Penyalahgunaan Posisi Dominan

SUDUT HUKUM | Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar yang bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya dipasar yang bersangkutan dalam kaiatan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk meyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.

Secara Umum

Mengenai posisi dominan yang bersifat umum ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 25 Ayat (1) dan (2). Selengkapnya Pasal ini berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25 Ayat (1):
(1) Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk:

a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau

b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau

c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.


Pasal 25 Ayat (2):

(2) Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila:

a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau

b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.


Jabatan rangkap

Ketentuan larangan merangkap jabatan direksi atau komisaris pada suatu perusahaan diatur dalam pasal 26 UU No. 5 Tahun 1999. ketentuan dalam Pasal 26 UU No. 5 Tahun 1999 tersebut menyatakan sebagai berikut:

Seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan-perusahaan tersebut:

a. berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau

b. memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha; atau

c. secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu,yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persainganusaha tidak sehat”.


Prinsip ketentuan Pasal 26 UU No. 5 Tahun 1999 ini tidak melarang mutlak jabatan rangkap. Jabatan rangkap baru dilarang apabila akibat jabatan rangkap tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat oleh karena itu sebaiknya dalam menilai adanya jabatan rangkap sebagimana diatur dalam Pasal 26 UU No. 5 Tahun 1999 ini digunakan pendekatan rule of reason.

Kepemilikan Saham

Larangan posisi dominan karena pemilikan saham ini diatur dalamPasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang selengkapnya menyatakan bahwa:

Pasal 27 Ayat (1):
Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan:

a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu;

b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu”.


Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan

ketentuan yang melarang perbuatan tersebut adalah Pasal 28 dan Pasal 29 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang selengkapnya berbunyi :

Pasal 28 Ayat (1) dan (2):

(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

(2) Pelaku usaha dilarang melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain apabila tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan badan usaha yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ketentuan mengenai pengambilalihan saham perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Pasal 29 Ayat (1) dan (2):

(1) Penggabungan atau peleburan badan usaha, atau pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 yang berakibat nilai aset dan atau nilai pejualannya melebihi jumlah tertentu, wajib diberitahukan kepada Komisi, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan tersebut.

(2) Ketentuan tentang penetapan nilai aset dan atau nilai penjualan serta tata cara pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.