Hak Ulayat menurut UUPA

SUDUT HUKUM | Politik dualisme hukum, membawa akibat-akibat buruk bagi pemahaman dan bekerjanya hukum di Indonesia, terutama jika dilihat dari segi substansinya yang tidak kontekstual karena belum menjawab setiap permasalahan sosial yang terjadi dalam kehidupan Indonesia saat ini. Menyadari kelemahan tersebut, Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 (UUPA) mencoba menyelesaikannya, khususnya yang berkaitan dengan bumi, air dan ruang angkasa. Sejak berlakunya UUPA pada tanggal 24 september 1960, maka berakhirlah masa dualisme hukum pertanahan di Indonesia dan menjadi suatu unifikasi hukum pertanahan dengan menundukkan kembali hukum adat pada tempatnya sebagai landasan utama hukum pertanahan nasional. Dengan demikian hak atas tanah yang bersumber pada hukum adat seperti yang bersangkutan dengan hak ulayat juga mengalami perubahan.

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda belum pernah hak ulayat diakui secara resmi di dalam undang-undang bahkan seringkali hak ulayat diabaikan meskipun ada dan berlaku di lingkungan masyarakat hukum adat. Pengaturan tentang hak ulayat sejak berlakunya UUPA menemuhi sedikit titik terang, hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal 3 UUPA yang menentukan bahwa:

Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan Hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”

Pengertian hak ulayat dalam UUPA secara eksplisit tidak ditemukan, namun berdasarkan ketentuan tersebut, pengakuan hak ulayat dibatasi pada dua hal yakni berkenaan dengan eksistensi dan pelaksanaanya. Dengan demikian, jelaslah bahwa hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat masih diakui keberadaanya sepanjang dalam kenyataanya di masyarakat masih ada. Kalau sudah ada, tidaklah perlu untuk membuat adanya hak ulayat baru.

Penjelasan Umum II angka (3) menegaskan bahwa kepentingan sesuatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih tinggi dan lebih luas. Hak ulayat pelaksanaanya harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan yang lebih luas itu. Tidak dapat dibenarkan masih mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak, seakan-akan ia terlepas dari masyarakat-masyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya, di dalam lingkungan negara sebagai kesatuan. Sikap yang demikian jelas bertentangan dengan asas pokok Pasal 2 dan dalam praktek pun akan membawa akibat terhambatnya usaha besar untuk mencapai kemakmuran rakyat seluruhnya.

Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mendudukan hak ulayat pada tempat yang sewajarnya dalam alam bernegara dewasa ini. Artinya, hak ulayat diperhatikan sepanjang hak tersebut menurut kenyataanya masih ada (berlaku) pada masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Jika masih ada (berlaku), pelaksanaanya tidak boleh dilakukan secara mutlak, seakan-akan terlepas hubungannya dengan masyarakat-masyarakat hukum dan daerah-daerah lain di lingkungan NKRI.

Pengakuan eksistensi hak ulayat oleh UUPA merupakan hal yang wajar, karena hak ulayat masyarakat hukum adat telah ada, dan hidup sebelum terbentuknya NKRI. Berkaitan dengan pengakuan keberadaan hak ulayat, Boedi Harsono (1999:193), menentukan bahwa UUPA tidak memberikan kriterianya. Alasan para perancang dan pembentuk UUPA untuk tidak mengatur tentang hak ulayat adalah karena pengaturan hak ulayat, baik dalam penentuan kriteria eksistensi maupun pendaftaranya, akan melestarikan keberadaan hak ulayat, sedangkan secara alamiah terdapat kecenderungan melemahnya hak ulayat. Kecenderungan tersebut dipercepat dengan bertambah kuatnya hak-hak individu, melalui pengaturanya dalam bentuk hukum yang tertulis dan penyelenggaraan pendaftarannya yang menghasilkan surat-surat tanda pembuktian haknya.

Berpegang pada konsepsi yang bersumber pada hukum adat, menurut Maria Sumardjono (2009:171), kiranya adil bila kriteria penentu eksistensi hak ulayat didasarkan pada adanya tiga unsur yang harus dipenuhi secara simultan. Pertama, yakni adanya subyek hak ulayat, yaitu masyarakat hukum adat; Kedua, Obyek hak ulayat, yakni tanah wilayah yang merupakan lebensraum-nya; Ketiga adanya kewenangan tertentu dari masyarakat hukum adat itu untuk mengelola tanah wilayahnya, termasuk menentukan hubungan yang berkenaan dengan persediaan, peruntukan dan pemanfaatan serta pelestarian tanah wilayahnya itu.

Hal tersebut barangkali tidak sulit untuk memahaminya dari belakang meja. Masalahnya akan menjadi tidak sederhana ketika harus berhadapan dengan peristiwa hukum yang konkret. Dalam kenyataanya ketiadaan kriteria persyaratan eksistensi hak ulayat merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap marjinalisasi hak ulayat atas tanah masyarakat hukum adat. Tanpa adanya kriteria obyektif, pihak yang berhadapan dengan masyarakat hukum adat (pemerintah atau swasta) dapat secara sepihak menafikan keberadaan masyarakat hukum adat. Secara obyektif, posisi tawar masyarakat hukum adat berhadapan dengan pihak yang posisinya lebih kuat dari segi politik ataupun modal, jelas tidak seimbang.