Peradilan di Masa Bani Umayah

SUDUT HUKUM | Perkembangan peradilan pada masa bani Umayah menunjukkan perubahan, di mana khalifah mempunyai peranan besar karena ia mengangkat para hakim di ibukota pemerintahan, sedang untuk hakim di daerah diangkat oleh gubernur. Akan tetapi masing-asing hakim itu tidak mempunyai hak untuk mengawasi putusan-putusan hakim yang lain. Hakim ibu negara sendiri tidak bisa membatalkan putusan hakim daerah. Kekuasaan pembatalan putusan hakim itu hanya dipegang oleh khalifah sendiri atau wakilnya.

Peradilan di Masa Bani Umayah


Tugas para hakim di masa itu hanyalah mengeluarkan vonis dalam perkara-perkara yang diserahkan kepadanya. Tentang pelaksanaan hukuman, maka kadang-kadang diawasi sendiri oleh hakim atau diawasi oleh orangorang yang ditunjuk oleh hakim. Peradilan di masa bani Umayah mempunyai dua ciri khas yaitu:

  • Hakim memutuskan perkara berdasarkan hasil ijtihadnya sendiri, hakim pada umumnya adalah seorang mujtahid. Sehingga tidak ada qodi’ yang memegangi suatu pendapat tertentu, tetapi ia memutus perkara yang tidak ada ketentuan nashnya dari Al Qur’an atau sunah Nabi SAW. Atau ijma’ dengan pendapat dan ijtihadnya sendiri, dan apabila ia menemukan kesulitan dalam menetukan hukumnya, maka ia meminta bantuan ahliahli fiqh yng berada di kota itu. Dan banyak di antara mereka berkonsultasi dengan pemerintah atau penguasa dalam mencari suatu ketentuan pendapat.
  • Lembaga peradilan pada masa itu tidak dipengaruhi oleh penguasa. Hakim-hakim pada masa itu mempunyi hak otonom yang sempurna. Oleh karena itu qodi’-qodi’ pada masa itu keputusan-keputusan hukumnya tidak dipengaruhi oleh kecenderungan-kecenderungan pribadi, sehingga keputusan mereka itu benar-benar berwibawa, meskipun terhadap para penguasa itu sendiri. Putusan mereka tidak saja berlaku atas rakyat biasa, bahkan juga berlaku atas penguasa sendiri. Dari sudut lain, khalifah sendiri selalu mengawasi keputusan yang mereka keluarkan, di samping adanya pemecatan bagi siapa yang berani melakukan penyelewengan.
Pada masa ini, lahir pemikiran tentang adanya pencatatan keputusan hukum. Adapun yang mula-mula mencatatnya adalah qodi’ Mesir di masa ke khalifahan Muawiyah yang bernama Salim Bin Atas. Pernah suatu kali terjadi sengketa harta pusaka (warisan) yang telah diputus, kemudian di lain waktu pihak-pihak yang berperkara itu menginkari keputusan itu, kemudian mereka mengulangi mengajukan perkara tersebut. Sesudah hakim memutuskan sekali lagi perkara itu, maka putusan tersebut dicatat serta dihimpun dalam buku khusus dan itu merupakan suatu keputusan yang pertama kali dibukukan.