Cara Terjadinya Penghibahan dalam Hukum Islam

SUDUT HUKUM | Di antara cara-cara hibah yang terkenal ialah penerimaan (al-qabdh). Ulama berselisih pendapat, apakah penerimaan itu menjadi cara atau syarat akad atau tidak. Imam Taqi al-Din menyatakan setiap yang boleh dijual boleh pula dihibahkan. Menurut Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, hibah terjadi dengan ijab, misalnya “saya hibahkan barang ini kepadamu” atau saya milikkannya kepadamu” atau saya anugerahkannya kepadamu”, dan juga qabul yang bersambung dengan ijab, misalnya “saya menerima” atau “saya puas”.
Sedangkan Syekh Muhammad ibn Qasīm al-Gāzi menandaskan tidak sah hukumnya suatu hibah kecuali dengan adanya ijab dan qabul yang diucapkan. Ats-Tsauri, Syafi’i dan Abu Hanifah sependapat bahwa syarat hibah adalah penerimaan. Apabila barang tidak diterima, maka pemberi hibah tidak terikat. Imam Malik berpendapat bahwa hibah menjadi sah dengan adanya penerimaan, dan calon penerima hibah boleh dipaksa untuk menerima, seperti halnya jual beli. Apabila penerima hibah memperlambat tuntutan untuk menerima hibah sampai pemberi hibah itu mengalami pailit menderita sakit, maka batallah hibah tersebut.

Apabila pemberi hibah menjual barang hibah, maka dalam hal ini Imam Malik merinci pendapatnya. Yakni apabila penerima hibah mengetahui tetapi kemudian berlambat-lambat, maka ia hanya memperoleh harganya. Tetapi jika ia segera mengurusnya, maka ia memperoleh barang yang dihibahkan itu.

Jadi, bagi Imam Malik penerimaan merupakan salah satu syarat kelengkapan hibah, bukan syarat hibah. Sementara bagi Imam Syafi’i dan Abu Hanifah termasuk syarat hibah. Imam Ahmad dan Abu Tsaur berpendapat bahwa hibah menjadi sah dengan terjadinya akad, sedang penerimaan tidak menjadi syarat sama sekali, baik sebagai syarat kelengkapan maupun syarat hibah. Pendapat ini juga dikemukakan oleh golongan Zhahiri.
Tetapi dari Imam Ahmad juga diriwayatkan bahwa penerimaan menjadi syarat hibah pada barang yang dapat ditakar dan ditimbang. Fuqaha yang tidak mensyaratkan penerimaan dalam hibah yaitu karena menurut Imam Malik, Imam Ahmad dan Abu Tsur hibah itu serupa dengan jual beli. Di samping bahwa pada dasarnya penerimaan (al-Qabdhu) itu untuk sah akadakad itu tidak dipersyaratkan adanya penerimaan, kecuali jika ada dalil yang mensyaratkan penerimaan.

Berbeda halnya dengan fuqaha yang mensyaratkan penerimaan, maka Imam Syafi’i dan Abu Hanifah berpegangan dengan penerimaan yang diriwayatkan dari Abu Bakar ra. pada riwayat hibahnya kepada ‘Aisyah ra. Riwayat ini merupakan nash tentang disyaratkannya penerimaan bagi sah hibah.

Mereka juga berpegangan dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari Umar ra. bahwa ia berkata:

Bahwasannya Malik telah mengabarkan kepadaku dari Ibnu Syihab dari Urwah bin Zubair dari Abdurrahim bin Abdul Qoriy, sesungguhnya Umar bin Khattab berkata: Kenapakah orang-orang yang memberikan pemberian kepada anakanaknya kemudian mereka menahannya? Apabila anak salah seorang dari mereka meninggal, maka berkatalah ia, “Hartaku ada di tanganku, tidak kuberikan kepada seorang pun”. dan jika ia hendak meninggal, maka ia pun berkata, “Harta tersebut untuk anakku, telah kuberikan kepadanya”. Maka barang siapa memberikan suatu pemberian, kemudian orang yang memberikannya tidak menyerahkannya kepada orang yang diberinya dan menahannya sampai jatuh ke tangan ahli warisnya apabila ia meninggal, maka pemberian itu batal.


Ali ra juga berpendapat seperti itu. Imam Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa pendapat Umar tersebut merupakan ijma’ sahabat, karena dari mereka tidak diriwayatkan adanya perselisihan berkenaan dengan hal itu. Akan halnya Imam Malik, maka ia menyandarkan kepada dua perkara bersama-sama, yakni qiyas dan apa yang diriwayatkan dari sahabat, kemudian ia menggabungkan keduanya.

Ditinjau dari kedudukan hibah sebagai salah satu akad, maka Imam Malik berpendapat bahwa penerimaan tidak menjadi syarat hibah. Dan ditinjau dari kenyataan bahwa para sahabat mensyaratkan adanya penerimaan, sebagai suatu penyumbat jalan keburukan (saddu’dz-dzari’ah) yang disebutkan oleh Umar ra., maka Imam Malik menjadikan penerimaan pada hibah sebagai syarat kelengkapan dan bukan menjadi kewajiban dalam akad hibah. Kemudian jika ia berlambat-lambat sehingga masa penerimaan habis, karena pemberi hibah menderita sakit atau mengalami pailit, maka orang yang diberi hibah ini gugur haknya.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang syarat sahnya hibah, khususnya berkenaan dengan persoalan serah terima. Perbedaan tersebut terjadi karena masing-masing ulama menggunakan pendekatan dan titik berbeda.