Alat Bukti Elektronik

SUDUT HUKUM | Alat bukti elektronik (electronic evidence) adalah berupa dokumen elektronik dan informasi elektronik yang merupakan hasil produksi dari alatalat elektronik, yaitu setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti, dan hanya dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Kedudukan alat bukti elektronik sebagai alat bukti dalam hukum pidana Indonesia sendiri belum mempunyai status yang jelas. Edmon Makarim mengemukakan bahwa keberadaan alat bukti elektronik masih sangat rendah. Dalam mengemukakan alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah dan berdiri sendiri, harus dapat menjamin bahwa rekaman atau data, berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Informasi elektronik dalam UU ITE adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Undang-undang di atas menjelaskan bahwa dalam pembuktian didalam persidangan dengan alat bukti elektronik sangat berkaitan erat dengan pendapat/keterangan ahli. Selain karena adanya undang-undang yang mengatur (dipahami oleh orang yang mampu memahaminya), keterangan/pendapat ahli seakan tidak bisa terlepas dari bukti elektronik karena kerumitan memahami alat dan sistem alat bukti tersebut. Sehingga dapat dipastikan untuk zaman sekarang aparatur hukum di pengadilan masih buta dengan hal itu.

Mengingat Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, merupakan undang-undang khusus (lex specialis) dimana secara khusus juga mengukur tentang alat bukti sebagaiman diatur dalam Pasal 27, alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi:

  • Alat bukti sebagaiamana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana
  • Alat bukti lain berupa informasi yang diucapakan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang sesuai dengan itu
  • Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas , benda fisik ataupun selain kertas, atau yang terrekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:

  1. Tulisan, suara, atau gambar
  2. Peta, rancangan,foto, atau sejenisnya
  3. Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya

Berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang mengatur tentang alat bukti, maka pengaturan mengenai alat bukti pemeriksaan perkara pidana terorisme lebih luas daripada alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, perluasan alat bukti dalam Pasal 27 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ini dapat diperhatikan bunyi ketentuan dalam Pasal 27 huruf b dan huruf c yang menyebutkan alat bukti elektronik.

Perlu dipahami bahwa keberadaan alat bukti elektronik ini tidak dapat dilepaskan dengan modus operandi tindak pidana terorisme yang dalam melaksanakan niatnya dalam melakukan teror menggunakan teknologi tinggi, baik didalam berkomunikasi maupun dalam melaksanakan tindak pidana yang direncanakannya. Begitu pula jaringannya pun tidak sekedar lintas wilayah, lintas pulau, melainkan sudah melintas batas teritorial negara.

Mengenai perluasan alat bukti elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, tidak terdapat atau tidak diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, hal ini terjadi karena disebabkan pembuat undang-undang pada waktu itu tidak memperkirakan atau memperhitungkan adanya kemajuan yang begitu cepat atau revolusi teknulogi informasi dan komunikasi yang sangat cepat sekali saat ini, sehingga KUHAP tak mampu untuk mengantisipasinya. Dengan kata lain, alat bukti yang diatur berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, tentang keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa, apabila diterapakan dan mengacu secara formal dalam proses pembuktian pada kasus tindak pidana terorisme dirasakan kurang dapat mengakomodir penyelesaian kasus terorisme yang bersifat “extra ordinary crime” sehingga dalam prakteknya menimbulkan problematik.

Oleh karena itu, dengan hanya menerapkan kelima alat bukti sebagaiamana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP tersebut dapat menghambat dan merugikan penegakan hukum dalam pengungkapan kasus tindak pidana terorisme. Karena hal tersebut akan membelenggu atau membatasi hakim dalam mencari kebenaran materiil untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Perlu dipahami bahwa secara konteks yuridis teoritis, proses pembuktian dilakukan di pengadilan pada tahap pembuktian, sesungguhnya proses pembuktian sendiri telah dimulai pada tahap ini penyidik mengolah apakah peristiwa yang terjadi merupakan peristiwa pidana atau hanya merupakan peristiwa biasa.

Penyidik juga mencari dan mengumpulkan serta menganalisis bukti yang ditemukannya. Selanjutnya dalam proses pembuktian terdapat 3 (tiga) hal, yaitu sistem pembuktian, beban pembuktian, dan alat bukti. Pada proses penyelesaian perkara tindak pidana terorisme, pembuktian sangat terkait erat dengan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk membuktikan seseorang terlibat atau tidak dalam peristiwa tindak pidana terorisme yang terjadi.

Proses pembuktian memegang peranan yang sangat penting, mengingat beratnya hukuman bagi pelaku tindak pidana terorisme sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu hukuman seumur hidup atau hukuman mati yang sesungguhnya bertentangan dengan HAM. Oleh karena itulah perlu dikaji mengenai sistem pembuktian, beban pembuktian, dan alat bukti terkait perkara tindak pidana terorisme sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003.

Alat bukti yang diatur dalam Pasal 27 huruf b dan huruf c Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, berdasarkan KUHAP tidak diakui sebagai alat bukti tetapi berdasarkan doktrin dikategorikan sebagai barang bukti yang berfungsi sebagai data penunjang alat bukti. Akan tetapi, dengan adanya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ini kedua alat bukti tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dan mengikat serta memiliki ketentuan pembuktian sama dengan alat bukti yang diatur di dalam KUHAP, meskipun demikian prinsip lex specialis derogate lex generalis tetap berlaku.

Dengan penafsiran secara a contrario, dapat diartikan hal-hal yang tidak diatur dalam ketentuan khusus (Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, maka yang diberlakukan adalah ketentuan umum (KUHAP).