama’ sepakat bahwa zina merupakan perbuatan keji yang besar, yang mewajibkan hadd atas pelakunya. Hukuman hadd itu berbeda-beda menurut macam perzinaan itu sendiri, karena perbuatan zina terkadang dilakukan oleh orang-orang yang belum menikah, seperti jejaka atau gadis, dan kadang-kadang dilakukan juga oleh muhsan, atau orang yang sudah menikah.[9]



[1] Attabik Ali & Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, 1996, hal. 1021.
[2] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Ed-3, 2005, hal. 1136.
[3] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jakarta: Pustaka Amani, cet ke-3, 2007, hal. 600.
[4] Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al Mughni, juz. 9, Beirut-Libanon:Dar al Kutub al Ilmiyah, t. th., hal. 181.
[5] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, juz 2, Kairo: Dar al Fath, 1990, hal. 499.
[6] Abdur Rahman I Doi, Inilah Syariat Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991, hlm. 340.
[7] Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’i, Jld 3, terj. M. Afifi & Abdul Hafiz, Jakarta: Al Mahira, 2012, hal. 260.
[8] Ibid.
[9] Syekh Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al- Aimmah, Terj. Abdullah Zaki al-Kaf, Fiqih Empat Mazhab, Bandung: Hasyimi Press, 2004, hal. 454.