Sejarah Hukum Udara Internasional

SUDUT HUKUM | Hukum udara telah dideskripsikan sebagai “anak bungsu daripada gagasan yuridis.” Asal-usulnya dimulai dari hukum Romawi kuno ketika masalah dasar mengenai hak-hak di wilayah udara sudah mulai dikenali kala itu. Adagium “Cuius est solum, euius est usque ad coelum,” yang artinya adalah siapa yang memiliki tanah, memiliki juga langit diatasnya, telah menimbulkan berbagai diskusi hukum semenjaknya di dalam bidang nasional maupun internasional.

Keperluan akan pembentukan hukum yang mengatur mengenai wilayah udara pada awalnya dipicu oleh penemuan-penemuan alat transportasi udara. Penemuan-penemuan penting tersebut memiliki dampak besar bagi kemajuan dunia serta kehidupan manusia dan oleh karena itu diperlukan hukum yang mengaturnya. Maka mulai dibentuklah peraturan-peraturan yang mengatur mengenai hal-hal seputar alat transportasi udara pada masa itu.


Penemuan alat transportasi udara berawal pada tahun 1783, ketika Pilatre De Rozier meluncurkan penerbangan balon udara panas pertama di Paris yang dua bulan kemudian diikuti dengan percobaan penerbangan balon udara pertama yang dinaiki oleh manusia yang dibuat oleh Montgolfier bersaudara. Kemudian pada tahun 1785, Jean Pierre Blanchard, bersama rekannya yang berkewarganegaraan Amerika, John Jeffries melakukan pernerbangan yang dianggap sebagai langkah pertama dalam penerbangan jarak jauh dengan menggunakan balon udara panas.

Dikarenakan penemuan tersebut, peraturan udara yang mengatur mengenai penerbangan awalnya dibuat di Perancis pada akhir tahun 1700an yang mengatur mengenai penerbangan balon udara panas. Secara umum, telah disetujui bahwa hukum udara pertama yang dikeluarkan adalah hukum yang mengatur mengenai pelarangan penerbangan balon udara tanpa ijin khusus pada tahun 1874, yang diikuti oleh Ieper, suatu wilayah kota di Belgia pada tahun yang sama, juga setahun kemudian diikuti Namur yang juga merupakan suatu kota di Belgia pada tahun 1875, dan kemudian Hamburg pada tahun 1876.


Hukum udara yang berskala Internasional mulai dirancang dikarenakan pengunaan balon udara panas dalam perang seperti misalnya pada perang Perancis-Prusia pada tahun 1870, dimana balon udara panas digunakan untuk membawa bahan-bahan peledak. Konvensi Den Haag pertama pada tahun 1899 melarang pengunaan balon udara panas dalam pertempuran. Hal ini tidak diubah bahkan hingga Konvensi Den Haag kedua pada tahun 1907.

Pada tahun 1901, seorang Sarjana Hukum Perancis, Paul Fuchille. Menulis artikel yang berjudul “La domain Aerien et le rezim jurdique des aerostats” pada volume ke-8 jurnalnya, “Revue Générale de Droit International Public,” yang memicu pemikiran-pemikiran mengenai kebebasan udara. Karena idenya tersebut ia juga menyatakan bahwa balon udara merupakan subjek dari pemerintahan negara asalnya serta harus dan hanya memiliki satu kewarganegaraan. Pada tahun 1902, Fauchille mengulangi kembali pendapatnya melalui rancangan yang dipersiapkan untuk pertemuan yang diadakan di Brussel.

Pada tahun 1903, Wright bersaudara yang berasal dari Amerika berhasil melakukan penerbangan dengan menggunakan alat transportasi udara bermotor pertama yang sekaligus merupakan penerbangan dengan menggunakan pesawat yang paling pertama tercatat di dalam sejarah dunia. Seiring keberhasilan Wright bersaudara, kebutuhan akan hukum yang mengatur wilayah udara semakin diperlukan dan tidak hanya itu, dibutuhkan juga hukum yang mengatur mengenai penerbangan serta alat penerbangan yang digunakan. Oleh karena itu, pada saat itu mulai banyak dilakukan diskusi hukum. Meskipun penerbangan udara kala itu masih primitif, sudah dapat diperkirakan masalah-masalah hukum yang dapat timbul di masa depan menyangkut penerbangan udara.

Institut de droit international mendiskusikan berbagai konsep “International Code of the Air” semasa pertemuan di Gent pada tahun 1906, Florentina pada tahun 1908, Paris pada tahun 1910 dan Madrid pada tahun 1911, dimana pada pertemuan yang diadakan di Madrid, didapatkan prinsip fundamental yang digunakan dalam pengaturan mengenai alat transportasi udara. Pada sesi di gent 1906, pendapat Fauchille didukung, dimana pertemuan tersebut mengadopsi bahwa udara adalah bebas. Namun semenjak saat itu, tidak ada organisasi yang bersangkutan dengan hukum udara internasional menjunjung pendapat tersebut.

Teori mengenai kebebasan udara Fauchille tidak serta merta diterima oleh tokoh-tokoh lain dan pada tahun yang sama, yakni tahun 1906, seorang pengacara dari Inggris, John Westlake menentang pandangan tersebut dimana ia menyatakan bahwa prinsip hukum atas udara adalah merupakan prinsip dasar dari hukum udara internasional publik. Bahkan Westlake juga mencoba untuk mengakhiri hak untuk singgah dari balon udara dan juga penggunaan dari telegraf nirkabel.

Pada masa yang sama, masyarakat internasional juga melakukan perundingan-perundingan menyangkut masalah udara internasional yang dilakukan di Paris pada tahun 1900, Milan pada tahun 1906, Brussel pada tahun 1907 dan Nancy pada tahun 1909. Pertemuan-pertemuan ini merupakan hasil dari pertemuan yang diadakan di Paris pada tahun 1889 yang dihadiri delegasi dari Perancis, Britania Raya, Russia, Amerika Serikat, Brazil dan Mexico.

Pada tahun 1910, tahun dimana juga diadakan pertemuan kongres di Verona yang membahas mengenai penerbangan, Pemerintah Perancis dikhawatirkan oleh penerbangan-penerbangan damai namun tanpa peraturan yang terjadi. Balon udara terbang dari satu negara dan mendarat di negara lain mengikuti angin yang membawanya. Dikarenakan seringnya pilot balon udara Jerman melintasi batasan dan mendarat di Perancis sebagai akibat dari tidak dapat dikendalikannya balon udara mereka, Perancis membuat persetujuan menyangkut lalu lintas udara Jerman tanpa menutup kemungkinan diadakannya persetujuan multilateral di kemudian hari dan akhirnya Perancis pun memutuskan untuk mengadakan konvensi bersama negara-negara besar Eropa lainnya.

Delegasi dari sembilan belas negara Eropa menghadiri konferensi diplomatik penerbangan pertama yang diadakan di Paris pada tahun 1910. Sesudah konferensi berakhir, Inggris, Italia, Spanyol, Jerman, Belanda, Perancis, Rusia, Serbia, Swedia, Swiss, Portugal, Belgia, Bulgaria, Denmark, Austria-Hungaria, Romania, Turki dan Monaco mengadopsi sebuah konsep hukum untuk konferensi penerbangan internasional yang berjudul, “Projet d’une convention internationale relative à la navigation aérienne.” Konvensi tersebut dimaksudkan untuk memuat tujuh bagian dan lima puluh lima pasal. Tujuh bagian yang direncanakan adalah:

  • Kewarganegaraan alat transportasi udara dan persyaratan pendaftarannya
  • Sertifikat persetujuan dan kelayakan mengudara
  • Pengesahan lalu lintas udara di perbatasan-perbatasan dan wilayah udara nasional
  • Pengaturan pada lepas landas, pendaratan dan penerbangan
  • Norma-norma dan pengangkutan
  • Alat transportasi udara publik
  • Ketentuan akhir
Konferensi tersebut tidak berhasil mencapai pemecahan yang bulat tentang pelaksanaan penyelesaian masalah yang mendesak mengenai pengaturan ruang udara. Kegagalan mencapai kesepakatan pengesahan konvensi internasional tersebut disebabkan oleh berbagai macam hal. Inggris keberatan menerima usul perubahan undang-undang perdatanya, khususnya mengenai status hukum hak-hak milik perorangan dari si pemilik tanah di ruang udara.

Negara-negara Eropa daratan sebenarnya juga mengakui adanya hak-hak keperdataan pemilik tanah di ruang udara di atas tanah miliknya, tetapi janganlah kiranya hak-hak tersebut menjadi hambatan pengembangan penerbangan sehingga wajar kalau negara-negara yang bersangkutan mengusahakan agar penerbangan dapat berlangsung tanpa hambatan apa pun dari sisi pemilik tanah. Selain itu, tidak terdapat kata sepakat memasukkan di dalam konvensi untuk mengadakan perlakuan yang sama kepada pesawat udara asing dan pesawat udara nasional. Selain itu, kegagalan konferensi ini juga disebabkan hal-hal lain yang bersifat politis. Sebagaimana diketahui bahwa sejarah membuktikan negara-negara di Eropa satu sama yang lain selalu berbeda kepentingan, misalnya Inggris dan Perancis. Kedua negara tersebut tidak pernah dapat bekerja sama secara internasional, kecuali dalam bidang pembuatan pesawat udara komersial Concorde yang hampir mengalami kegagalan. Demikian pula Jerman dengan Perancis dan Inggirs yang selalu bersaing dalam teknologi penerbangan, begitu juga dengan negara-negara lain di Eropa.


Pada tahun 1911, Congress of the International Legal Committee on Aviation, yang ditemukan pada tahun 1909, mengadakan pertemuan di Paris, yang kemudian diikuti dengan pertemuan di Jenewa pada tahun 1912 dan Frankfurt pada tahun 1913. Kemudian, Asosiasi Hukum Internasional membentuk Aerial Law Committee pada pertemuan yang diadakan di Paris pada tahun 1912 dan kemudian membahas masalah seputar hukum udara di Madrid pada tahun 1913. The Pan-American Aeronautics Federation, pada tahun 1916 juga mengadakan pertemuan di Santiago, Chili dimana ditetapkan bahwa ruang udara merupakan hak negara dan negara memiliki kedaulatan atasnya. Serta juga The Nordic Aviation Conference yang diadakan di Stockholm pada tahun 1918 dan Konferensi Hukum Udara yang diadakan di Budapest pada tahun yang sama.

Pertemuan-pertemuan tersebut umumnya hanya membahas mengenai konsep-konsep peraturan hukum udara serta teori-teori seputar wilayah udara sendiri. Hingga saat ini ada dua teori yang dikenal mengenai wilayah udara, yaitu:

  • Teori Udara Bebas
Teori ini diperkenalkan oleh Paul Fauchille dimana ia menyatakan bahwa ruang udara adalah bebas dan oleh sebab itu, maka ruang udara tidak dapat dimiliki oleh negara-negara dibawahnya. Teori ini didasari oleh sifat udara yang bebas dan pemahaman bahwa udara merupakan warisan bagi seluruh umat manusia. Teori ini terbagi menjadi dua jenis lagi, yakni:

  1. Kebebasan Ruang Udara Tanpa Batas, Teori ini berpendapat bahwa ruang udara adalah bebas, dapat digunakan oleh siapa pun dan tidak ada negara yang memiliki hak serta kedaulatan di ruang udara.
  2. Kebebasan Ruang Udara Terbatas, Teori ini bersumber dari hasil sidang Institut de Droit Internasional yang diadakan Gent pada tahun 1906 serta Madrid pada tahun 1911 dan sidang kongres yang diadakan di Verona pada tahun 1910. Teori ini menyatakan bahwa:
1) Setiap negara berhak mengambil tindakan tertentu untuk memelihara keamanan dan keselamatannya.
2) Negara kolong, negara yang berada dibawah wilayah udara, hanya memiliki hak terhadap wilayah atau zona teritorialnya.

  • Teori Negara Berdaulat di Udara

Teori ini memiliki tiga jenis teori lagi:

  1. Teori Keamanan, Teori ini menyatakan bahwa suatu negara mempunyai kedaulatan atas wilayah udaranya sampai yang diperlukan untuk menjaga keamanannya. Menurut Fauchille pada tahun 1901, ketinggian wilayah udara adalah hingga 1.500 m, namun pada tahun 1910, Fauchille mengubah pendapatnya dan ketinggian diturunkan menjadi 500 m.
  2. Teori Pengawasan Cooper, Teori yang dinyatakan oleh Cooper pada tahun 1951 ini menyatakan bahwa kedaulatan negara ditentukan oleh kemampuan negara yang bersangkutan untuk menguasai ruang udara yang ada di atas wilayahnya secara fisik dan ilmiah.
  3. Teori Udara Schacter, Teori ini menyatakan bahwa wilayah udara itu haruslah sampai pada suatu ketinggian yang memungkinkan bagi udara untuk mampu mengangkat atau juga mengapungkan balon dan pesawat udara.
Berdasarkan catatan sejarah, kebutuhan mengenai pengaturan di wilayah udara mengenai penerbangan pesawat udara muncul pada awal tahun 1900an, dimana semakin jelas juga bahwa permasalahan-permasalahan hukum yang menyangkut penerbangan tidak dapat diselesaikan secara nasional semata. Ini adalah juga masa dimana perkembangan pesat dibidang penerbangan udara terpacu juga sebagai akibat dari perang dunia pertama. Meskipun terganggu oleh Perang Dunia I yang berlangsung antara tahun 1914 hingga 1918, dampak dari peperangan memicu perubahan sikap pemerintahan negara-negara.

Pada tahun 1916, Britania Raya, Perancis, Italia dan Amerika Serikat membentuk komite kerjasama internasional untuk mengatur hal-hal seputar produksi dan pembuatan pesawat. Hal ini menekankan pentingnya kerjasama internasional di dalam bidang penerbangan setelah perang berakhir. Britania Raya yang dulu menolak tegas konvensi internasional yang diadakan di Paris pada tahun 1910, pada tahun 1917 juga membentuk Civil Aerial Transport Committee yang bertujuan untuk mempelajari permasalahan-permasalahan terhadap penerbangan sipil setelah perang.

Perang Dunia I juga menimbulkan kesadaran negara-negara bahwa ruang udara mereka haruslah tertutup. Setiap negara yang ikut berperang dalam perang dunia tersebut juga menyadari adanya sebuah kebutuhan akan peraturan-peratuan internasional yang mengatur mengenai penerbangan. Peraturan-peraturan ini dibutuhkan untuk melindungi para pilot serta batasan-batasan negara menjelang berakhirnya perang besar tersebut. Selain itu, pengaturan mengenai jalur penerbangan internasional juga dibutuhkan.


Menjelang berakhirnya Perang Dunia I, negara-negara sekutu kala itu mulai mempersiapkan segala keperluan yang berhubungan dengan persiapan-persiapan perdamaian yang hampir tiba, termasuk juga persiapan mengenai masalah-masalah penerbangan yang kala itu merupakan gangguan bagi negara-negara Eropa. Dengan ditandatanganinya Perjanjian Perdamaian Versailles pada tahun 1919 setelah Perang Dunia I berakhir, telah berhasil disusun sebuah Konvensi yang membahas mengenai masalah penerbangan internasional yang diadakan di Paris, yang ditandantangani pada tanggal 13 Oktober 1919 dan mulai berlaku pada tanggal 11 Juli 1922 yang kemudian diikuti oleh berbagai konvensi yang menyangkut pengaturan penerbangan dan ruang udara yang menghasilkan pengaturan-pengaturan multilateral yang merupakan sumber dari pengaturan Hukum Udara Internasional.

Selama masa Perang Dunia I, alat transportasi udara banyak digunakan untuk berbagai keperluan negara yang saling berperang yang berakibat pada peningkatan pembuatannya. Contohnya adalah jumlah pesawat Inggris yang kala itu hanya berjumlah 12 buah dan pada akhir Perang Dunia I, berjumlah 22.000 pesawat. Bersama dengan pembukaan rute komersil internasional pertama pada Maret 1919 antara Perancis dan Belgia serta penerbangan melewati Samudera Atlantik yang dilakukan pada bulan Juli di tahun yang sama, kebutuhan akan adanya peraturan internasional mengenai udara dan penerbangan semakin besar. Pemerintah Perancis kemudian mengadakan konvensi yang diikuti tiga puluh delapan negara yang diadakan di Paris pada tahun 1919.

Konvensi Paris 1919 yang berjudul Convention Relating to the Regulation of Aerial Navigation terdiri atas dua bagian, naskah utama dan naskah tambahan. Naskah utama mengatur mengenai kedaulatan atas ruang wilayah udara, lintas damai, zona larangan terbang, pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara, sertifikat pendfataran dan kebangsaan pesawat udara dan radio penerbangan, izin penerbangan, keberangkatan dan kedatangan pesawat udara, larangan pengangkutan bahan berbahaya, klasifikasi pesawat udara, komisi navigasi penerbangan dan ketentuan penutup. Naskah tambahan terdiri dari delapan Annex yang mencakup berbagai hal, yaitu mengenai:

  • Kedaulatan wilayah udara
  • Penerbangan lintas damai
  • Zona larangan terbang
  • Pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara
  • Sertifikat pendaftaran pesawat udara dan peralatan radio
  • Persetujuan terbang
  • Keberangkatan dan pendaratan
  • Larangan pengangkutan
  • Klasifikasi pesawat udara
  • Komisi Navigasi Penerbangan Internasional
  • Pengumpulan dan penyebaran statistik
  • Bea dan cukai
Salah satu pencapaian terbesar dari Konvensi Paris 1919 adalah terbentuknya International Commission for Air Navigation atau yang dikenal sebagai ICAN atau Komisi Navigasi Penerbangan Internasional. Di dalam pembentukan Konvensi Paris 1919, banyak mengandung pokok-pokok yang telah dibicarakan dalam pertemuan pada tahun 1910. Untuk pertama kalinya didalam sejarah penerbangan dunia dimuat didalam konvensi suatu pengakuan bahwa setiap negara berdaulat terhadap lapis ruang udara di atas wilayah negaranya seperti dapat dilihat pada Konvensi Paris 1919 walaupun pada kenyataannya prinsip tentang kedaulatan di ruang udara sebelum Perang Dunia I telah diterima dan merupakan kebiasaan internasional yang diterima oleh negara-negara.

Konvensi Paris 1919 masih bersifat diskriminatif terhadap sesama negara anggota maupun bukan negara anggota, hal ini dapat dilihat mengenai jumlah suara yang dimiliki oleh negara anggota ICAN. Konvensi Paris 1919 ditandatangani dan kemudian diratifikasi oleh Belgia, Perancis, Bolivia, Inggris, Yunani, Jepang, Portugal, Serbia dan Thailand dan kemudian diikuti oleh Liberia, Nikaragua dan Persia. Namun, meskipun telah mendukung dan menandatangani Konvensi Paris 1919, Amerika Serikat tidak meratifikasinya dikarenakan alasan-alasan tertentu. Kepentingan Konvensi Paris 1919 tidak bisa dikesampingkan. Ketentuan-ketentuan konvensi ini menjadi peraturan hukum bagi negara-negara yang mengikutinya dan menjadi inspirasi bagi hukum udara yang berlaku di Eropa, yang pada masa itu masih terbatas. Konvensi Ibero-Amerika pada tahun 1926 membahas permasalahan yang sama dan Konvensi Pan-Amerika 1928 melahirkan kententuan-ketentuan penting yang sama, namun perbedaannya, Konvensi Paris 1919 secara khusus membahas mengenai hukum udara publik, sementara Konvensi Pan-Amerika 1928 juga membahas mengenai hukum udara privat.

Konvensi tentang Unifikasi Peraturan-peraturan Tertentu mengenai Transportasi Udara Internasional yang ditandatangani pada tanggal 12 Oktober 1929 tersebut awalnya bercita-cita untuk keseragaman dokumen angkutan udara internasional serta tanggung jawab hukum perusahaan penerbangan internasional, namun dalam kenyataannya justru terjadi disunifikasi dengan lahirnya Protokol Den Haag 1955, Konvensi Guadalaraja 1961, Protokol Guatemala 1971, Protokol Tambahan Montreal 1975 Nos. 1, 2, 3, 4, dan 5 dan Konvensi Montreal 1999, disamping Montreal Agreement of 1966 yang khususnya berkenaan dengan jumlah ganti rugi dokumen transportasi udara internasional. Pada pokoknya, Konvensi Warsaw 1929 mengatur keseragaman dokumen transportasi udara internasional yang terdiri dari tiket penumpang, tiket bagasi, surat muatan udara, prinsip tanggung jawab hukumperusahaan penerbangan yang dikaitkan dengan tanggung jawab terbatas, pengertian transportasi udara internasional, yurisdiksi negara anggota. Konvensi Warsaw 1929 hanya berlaku terhadap penerbangan internasional.

Menjelang berakhirnya Perang Dunia II, Presiden Amerika Serikat kala itu, Theodore Roosevelt mengundang sekutu-sekutunya untuk mengadakan konferensi penerbangan Penerbangan Sipil Internasional di Chicago pada tahun 1944. Hadir dalam konferensi tersebut, lima puluh empat delegasi, dua delegasi dalam kapasitasnya sebagai pribadi, sedangkan lima puluh dua delegasi mewakili negara masing-masing. Dua negara yang diundang, masing-masing Saudi Arabia dan Uni Soviet tidak hadir dalam Konferensi Penerbangan Sipil Internasional tersebut. Ketidakhadiran Uni Soviet dipermasalahkan kala itu dikarenakan delegasi Uni Soviet yang sudah dalam perjalanan diinstruksikan oleh pemerintahnya untuk tidak mengikuti konferensi tersebut.


Diantaranya spekulasi pendapat mengapa Uni Soviet tidak hadir dalam konfrensi penerbangan sipil antara lain:

  • Uni Soviet tidak menghendaki pesawat udara asing beroperasi di Uni Soviet, sebab angkutan udara nasional akan dieksploitasi sendiri;b. Uni soviet tidak mau hadir dalam konfrensi penerbangan Internasional, karena Uni Soviet mengutamakan keamanan nasional (national security) dari pada kesejahteraan nasional (national prosperity).
  • Uni Soviet tidak mau hadir dalam konfrensi penerbangan sipil Internasional dengan alasan angkutan udara nasional akan dieksploitasi sendiri, walaupun delegasinya sudah dalam perjalanan, kemungkinan ada benarnya sebab Uni Soviet mempunyai daerah yang cukup luas dan angkutan udara yang cukup banyak, tidak perlu mengadakan tukar menukar hak-hak penerbangan dengan negara lain, cukup mengeksploitasi sendiri tanpa adanya perusahaan penerbangan asing melakukan penerbangan ke atau dari Uni Soviet. Spekulasi Uni soviet tidak hadir dalam konfrensi penerbangan sipil internasional dengan alasan keamanan nasional atau national security, kemungkinan juga ada benarnya sebab Uni Soviet tidak menghendaki adanya pesawat udara asing terbang di atas Uni Soviet tanpa melakukan pendaratan.



Konvensi Chicago 1944 melandasi lahirnya Organisasi Penerbangan Sipil Internasional atau International Civil Aviation Organization yang dikenal sebagai ICAO. Tujuan Konvensi Chicago 1944 tampak dengan jelas pada pembukaannya, dimana dijelaskan bahwa pertumbuhan penerbangan sipil yang akan datang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan persahabatan, meningkatkan pengertian antara bangsa-bangsa dunia, saling mengunjungi masyarakat dunia dan untuk mencegah terjadinya kembali perang, mencegah terjadinya friksi dan untuk memelihara kerja sama antar negara-negara dalam memelihara perdamaian dunia.

Karena itu, negara-negara peserta konferensi sepakat mengatur prinsip-prinsip dasar penerbangan sipil internasional dan menumbuhkembangkan penerbangan sipil yang aman, lancar, teratur dan memberi kesempatan yang sama kepada negara anggota untuk menyelenggarakan angkutan udara internasional dan mencegah adanya persaingan yang tidak sehat.

Kandungan konvensi tersebut terbatas dari aspek-aspek ekonomi, kedaulatan atas wilayah udara, pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara, SAR, dokumen penerbangan dan organisasi penerbangan sipil internasional. Pasal 1 Konvensi Chicago mengakui bahwa setiap negara berdaulat mempunyai
kedaulatan yang utuh dan penuh. Konsekuensi prinsip kedaulatan di udara tersebut adalah tidak ada pesawat udara yang terbang di atau ke atau melalui ruang udara nasional negara anggota tanpa memperoleh izin terlebih dahulu betapapun tinggi maupun rendahnya pesawat udara yang melakukan penerbangan.

Secara implisit pesawat udara yang digunakan untuk polisi, militer maupun bea cukai yang biasa disebut pesawat udara negara dilarang terbang diatas wilayah udara negara berdaulat. Demikian juga pesawat udara tanpa awak pesawat udara juga dilarang terbang di wilayah udara negara lain, tetapi untuk pesawat udara yang diterbangkan oleh kapten penerbang, tetap diperlukan izin bila terbang di atau ke atau melalui negara anggota maupun bukan negara anggota Konvensi Chicago 1944.

Berdasarkan prinsip kedaulatan di udara, pesawat udara asing bersama dengan awak pesawat udara, penumpangnya harus mematuhi hukum dan regulasi nasional negara tempat pesawat udara tersebut melakukan penerbangan. Konsekuensi kedaulatan di udara tersebut tampak dari ketentuan-ketentuan mengenai cabotage, pengawasan pesawat udara tanpa awak pesawat udara, kewenangan menetapkan daerah terlarang, penetapan bandar udara yang boleh didarati oleh penerbangan internasional, regulasi navigasi penerbanganm lalu lintas internasional, izin masuk negara anggota, pencarian dan pertolongan serta pendaratan dan tinggal landas bantuan dalam hal pesawat udara menghadapi bahaya, investigasi kecelakaan pesawat udara, pengunaan peralatan radio, pengangkutan amunisi perang atau peralatan perang atau barang-barang berbahaya lainnya, pengunaan peralatan foto dan penerbangan dengan pesawat udara dan awak pesawat udara harus mempunyai sertifikat kelaikan udara maupun setifikat kecakapan awak pesawat udara.

Pada tanggal 7 Oktober 1952 di Roma, ditandatangani sebuah konvensi yang berjudul, “Convention on Damaged Caused by Foreign Aircraft to The Third Parties on the Surface.” Konvensi tersebut dikenal sebagai Konvensi Roma 1952. Konvensi tersebut mengatur prinsip tanggung jawab hukum, lingkup tanggung jawab hukum, pengamanan tanggung jawab, prosedur dan tata cara pengajuan gugatan, ketentuam umum dan penutup. Prinsip tanggung jawab yang digunakan dalam konvensi tersebut adalah tanggung jawab hukum tanpa bersalah.

Berdasarkan prinsip tanggung jawab hukum tanpa bersalah tersebut korban tidak perlu membuktikan kesalahan dari perusahaan penerbangan, tetapi otomatis menerima ganti kerugian. Para korban cukup memberi tahu bahwa menderita kerugian akibat jatuhnya pesawat udara atau orang atau barang dari pesawat udara. Konvensi Roma 1952 hanya berlaku terhadap pesawat udara asing yang mengalami kecelakaan di negara anggota dan kerugian tersebut terjadi di permukaan bumi, artinya dapat di darat, laut, sungai, danau, maupun tempat-tempat lain, tetapi tidak berlaku apabila kecelakaan atau kerugian tersebut terjadi di udara.

Pada tahun 1963, ditandatangani Konvensi Tokyo 1963 yang biasa disebut konvensi tentang Pembajakan Udara, yang diusulkan pertama kali oleh delegasi Meksiko dalam Konferensi yang membahas konsep Legal Status of Aircraft pada tahun 1950. Tujuan Konvensi Tokyo 1963 adalah untuk menetapkan negara yang mempunyai yurisdiksi, mengisi kekosongan hukum, melindungi kapten penerbang beserta awak pesawat udara, pemilik pesawat udara, perusahaan penerbangan terhadap ancaman gugatan perdata maupun tuntutan pidana, melindungi penumpang, melindungi harta benda yang diangkut dalam pesawat udara terhadap keselamatan penerbangan akibat tindakan melawan hukum dan menjamin kelancaran, ketertiban, keteraturan dan disiplin di dalam pesawat udara, mencegah jangan sampai terjadi tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan yang lolos dari sanksi hukuman dan sebaliknya jangan sampai terjadi ancaman hukuman ganda karena itu diadakan keragaman yurisdiksi negara anggota Konvensi Tokyo 1963.

Meskipun Konvensi Tokyo 1963 adalah untuk mencegah terjadinya pembajakan udara yang pada masa itu marak terjadi. Namun, dalam Konvensi tersebut tidak ada definisi pembajakan udara udara yang biasa disebut dengan istilah hijacking, skyjacking, air piracy, aerial piracy, aerial skyjacking, aircraft hijacking, air banditism maupun illegal diversion of aircrfat. Pengaturan mengenai pembajakan diatur di Pasal 11 Konvensi Tokyo 1963, dimana digunakan istilah unlawful seizure of aircrfat. Menurut Pasal tersebut, setiap tindakan melawan hukum yang menggangu dalam pesawat udara, penguasaan atau pengambilalihan pesawat udara dengan pakssa adalah merupakan pembajakan udara. Kekurangan dari Konvensi Tokyo 1963 pada akhirnya dimantapkan oleh Konvensi Den Haag 1970.

Pada tahun 1971, Organisasi Penerbangan Sipil Internasional mengesahkan Konvensi Internasional yang berjudul, “Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation,” yang ditandatangani di Montreal pada tanggal 23 September 1971. Setelah Konvensi Tokyo 1963 disahkan dan berlaku sejak Desember 1969 dan Konvensi Den Haag 1970 ditandatangani pada 16 Desember 1970, sasaran tindak pidana penerbangan ditujukan kepada fasilitas keselamatan penerbangan untuk menghancurkan pesawat udara agar tidak dapat dioperasikan, menempatkan bahan dan atau barang berbahaya untuk merusak pesawat udara, merusak fasilitas navigasi penerbangan atau menggangu pengunaannya, menggangu komunikasi antara petugas menara pengawas lalu lintas udara dengan kapten penerbang, membantu tindakan melawan hukum, percobaan melakukan tindakan melawan hukum dan lain-lain, dengan kata lain sasaran utama adalah fasilitas pengoperasian pesawat udara untuk menggangu keselamatan penerbangan. Seperti Konvensi Chicago 1944, Konvensi Tokyo 1963, dan juga Konvensi Den Haag 1970, Konvensi Montreal 1971 tidak berlaku terhadap pesawat udara yang digunakan untuk militer, bea cukai dan dinas kepolisian yang biasa disebut pesawat udara negara.

Pada 17 Juli 1978, tujuh kepala negara maju berhimpun di Bonn, Jerman untuk menyutujui suatu deklarasi yang dikenal sebagai Bonn Declaration of 1978 mengenai pembajakan udara. Ketujuh kepala negara tersebut menyatakan bahwa bermaksud bersama-sama meningkatkan pencegahan pembajakan pesawat udara yang merupakan salah satu tindakan teroris internasional, karena itu mereka setuju bahwa bila pembajak berada di suatu wilayah negara peserta, maka negara peserta tersebut wajib menghukum dengan hukuman yang berat atau mengekstradisikan pembajak ke negara yang mempunyai yurisdiksi untuk mengadili teroris yang membajak pesawat udara serta mengembalikan pesawat udara yang dibajak ke negara tempat pesawat udara didaftarkan. Bila negara peserta tidak melakukan kewajiban tersebut maka negara anggota peserta Deklarasi Bonn 1978 lainnya akan menghambat penerbangan dari dan atau ke negara tersebut.

Menjelang tahun 1988 banyak terjadi tindakan kekerasan baik terhadap orang maupun fasilitas yang terjadi di bandar udara yang belum dijangkau oleh Konvensi Montreal 1971, karena itu pada 24 Februari 1988, disahkan Protokol Montreal 1988 yang bermaksud mencegah tindakan-tindakan tersebut. Protokol Montreal merupakan pelengkap dari Konvensi Montreal 1971 tentang Pemberantasan Tindakan Melawan Hukum Terhadap Keselamatan Penerbangan Sipil yang dibuat di Montreal pada 23 September 1971. Berlakunya Protokol Montreal 1988 dan Konvensi Montreal 1971 harus dibaca dan ditafsirkan secara bersama-sama.

Berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor S/RES/635 (1989) tanggal 14 Juni 1989 dan Resolusi Sidang Umum Nomor RESS.UNGA/44 (1989) tanggal 29 Desember 1989, Organisasi Penerbangan Sipil Internasional berwenang menciptakan rezim hukum internasional baru yang tidak terbatas pada penandaan peledakan untuk maksud penemuan, tetapi juga rezim hukum terorisme internasional yang berkaitan dengan deklarasi tentang keamanan internasional, konvensi yang berkaitan dengan konflik bersenjata, Konvensi Tokyo 1963 dan Konvensi Den Haag 1970. Berdasarkan kewenangan tersebut, Organisasi Penerbangan Sipil Internasional telah mengesahkan Convention on the Marking of Plastic Explosive for the Purpose of Detection. Dalam Konvensi tersebut diwajibkan bagi negara anggota untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melarang dan mencegah bahan plastik yang tidak diberi tanda.

Konvensi Montreal 1991 tidak mewajibkan kepada negara anggota untuk menciptakan hukum pidana terorisme, hal itu diserahkan kepada hukum nasional masing-masing negara. Konvensi Montreal 1991 juga membentuk Komisi Ahli di bidang bahan peledak yang terdiri tidak kurang dari 15 anggota yang berpengalaman dibidang produksi atau penemu kenalan atau penelitian barang peledak yang ditunjuk oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional dari orang-orang yang dicalonkan oleh negara anggota Konvensi. Komisi tersebut bekerja dalam kurun waktu tiga tahun yang dapat ditunjuk kembali. Minimum setahun sekali mereka mengadakan sidang di kantor pusat Organisasi Penerbangan Sipil Internasional. Hal ini diserahkan sepenuhnya kepada negara anggota masing-masing sesuai dengan Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 dengan memperhatikan aspek filosofis, yuridis, sosiologis serta asas-asas hukum internasional yang berlaku baik yang lama maupun yang baru.


Hasil dari konvensi-konvensi tersebut yang diratifikasi suatu negara akan menjadi sumber dari hukum udaranya, sehingga hasil-hasil konvensi tersebut tidak hanya menjadi sumber hukum udara internasional, tetapi juga sumber hukum udara nasional pada masa sekarang. Selain konvensi-konvensi mengenai hukum udara ada berbagai sumber hukum udara internasional lainnya yang akan dibahas selanjutnya.