Wali Nikah Bagi Anak Temuan

SUDUT HUKUM | Susunan orang-orang yang sah menjadi wali nikah, adalah:

  • Bapak
  • Datuk (kakek), yaitu bapak dari bapak
  • Saudara laki-laki sekandung
  • Saudara laki-laki sebapak
  • Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
  • Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak
  • Saudara bapak yang laki-laki (paman)
  • Anak laki-laki dari paman
  • Hakim
Akan tetapi, perlu digaris bawahi bahwa kekuasaan penguasa atau hakim sebagai wali bagi orang-orang yang belum cakap bertindak hukum, merupakan kekuasaan umum yang sifatnya tidak begitu kuat, para ulama mengatakan perwalian yang bersifat khusus (seperti ayah, paman, kakek, atau orang yang diberi wasiat oleh ayahnya jika ia meninggal dunia) lebih kuat dari pada perwalian umum (penguasa dan hakim).

Menurut jumhur ulama, diantaranya Malik, As-Tsaury, Al-Laits, dan Syafi’i, bahwa yang berhak menjadi wali adalah “ashabah”( yakni para kerabat terdekat dari pihak ayah)2sebagaimana yang disebutkan di atas, kecuali hakim (nomor 1-8). Bahkan menurut Syafi’i, suatu pernikahan baru di anggap sah, bila dinikahkan oleh wali yang dekat, baru dilihat urutannya secara tertib. Selanjutnya bila wali yang jauh pun tidak ada, maka hakimlah yang bertindak sebagai wali.Perlu juga diketahui, bahwa wali yang dekat, yang ditahan atau ditawan, sama dengan wali yang jauh, walaupun berada dalam satu kota.

Berbeda dengan Abu Hanifah, semua kerabat si wanita itu, baik dekat maupun jauh dibenarkan menjadi wali nikah. Sebagaimana sudah dijelaskan diatas, bahwa wanita boleh menikahkan dirinya sendiri dan menikahkan orang lain, dibenarkan juga menjadi wali zul arham dalam pembagian warisan.

Islam melarang pembunuhan anak dengan alasan apa pun, baik karena kemiskinan, ancaman kemiskinan, atau gairah yang berlebihan akan “kehormatan”. Di zaman pra-Islam (yang dinamakan zaman jahiliah), beberapa orang gadis atau anak perempuan dikuburkan hidup-hidup karena kemiskinan atau untuk melindungi keluarga dari risiko perilaku buruk dan memalukan. Al-Qur’an mencela hal itu dengan sangat keras.

Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka..(QS. al-An’am: 151)

Seorang anak mempunyai kehormatan (harga diri), maka harus dipelihara dan dididik serta diperbaiki keadaannya. Jadi apabila kita menemukan anak yang terbuang kita wajib memungutnya, karena memungut anak temuan merupakan pemurnian/ penyelematan dari kehancuran dan amal sukarela yaitu dengan menjaganya/ merawat/ mengasuh.

Mayoritas ulama sependapat bahwa orang yang menemukan lebih utama untuk memelihara anak tersebut. Akan tetapi, kemudian mereka berselisih pendapat tentang siapa yang berhak menjadi wali nikah bagi anak temuan tersebut ketika anak temuan tersebut akan menikah.

Jumhur ulama berpendapat bahwa hakim adalah orang yang berhak menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali. Mereka berpegang juga pada hadits nabi yang diriwayatkan Ibnu Abbas yang telah disepakati keshahihannya, dan bunyi hadits tersebut adalah:

Tidak dipandang sah nikah tanpa wali, dan penguasa adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.

Berdasarkan hadits di atas menurut mereka orang yang berhak menjadi wali nikah bagi orang yang tidak memiliki wali (anak temuan) adalah penguasa (hakim). Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa hakim adalah urutan terakhir dari susunan wali.

Kemudian ketentuan wali dalam hukum pernikahan di Indonesia dapat ditemukan pada Kompilasi Hukum Islam mulai dari Pasal 20 sampai Pasal 23 KHI, bagian ketiga pasal 19 menyatakan bahwa wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Tidak adanya wali dalam perkawinan menyebabkan pernikahannya batal.

Selanjutnya pasal 20 disebutkan bahwa:

(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syariat hukum Islam yakni muslim, akil dan baligh

(2) Wali nikah terdiri dari

a. Wali nasab

b. Wali hakim

Disebutkan dalam pasal 23 bahwa:

(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau aib atau adlal atau enggan

(2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada keputusan pengadilan agama tentang wali tersebut.

Wali terdiri dari wali nasab dan wali hakim. Wali nasab adalah ayah, kakek dari pihak ayah, kemudian laki-laki dari pihak saudara, dari pihak paman dan laki-laki dari pihak saudara kakek. Wali Hakim dapat bertindak sebagai wali apabila tidak ada wali bagi calon mempelai istri atau karena adlolnya (tidak mau menikahkan) wali yang ada.

Bila berkumpul wali-wali yang setaraf maka hendaklah yang menikahkan itu orang yang lebih dalam pengetahuannya tentang agama dan lebih taqwa. Dalam hal ini boleh saja hak perwalian itu pindah

1. Dari wali akrab kepada wali ab’ad

Hak perwalian itu dapat pindah dari wali akrab kepada wali ab’ad, apabila wali akrabnya:

a) Tidak beragama Islam

b) Fasiq

c) Belum dewasa

d) Gila

e) Pikun (fasid pikirannya karena lupa)

f) Bisu

g) Budak


2. Dari wali nasab kepada wali hakim

Hak perwalian itu pindah dari wali nasab kepada wali hakim, apabila wali nasabnya:

a) Tidak ada sama sekali

b) Adlol (tidak mau menikahkan) atau terjadi perselisihan diantara perempuan dengan wali

c) Mafqud (hilang tidak diketahui tempat tinggalnya)

d) Sedang ihram (haji atau umrah)

e) Bepergian jauh tanpa meninggalkan wakil

f) Ditahan atau dipenjara serta tidak dapat ditemui

g) Tidak memenuhi syarat, sedang ab’ad tidak ada atau tidak memenuhi syarat.