Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana

SUDUT HUKUM | Secara umum, pembuktian berasal dari kata bukti yang berarti suatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal (peristiwa tersebut). Pembuktian adalah perbuatan membuktikan. Membuktikan sama dengan memberi (memperlihatkan) bukti, melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakan, menadakan, menyaksikan, dan meyakinkan. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan.

Hukum pembuktian merupakan salah satu bidang hukum yang cukup sudah tua umurnya. Hal ini karena manusia dalam masyarakat, seprimitif apapun individu tersebut, pada hakikatnya memiliki rasa keadilan, dimana rasa keadilan tersebut, akan tersentuh, jika ada putusan hakim yang menghukum orang yang tidak bersalah, atau membebaskan orang yang bersalah, ataupun memenangkan orang yang tidak berhak dalam suatu persengketaan. Agar tidak sampai diputuskan secara keliru, dalam suatu proses peradilan diperlukan pembuktian-pembuktian yang sesuai dengan peraturan. Sehubungan dengan itu, sesuai dengan perkembangan sejarah hukum, maka berkembang pulalah hukum dan kaidah di bidang hukum pembuktian dari sistem pembuktian yang irrasional atau sederhana ke arah sistem yang lebih rasional atau komplit/rumit.


Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Munir Fuady memberikan batasan hukum pembuktian yaitu suatu proses, baik dalam acara perdata, acara pidana, maupun acara-acara lainnya, dimana dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang dinyatakan itu.

Jika ditinjau dari segi hukum acara pidana, maka arti pembuktian mengandung makna yaitu pertama, ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukum, semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Tidak boleh leluasa bertindak dengan caranya sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam mempergunakan alat bukti, tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Terdakwa tidak bisa leluasa mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar di luar ketentuan yang telah digariskan undang-undang.

Terutama bagi majelis hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang ditemukan selama pemeriksaan di persidangan. Jika majelis hakim hendak meletakkan kebenaran yang ditemukan dalam keputusan yang akan dijatuhkan, kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti, dengan cara dan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ditemukan. Kalau tidak demikian, bisa saja orang yang jahat lepas, dan orang yang tidak bersalah akan mendapat hukuman. Kedua, harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang secara limitatif, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP.

Pembuktian adalah suatu cara yang dilakukan oleh suatu pihak atas fakta dan hak yang berhubungan dengan kepentingannya.cMenurut Subekti, yang dimaksudkan dengan membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil ataupun dalil-dalil yang dikemukakan oleh para pihak dalam suatu persengketaan. Karena pembuktian merupakan sebuah sistem, maka pembuktian tentang benar atau tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dalam hukum acara pidanadan tidak dapat dipisahkan antara satu sama lainnya.

Adapun enam butir pokok yang menjadi alat ukur dalam pembuktian, diuraikan sebagai berikut pertama, dasar pembuktian yang tersimpul dalam pertimbangan keputusan pengadilan untuk memperoleh fakta-fakta yang benar (bewijsgronden); kedua, alat-alat bukti yang dapat digunakan oleh hakim untuk mendapatkan gambaran mengenai terjadinya perbuatan pidana yang sudah lampau (bewijsmiddelen); ketiga, penguraian bagaimana cara menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di sidang pengadilan (bewijsvoering); keempat, kekuatan pembuktian dalam masing-masing alat-alat bukti dalam rangkaian penilaian terbuktinya suatu dakwaan (bewijskracht); kelima, beban pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk membuktikan tentang dakwaan di muka sidang pengadilan (bewijslast); dan keenam, bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim (bewijsminimum).

Sistem pembuktian yang dianut KUHAP ialah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Sistem pembuktian negatif diperkuat oleh prinsip kebebasan kekuasaan kehakiman.35 Namun dalam praktik peradilannya, sistem pembuktian lebih mengarah pada sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Hal ini disebabkan aspek keyakinan pada Pasal 183 KUHAP tidak
diterapkan secara limitatif.


Lilik Mulyadi mengemukakan bahwa hal-hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Hal-hal yang secara umum sudah diketahui biasanya disebut notoire feiten (Pasal 184 Ayat (2) KUHAP). Secara garis besar fakta notoir dibagi menjadi 2 golongan yaitu pertama, sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut memang sudah demikian hal yang benarnya atau semestinya, dan kedua, sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian.


Pembuktian adalah perbuatan seorang terdakwa tidak dapat dijatuhi hukuman, kecuali dapat dibuktikan ia bersalah telah melakukan suatu tindak pidana sebagaimana yang telah didakwakan kepadanya sebelumnya. Penjatuhan pidana oleh hakim melalui dimensi hukum pembuktian ini secara umum berorientasi kepada ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menentukan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Terdakwa dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan itu dibarengi dengan keyakinan hakim, menurut M. Yahya Harahap, berdasarkan sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa, yaitu pertama, pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, dan kedua, keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Berdasarkan alat bukti yang sah, hakim memutus suatu perkara dengan menggunakan setidaknya dua alat bukti, dengan alat bukti itu memberi keyakinan bagi hakim bahwa terdakwa adalah orang yang bersalah telah melakukan seperti yang didakwakan penuntut umum. Adanya keyakinan hakim selain alat bukti yang sah, menunjukkan bahwa sistem pembuktian yang dianut KUHAP adalah sistem pembuktian negatif atau negatief wettelijk stelsel. Ada tiga bentuk sistem atau stelsel pembuktian dalam hukum acara pidana yang ditetapkan berbagai negara, yaitu:
  • Positief wettelijk stelsel, yaitu stelsel atau sistem yang menganut paham bahwa terbukti atau tidaknya seorang terdakwa telah bersalah melakukan suatu tindak pidana, hanya didasarkan pada alat bukti yang sah menurut undang-undang dan tidak diperlukan ada atau tidaknya keyakinan hakim
  • Negatief wettelijk stelsel, yaitu sistem atau stelsel yang menganut paham bahwa tercukupinya alat bukti yang sah menurut undang-undang, harus juga didasarkan pada adanya keyakinan hakim. Jadi, dalam hal ini alat bukti yang sah harus dapat menumbuhkan keyakinan hakim dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Namun, untuk menumbuhkan keyakinan hakim, hakim terikat kepada alat bukti yang sah yang ditentukan oleh undang-undang (dalam hal ini sesuai dengan ketentuan KUHAP, hakim terbatas hanya menggunakan alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP). Dengan demikian dalam stelsel negatif, alat bukti yang sah berbarengan dengan adanya keyakinan hakim untuk menyatakan kesalahan terdakwa atau dengan kata lain untuk menumbuhkan keyakinan hakim. Hakim hanya dapat menggunakan alat-alat bukti yang sah ditentukan oleh undang-undang, tetapi tidak dapat menggunakan alat bukti lain selain ditentukan oleh undnag- undang
  • Vrijstelsel atau stelsel bebas, yaitu sistem atau stelsel yang menganut paham bahwa alat bukti yang sah hanya merupakan sarana untuk memberi keyakinan hakim. Keyakinan hakim adalah merupakan dasar utama menyatakan kesalahan terdakwa. Untuk menumbuhkan keyakinan hakim, hakim secara bebas dapat juga menggunakan logika dan pengalaman yang dimilikinya, jadi hakim tidak terikat pada alat bukti yang sah yang ditentukan oleh undnag- undang (apabila KUHAP menentukan alat bukti terdiri dari keterangan saksi, surat, ahli, petunjuk, dan keterangan terdakwa, maka dalam stelsel bebas atau vrijstelsel, hakim dapat menambah alat bukti lain diluar alat bukti tersebut, misalnya foto-foto-, kliping pres, dan lain-lain). Stelsel ini akan menjadikan hakim bebas berbuat atau bertindak semena-mena dengan dalih atau alasan karena keyakinannya dan tentu saja hal ini dapat mengarah kepada kewenagan dalam menentukan ada tidaknya kesalahan terdakwa.
Putusan pengadilan haruslah dinyatakan terlebih dahulu kesalahan terdakwa sesuai kebenaran berdasarkan pembuktian atas setiap unsur tindak pidana dari pasal undang-undang yang didakwakan kepadanya, baru kemudian menyebutkan lamanya hukuman yang harus dijatuhi terdakwa. Untuk membutikan kesalahan (schuld) terdakwa diperlukan adanya alat bukti yang sah yang dengan alat bukti tersebut. Setiap unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa, setidaknya didukung dua alat bukti yang sah tersebut telah terpenuhi atau telah terbukti. Perintah untuk membuktikan setiap unsur dari pasal undang-undang yang didakwakan itu dapat diketahui dari pasal 197 ayat (1) huruf h KUHAP yang berbunyi: pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan.

Berdasarkan uraian di atas, bahwa praktik pembuktian dalam proses peradilan yang diterapkan di Indonesia lebih cenderung pada sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif, hal ini dikarenakan pada proses pemeriksaan di persidangan, hakim sering berpedoman pada alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Kemudian dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP disebutkan bahwa, ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seseorang.

Adanya ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut menunjukkan bahwa negara kita menganut sistem atau teori pembuktian secara negatif (negatief wettelijk stelsel), dimana hakm hanya menjatuhkan hukuman apabila sedikit-dikitnya 2 (dua) alat bukti yang telah ditentukan dalam kesalahan terdakwa. Walaupun alat-alat bukti lengkap, akan tetapi jika hakim tidak yakin tentang kesalahan terdakwa maka harus diputus bebas. Sedangkan yang dimaksud alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah:
  • Keterangan saksi
  • Keterangan ahli
  • Surat
  • Petunjuk
  • Keterangan terdakwa

Pembuktian memegang peranan yang sangat penting dalam proses pemeriksaan perkara di sidang pengadilan, karena dengan membuktikan akan dapat memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim dalam pemeriksaan suatu perkara agar dapat memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Sehingga dengan demikian, pembuktian secara yuridis artinya mengajukan fakta-fakta menurut hukum yang cukup untuk memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.

Pembuktian merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang yang dipergunakan oleh hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, sehingga dapat disimpulkan bahwa pembuktian dalam hukum acara pidana adalah pertama, ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mendapatkan kebenaran materiil baik hakim, penuntut umum, terdakwa, dan atau penasehat hukum semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang, kedua, majelis hakim dalam menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian selama pemeriksaan perkara dipersidangan dituntut bersikap cermat, seksama, dan teliti yang senantiasa berdasarkan serta mengutamakan alat bukti dan menghubungkannya dengan barang bukti, dan ketiga, dalam melakukan pemeriksaan hakim harus mematuhi segala ketentuan-ketentuan dan asas-asas yang terdapat dalam hukum acara yang berlaku dengan tanpa mengkaitkan perasaan dan pendapat hakim yang subjektif. Dengan demikian, tujuan pembuktian dalam hukum acara pidana yaitu guna mencari, mengejar, dan mendapatkan kebenaran yang hakiki.