Pemerasan dalam Fikih Jinayah

SUDUT HUKUM | Konsep jinayah berasal dari kata jana, yajni yang berarti kejahatan, pidana, kriminal. Jinayah adalah perbuatan yang diharamkan atau dilarang karena dapat menimbulkan kerugian atau kerusakan terhadap agama, jiwa, akal, dan harta benda. Adapun hukum pidana Islam atau jinayah adalah hukum pidana yang ada dalam lingkung hukum Islam, terjemahan dari konsep ‘uqubah, jarimah, dan jinayah.
Istilah pidana dalam kamus Umum Bahasa Indonesia berarti kejahatan atau kriminal, seperti pembunuhan, perampokan, korupsi, dan lainnya. Menurut Moeljanto, hukum pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan pidana yang berlaku di negara tertentu.
Dasar-dasar dan aturan tersebut bertujuan sebagai berikut:
  • Menentukan jenis-jenis perbuatan yang tidak boleh dilakukan, dilarang, disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi para pelanggar larangan tersebut.
  • Menentukan waktu dan bentuk yang telah dilanggar yang dapat dikenakan atau dijatuhui pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
  • Menentukan dengan cara pemindanaan yang dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Moeljanto menyatakan bahwa hukum pidana adalah hukum publik, yaitu yang mengatur hubungan antarnegara dan perseorangan atau mengatur kepentingan umum. Adapun perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, atau dikenal dengan istilah perbuatan pidana atau delik adalah tindakan kejahatan, misalnya pencurian, penggelapan, penganiayaan, dan lain-lain.
Hukum pidana Islam berasal dari konsep hukum Islam yang berhubungan dengan tindak kriminal. Istilah-istilah tersebut antara lain:
  1. ‘Uqubah, yang berarti hukuman atau siksa,5 sedangkan menurut terminologi hukum Islam, al-’uqubah adalah hukum pidana Islam yang meliputi hal-hal yang merugikan ataupun tindak kriminal.
  2. Jarimah, berasal dari akar kata jarama, yajrimu, jarimatan, yang berarti “berbuat” dan “memotong”. Kemudian, secara khusus dipergunakan terbatas pada “perbuatan dosa” atau “perbuatan yang dibenci”. Kata jarimah juga berasal dari kata ajrama yajrima yang berarti “melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran, keadilan, dan menyimpang dari jalan yang lurus”.

Secara etimologi, kata jinayah berasal dari kata jana yajni jinaayatan, yang berarti berbuat dosa. Istilah lain dari jarimah yang berarti segala larangan yang diancam Allah dengan sanksi hukum yang ditentukan (had) atau yang tidak ditentukan. Arti dari “segala larangan” dapat berupa perbuatan aktif melakukan tindakan yang diperintahkan. Hal ini menunjukan bahwa istilah jarimah yang mengandung pengertian tindakan yang dilarang dan diancam oleh hukum.

Dengan demikian, hubungan pemerasan dalam aturan Fikih Jinayah pada umumnya ada 3 pembagian Jarimah dan penerapan Hukumnya. Jarimah itu sebenarnya sangat banyak macam dan ragamnya. Akan tetapi, secara garis besar kita dapat membaginya dengan meninjaunya dari beberapa segi.

1) Jarimah Hudud

Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had. Penegrtian hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara’ dan menjadi hak Allah (hak masyarakat).Dengan demikian ciri khas jarimah hudud itu adalah sebagai berikut:
  • Hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukumannya telah ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas minimal dan maksimal.
  • Hukuman tersebut merupak hak Allah semata-mata, atau kalau ada hak manusia si samping hak Allah maka hak Allah yang lebih menonjol.
  • Dalam hubungannya dengan hukuman had maka penegrtian hak Allah di sini adalah bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan oleh perseorangan (orang yang menjadi korban atau keluarga) atau masyarakat yang diwakilkan oleh negara.

Jarimah hudud ini ada tujuh macam antara lain sebagai berikut:
  1. Jarimah zina
  2. Jarimah qazdaf
  3. Jarimah syurbul khamr
  4. Jarimah pencurian
  5. Jarimah hirabah
  6. Jarimah riddah
  7. Jarimah Al Baqyu (pemberontakan)

Dalam jarimah zina, syurbul khamar, hirabah, riddah, dan pemberontakan yang dilanggar adalah hak Allah semata-mata. Sedangkan dalam jarimah pencurian dan qazdaf (penuduhan zina) yang disinggung di samping hak Allah, juga terdapat hak manusia (individu), akan tetapi hak Allah lebih menonjol.

2) Jarimah qishash dan diat

Jarimah qishash dan diat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qishash dan diat. Baik qishash maupun diat keduanya adalah hukuman yang sudah ditentukan oleh syara’. Perbedaannya dengan hukuman had adalah bahwa had merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan qishash dan diat adalah hak manusia (individu).
Dalam hubungannya dengan hukuman qishash dan diat itu adalah:
  • Hukumannya sudah tertentu dan terbatas, dalam arti sudah ditentukan oleh syara’ dan tidak ada minimal atau maksimal;
  • Hukuman tersebut merupakan hak perseorangan (individu), dalam arti bahwa korban atau keluarganya berhak memberikan pengampunan terhadap pelaku.

3) Jarimah ta’zir

Jarimah ta’zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir. Pengertian ta’zir menurut bahasa ialah ya’dib atau memberi pelajaran. Ta’zir juga diartikan Ar Rad wa Al Man’u, artinya menolak dan mencegah.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa hukuman ta’zir itu adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’, melainkan diserahkan kepada ulil amri, baik penentuannya maupun pelaksanaannya. Dalam menentukan hukuman tersebut, penguasa hanya menetapkan hukum secara global saja. Artinya pembuat undang-undang tidak menentapkan hukuman masing-masing jarimah ta’zir, melainkan hanya menetapkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya.

Dengan demikian ciri khas dari jarimah ta’zir itu adalah sebagai berikut:
  • Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas. Artinya hukuman tersebut belum ditentukan oleh syara’ dan ada batas minimal dan ada batas maksimal.
  • Penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa.

Berbeda dengan jarimah hudud dan qishash maka jarimah ta’zir tidak ditentukan banyaknya. Hal ini oleh karena yang termasuk jarimah ta’zir ini adalah setiap perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hudud had dan qishash, yang jumlahnya sangat banyak.

Tujuan diberikannya hak penentuan jarimah-jarimah ta’zir dan hukumnya kepada penguasa adalah agar mereka dapat mengatur masyarakat dan memelihara kepentingan-kepentingan, serta bisa menghadapi dengan sebaik-baiknya setiap keadaan yang bersifat mendadak.

Jarimah ta’zir di samping ada yang diserahkan penentuannya sepenuhnya kepada ulil amri, juga ada yang memang sudah ditetapkan syara’, seperti riba yang sebenarnya sudah ditetapkan syara’ (hudud) akan tetapi syarat-syarat untuk dilaksanakannya hukuman tersebut belum dipenuhi. Misalnya, pencurian yang tidak sampai selesai atau barang yang dicuri kurang dari nishab pencurian, yaitu seperempat dinar.