Teori kebijakan Dekriminalisasi

SUDUT HUKUM | Dekriminalisasi adalah penggolongan suatu perbuatan yang pada mulanya dianggap sebagai pidana, tetapi kemudian dianggap sebagai perilaku biasa.[1] Bahwa keputusan untuk melakukan kriminalisasi dan dekriminalisasi harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan tertentu yang mempertimbangkan bermacam-macam faktor, termasuk:[2]
  • Keseimbangan sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil-hasil yang ingin dicapai.
  • Analisis biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang dicari
  • Penilaian atau penafsiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber-sumber tenaga manusia
  • Pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenan dengan atau dipandang dari pengaruh-pengaruh yang sekunder.

Bersadarkan hal tersebut di atas maka pertanggung jawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat yaitu:[3]
  1. Kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggung jawabkan dari si pembuat.
  2. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku yang berhubungan dengan kelakuannya yaitu : disengaja dan sikap kurang hati-hati atau lalai
  3. Tidak alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana bagi si pembuat.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jenis penjatuhan sanksi pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:

Pidana Mati

Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dilakukan dalam keadaan tertentu.

Pidana Penjara

  • Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1)
  • Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3)
  • Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi. (Pasal 21)
  • Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, dan Pasal 36.


Pidana Tambahan

  • Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.
  • Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
  • Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.
  • Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
  • Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
  • Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
  • Terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi.


Sedangkan uraian lengkap mengenai pengaturan RUU Pengampunan Pajak Nasional yang terdapat dalam pasal-pasal tersebut:
Dalam Pasal 9 dan Pasal 10 draft RUU pengampunan Pajak Nasional yang didapat, bahwa:
Orang Pribadi atau Badan yang memperoleh Surat Keputusan Pengampunan Nasional sebagaimana di maksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf a, memperoleh fasilitas di bidang perpajakan berupa:
  1. Penghapusan Pajak Terutang, sanksi administrasi perpajakan, dan sanksi pidana di bidang perpajakan untuk kewajiban perpajakan sebelum Undang-Undang ini diundangkan yang belum diterbitkan ketetapan pajak.
  2. Tidak dilakukan penagihan pajak dengan surat paksa, pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan atas kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian tahun pajak, dan tahun pajak sebelum Undang-Undang ini diundangkan.
  3. Dalam hal Orang Pribadi atau Badan sedang dilakukan pemeriksaan pajak atau pemeriksaan bukti permulaan untuk kewajiban perpajakan sebelum Undang Undang ini diundangkan, atas pemeriksaan pajak atau pemeriksaan bukti permulaan tersebut dihentikan.


Pasal 10
Selain memperoleh fasilitas di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Orang Pribadi atau Badan juga memperoleh pengampunan tindak pidana terkait perolehan kekayaan, kecuali tindak pidana teroris, narkoba dan perdagangan manusia. Dengan demikian, koruptor dapat berpeluang mendapatkan pengampunan tindak pidana terkait perolehan kekayaan dari hasil korupsi .



[1] Barda Nawawi Arief, 2011, Kebijakan Hukum Pidana. Bunga Rampai. Jakarta.Hlm.231

[2] Andrisman, Tri. 2009.Hukum Pidana : Asas Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia. Lampung. Penerbit Universitas Lampung. Hlm. 15

[3] Hamzah, Andi.1997. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta.Hlm.18