Istilah dan pengertian hukum adat

SUDUT HUKUM | Van Vollenhoven dalam Otje Salman Soemadiningrat (2011:7), menyatakan bahwa masyarakat-masyarakat asli yang hidup di Indonesia, sejak ratusan tahun sebelum kedatangan bangsa Belanda, telah memiliki dan hidup dalam tata hukumnya sendiri. Tata hukum masyarakat asli tersebut dikenal dengan sebutan hukum adat. Istilah hukum adat pada dasarnya bukan berasal dari bahasa indonesia, tetapi merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda yaitu “het adatrecht”, yang untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh C.Snouck Hurgonje di dalam bukunya yang berjudul “ De Atjehers”. Snouck Hurgonje, memberikan arti hukum adat sebagai “Die rechtsgevolgen hebben” (adat-adat yang mempunyai akibat hukum).

Istilah het adatrecht tersebut, kemudian lebih dipopulerkan oleh Prof. Dr. Cornelis Van Vollenhoven sebagai ilmu pengetahuan. Van Vollenhaven didalam bukunya “Het Adatrecht van nederlandsch–indie”, menulis bahwa hukum adat adalah “perangkat kaidah yang berlaku bagi penduduk asli dan golongan timur asing yang di satu pihak mempunyai sanksi (karena itu merupakan “ilmu”) dan di pihak lain tidak dikodifikasikan (karena itu merupakan “adat”).

Dikalangan masyarakat, jarang sekali dipergunakan atau dipakai istilah hukum adat bahkan tidak dikenal secara serius. Dalam hal ini yang lajim dipergunakan adalah istilah adat saja, dan istilah adat pun berasal dari kata (istilah/bahasa) Arab yang berarti kebiasaan. Kebiasaan merupakan perilaku masyarakat yang selalu dan senantiasa terjadi di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari (Tolib setiady 2013:5).
Soerjono Soekanto dalam Otje Salman Soemadiningrat (2011:11), mengemukakan bahwa jika suatu kebiasaan (yang pada hakekatnya merupakan keteraturan) diterima sebagai kaedah, kebiasaan tersebut memiliki daya mengikat, menjadi tata kelakuan yang ciri-ciri pokok yaitu merupakan sarana untuk mengawasi perikelakuan warga masyarakat; merupakan kaedah yang memerintahkan atau sebagai patokan yang membatasi aspek sepak terjang warga masyarakat; mengidentifikasikan pribadi dengan kelompok; dan merupakan salah satu sarana untuk mempertahankan solidaritas masyarakat. Selanjutnya, menurut Otje Salman Soemadiningrat, terdapat 3 (tiga) prasyarat untuk menjadikan kebiasaan sebagai hukum. Pertama, masyarakat meyakini adanya keharusan yang harus dilaksanakan. Kedua, pengakuan atau keyakinan bahwa kebiasaan tersebut bersifat mengikat (kewajiban yang harus ditaati) atau dikenal dengan prinsip opinio necessitas. Ketiga, adanya pengukuhan yang dapat berupa pengakuan (erkenning) dan/atau penguatan (bekrachtiging) dari keputusan yang berwibawa (atau pendapat umum, yurisprudensi dan doktrin)
Dengan demikian, Hukum adat adalah bagian dari hukum yang berasal dari adat (kebiasaan) istiadat, yakni kaedah-kaedah sosial yang dibuat dan dipertahankan oleh para fungsionaris hukum (penguasa yang berwibawa) dan berlaku serta dimaksudkan untuk mengatur hubungan-hubungan hukum dalam masyarakat. Pengaturan tata tertib masyarakat oleh hukum adat ini mengindikasikan, hukum adat mengandung sanksi yang dikenakan jika aturan tersebut dilanggar.
Hukum adat pun dibentuk dan diliputi oleh nilai-nilai agama, sebagaimana Soepomo dalam Otje Salman Soemadiningrat (2011:14), memandangnya sebagai hukum tidak tertulis dan dipertahankan fungsionaris hukum serta mengandung sanksi yang disana sini mengadung unsur agama. Dengan demikan, Soepomo mengartikan hukum adat merupakan hukum yang menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat, dan sebagai hukum rakyat hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup masyarakat itu sendiri.
Hukum adat mempunyai corak yang hanya dapat diketahui dengan secara sungguh-sungguh bilamana diketahui tentang ajaran-ajaran hukum adat yang menjadi jiwannya. Ajaran-ajaran tersebut dapat disimpulkan dari pepatah-pepatah dan kiasan-kiasan yang lebih mengutamakan bekerja dengan asas-asas pokok saja. Hal tersebut memberikan kepercayaan yang besar dan penuh kepada fungsionaris adat untuk melaksanakan hukum adat, serta menjadikan masyarakat menjadi pokok perhatiannya atau mempunyai corak komunal (M.Koesnoe 1979:9).

Sesungguhnya, sangat banyak ditemukan rumusan-rumusan tentang hukum adat dalam berbagai literatur, namun dari pengertian dan rumusan tersebut, kiranya sudah cukup untuk memberikan gambaran tentang apa itu hukum adat. Hukum adat merupakan adat (kebiasaan) istiadat yang menjadi hukum adat yang pada umunya tidak tertulis, mempunyai sanksi, adanya prosedur penegakan hukum oleh fungsionarisnya, serta mengandung unsur agama.