Perkawinan Sirri

SUDUT HUKUM | Istilah kawin sirri, sebenarnya bukan masalah baru dalam masyarakat islam, sebab kitab Al-Muwatha’, mencatat bahwa istilah kawin sirri berasal dari ucapan Umar bin Khattab r.a ketika diberitahu bahwa telah terjadi perkawinan yang tidak dihadiri oleh saksi kecuali oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka dia berkata yang artinya “Ini nikah sirri dan aku tidak memperbolehkannya, dan sekiranya aku datang pasti aku rajam”.


Secara bahasa iatilah “sirri” berasal dari Kata sirri (bahasa Arab), sirra, israr, berarti rahasia atau diam-diam. Berdasar arti harfiah tersebut kawin sirri dapat dijabarkan sebagai proses ikatan suami istri yang dilakukan secara diam-diam atau rahasia yang tidak diketahui oleh orang lain selain orang-orang yang menyaksikan perkawinan tersebut.

Perkawinan Sirri


Istilah kawin sirri, sebenarnya bukan masalah baru dalam masyarakat islam, sebab kitab Al-Muwatha’, mencatat bahwa istilah kawin sirri berasal dari ucapan Umar bin Khattab r.a ketika diberitahu bahwa telah terjadi perkawinan yang tidak dihadiri oleh saksi kecuali oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka dia berkata yang artinya “Ini nikah sirri dan aku tidak memperbolehkannya, dan sekiranya aku datang pasti aku rajam”.


Dalam konteks fiqh, nikah sirri didefinisikan sebagai nikah yang dirahasiakan dan hanya diketahui oleh pihak yang terkait dengan akad. Pada akad ini dua saksi, wali dan kedua mempelai diminta untuk merahasiakan pernikahan itu, dan tidak seorangpun dari mereka diperbolehkan menceritakan akad tersebut kepada orang lain. Jadi dalam definisi ini, kawin sirri cenderung menunjukkan pada makna tersembunyinya status perkawinan seseorang dari masyarakat banyak.


Ibnu Taimiyyah mendefinisikan kawin sirri sebagai perkawinan yang mana laki-laki menikahi perempuan tanpa wali dan saksi-saksi, serta merahasiakan pernikahannya.56 Pendapat tersebut juga dinyatakan oleh Gus Mus (Mustofa Bisri) sebagaimana dikutip oleh Nawar yang menjelaskan tentang kawin sirridalam dua lingkup. Pertama, berarti perkawinan diam-diam tanpa saksi dan ini menurut kesepakatan ahlul ilmi dari kalangan sahabat nabi dan tabi’in jelas tidak sah. Kedua, kawin siri/nikah siri dengan memenuhi ketentuan hukum agama (islam) di mana ada wali, maskawin dan dua orang saksi. Kawin siri dalam konteks sudah memenuhi sarat ketentuan agama ini sudah sah. Kawin siri seperti ini juga sah menurut undang-undang perkawinan no 1 tahun 1974 yang menyatakan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.


Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa perkawinan sirri memiliki makna perkawinan yang:

  • tanpa kejelasan kehadiran saksi dan wali
  • tanpa keinginan diketahui oleh masyarakat banyak
  • dalam konteks perundang-undangan di Indonesia, perkawinan sirri dimaknai sebagai perkawinan yang sah menurut agama namun tidak tercatat dalam administrasi negara.

Penyebab kawin sirri

Ada beberapa penyebab yang dapat menimbulkan perkawinan sirri. Menurut Syarnubi, ada empat sebab adanya perkawinan sirri, yakni:

  • Karena sudah bertunangan
Untuk menunggu waktu perkawinan yang sah menurut undang-undang dan untuk menghindari dari perzinaan, maka tidak jarang pasangan yang sudah bertunangan memilih untuk melakukan perkawinan sirri terlebih dahulu setelah pertunangan. Perkawinan sirri tersebut kemudian akan dilegalkan dalam perkawinan yang sah pada waktu yang telah disepakati.

  • Untuk menghemat ongkos dan menghindari prosedur administratif yang dianggap berbelit-belit
Prosedur perkawinan sah yang seringkali dianggap sulit dan berbelit-belit tidak jarang menyebabkan masyarakat enggan untuk mengurus dan kawin dalam prosedur perundang-undangan. Kemudahan dan kesederhanaan proses dalam kawinsirri dengan tidak mengurangi legalitas agama terhadap status perkawinan banyak menyebabkan masyarakat lebih memilih kawin sirri daripada kawin melalui prosedur perundang-undangan.

  • Calon istri terlanjur hamil di luar nikah
Untuk menutupi malu akibat keadaan tersebut, masyarakat lebih memilih kawin sirri. Sebab jika dilakukan perkawinan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, maka perkawinan untuk keadaan seperti itu adalah termasuk perkawinan wanita hamil. Terlebih lagi dengan kawin sirri, keadaan wanita yang hamil akan sedikit tertutupi karena perkawinan sirri akan dapat diakui kapan saja karena tidak ada detail waktu perkawinan dalam bentuk catatan.

  • Untuk menghindari tuntutan hukum dari pihak istri
Umumnya hal ini dilakukan pada perkawinan yang kedua atau berikutnya. Sehingga dengan adanya perkawinan sirri, suami tidak akan khawatir jika pada suatu hari terjadi permasalahan dalam rumah tangganya. Sebab dalam perkawinan sirri, permasalahan yang terjadi dalam rumah tangga tidak dapat diproses secara hukum.


Sementara itu, Syahfekran menyebutkan bahwa sebab-sebab terjadinya perkawinan sirri adalah sebagai berikut:

  • Image yang buruk terhadap poligami dan UU yang mengikat
Selama ini poligami menjadi salah satu polemik yang banyak menjadi bahan perbincangan di kalangan masyarakat; mulai dari konteks sosial hingga kajian hukum dan dampaknya. Untuk menghindari hal tersebut, maka tidak sedikit masyarakat yang lebih memilih untuk melaksanakan perkawinan sirri pada perkawinan kedua atau berikutnya. Sebab dengan perkawinan sirri, masyarakat sedikit yang tahu perihal tentang perkawinan kedua atau berikutnya sehingga berpeluang untuk menghindari image (imej) negatif dari orang lain.

  • Tingginya biaya pernikahan
Murah dan mudahnya prosedur perkawinan sirri membuat masyarakat lebih memilih untuk melakukan perkawinan sirri daripada perkawinan yang sah menurut perundang-undangan.

  • Dominasi orang tua
Dominasi orang tua kepada anak tidak jarang menjadikan anak sebagai obyek keinginan orang tua. Umumnya, dominasi orang tua dalam perkawinan sirri identik dengan keuntungan-keuntungan yang ingin diperoleh orang tua dari perkawinan sirri anaknya.

  • Pudarnya keharmonisan rumah tangga
Akibat dari pudarnya keharmonisan rumah tangga kadang membuat pihak suami mencari pasangan baru. Namun untuk menjaga keutuhan rumah tangganya maka suami lebih memilih mencari perempuan lain dan mengawininya secara sirri. Dengan demikian, hubungan yang terjalin antara suami dengan perempuan barunya tersebut dapat terjalin tanpa diketahui oleh istri yang sah.


Dampak Kawin Sirri

Menurut Syarnubi Som, dalam tulisannya yang berjudul “Nikah Sirri Merugikan Perempuan Menguntungkan Laki-Laki” dampak perkawinan sirri dapat mengena kepada tiga elemen dasar keluarga yakni ayah (suami), ibu (istri), dan anak. Dampak tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

  • Terhadap istri (ibu)
Secara hukum perempuan yang dinikah sirri tidak dianggap sebagai isteri yang sah. Dengan kata lain perkawinan itu dianggap tidak sah. Karena itu isteri sirri tidak berhak atas nafkah dan harta warisan suami jika suami meninggal dunia. Isteri sirri tidak berhak atas harta gono gini jika terjadi perceraian. Isteri sirri tidak berhak mendapat tunjangan istri dan tunjangan pensiun dari suami, karena namanya tidak tercatat di kantor suami.

Sedangkan secara sosial, isteri sirri akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan bawah tangan sering dianggap masyarakat tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan (alias kumpul kebo) malahan banyak yang dianggap sebagai istri simpanan. Akibatnya akan mengurangi hak-hak sipil mereka sebagai warga negara. Mereka rentan untuk dipermainkan oleh laki-laki yang tidak bertanggung jawab karena mereka tidak memiliki kekuatan hukum untuk menggugat, mudah ditelantarkan, tidak diberi nafkah dengan cukup dan tidak ada kepastian status dari suami, karena nikah sirri tidak diakui oleh hukum.

  • Terhadap anak
Secara hukum, anak-anak yang berasal dari perkawinan yang tidak dicatatkan, kelahirannya tidak dicatatkan pula secara hukum. Jika kelahiran anak tidak dapat dicatatkan secara hukum, berarti melanggar hak asasi anak (Konvensi Hak Anak). Anak-anak tersebut berstatus sebagai anak diluar perkawinan, yang berstatus sebagai anak tidak sah dan tidak memiliki hubungan perdata dengan ayahnya. Anak tersebut hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya (Pasal 42 dan 43 Undang Undang Perkawinan dan pasal 100 Kompilasi Hukum Islam).


Akibat tidak memiliki akta kelahiran, sulit baginya untuk mendaftar di sekolah negeri. Kalaupun akte kelahirannya diterbitkan, yang dicantumkan sebagai orangtuanya adalah nama ibu yang melahirkannya. Tidak tercantumnya nama ayahnya pada akte kelahiran anak, akan memberi dampak yang sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya. Karena status anak bukan anak yang sah menurut hukum, anak-anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, termasuk nafkah dan warisan dari ayahnya.

Anak-anak juga sangat rentan dengan kekerasan. Mereka kurang memperoleh kasih sayang yang utuh dari ayah dan ibunya, karena hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut bukan anak kandungnya. Akibatnya, anak jadi terlantar dan tidak dapat bertumbuh dengan baik. Alhasil, anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan sirri dapat dikatakan sebagai seorang anak yang tidak mempunyai ayah.
  • Terhadap suami (ayah)
Seorang suami yang nikah sirri justru memperoleh keuntungan, bukannya merugi. Suami bebas untuk menikah lagi, karena perkawinan sebelumnya sebagai perkawinan dibawah tangan, dianggap tidak sah dimata hukum. Disisi lain, suami bisa berkelit dan menghindar dari kewajiban untuk memberi nafkah kepada istri maupun dan anak-anaknya. Suami juga tidak berkewajiban secara hukum untuk membagi harta gono gini, nafkah, harta warisan dan sebagainya.


Jika ditelusuri, kerugian terbesar akibat perkawinan sirri dialami oleh pihak istri dan anak. Paling tidak ada enam kerugian yang diderita oleh istri dan anak dalam perkawinan sirri. Kerugian-kerugian tersebut adalah:

  1. Isteri tidak bisa menggugat suami, apabila ditinggalkan oleh suami.
  2. Penyelesaian kasus gugatan nikah sirri, hanya bisa diselesaikan melalui hukum adapt dan tidak dapat dilakukan melalui jalur hukum formil kenegaraan.
  3. Pernikahan sirri tidak termasuk perjanjian yang kuat (mitsaqan ghalidha) karena tidak tercatat secara hukum.
  4. Apabila memiliki anak, maka anak tersebut tidak memiliki status, seperti akta kelahiran. Karena untuk memperoleh akte kelahiran, disyaratkan adanya akta nikah.
  5. Isteri tidak memperoleh tunjangan apabila suami meninggal, seperti tunjangan jasa raharja.
  6. Apabila suami sebagai pegawai, maka isteri tidak memperoleh tunjangan perkawinan dan tunjangan pensiun suami.
Berdasarkan penjelasan mengenai dampak-dampak dari perkawinan sirri di atas, maka dapat diketahui bahwasanya perkawinan sirri mengandung akibat yang tidak baik bagi istri dan anak dalam lingkup sosiologis dan hukum.


Jenis Kawin Sirri dan Pendapat Ulama terhadapnya

Berdasarkan definisi perkawinan sirri, maka secara tidak langsung dapat diketahui klasifikasi dari perkawinan sirri itu sendiri. Klasifikasi perkawainan sirri dapat dijelaskan sebagai berikut:

  • Perkawinan yang tidak terpenuhi jumlah wali dan ataupun saksinya
Seperti telah dijelaskan di atas, sejarah perkawinan sirri terjadi pada masa Umar bin Khattab. Ulama-ulama besar sesudahnya pun seperti Abu Hanifah, Malik, dan Syafi’i berpendapat bahwa nikah sirri itu tidak boleh dan jika itu terjadi harus difasakh (batal). Hal ini karena untuk mencapai tujuan pernikahan itu, diperlukan persyaratan khusus yang harus dipenuhi sebagaimana yang telah disyari’atkan oleh Islam. Pernikahan dianggap sah misalnya, jika dalam pernikahan itu melibatkan wali dan dua orang saksi. Kedudukan wali dalam pernikahan sangat urgen, agar perempuan yang hendak menikah mendapat kontrol positif dari pihak keluarga yang secara simbolikoperasional diwakili oleh wali pihak perempuan.

Dalam konteks masyarakat Arab saat itu, fungsi wali sangat penting agar perempuan yang hendak menikah mendapat pertimbangan yang matang menyangkut siapa calon suaminya. Wali sebelum menikahkan perempuan yang berada dalam perwaliannya secara otomatis akan melakukan penelusuran atas asal-usul dan latar belakang laki-laki yang akan menjadi calon suami perempuan itu. Dan secara timbal balik, wali punya kewajiban pula untuk meminta persetujuan perempuan yang akan dinikahkan.

  • Perkawinan yang tidak dikabarkan (diumumkan)
Apabila saksi telah terpenuhi tapi para saksi dipesan oleh wali nikah untuk merahasiakan perkawinan yang mereka saksikan, ulama besar berbeda pendapat. Imam Malik memandang perkawinan itu pernikahan sirri dan harus difasakh, karena yang menjadi syarat mutlak sahnya perkawinan adalah pengumuman (I’lan). Keberadaan saksi hanya pelengkap. Maka perkawinan yang ada saksi tetapi tidak ada pengumuman adalah perkawinan yang tidak memenuhi syarat.

Namun Abu Hanifah, Syafi’i, dan Ibnu Mundzir berpendapat bahwa nikah semacam itu adalah sah.Abu Hanifah dan Syafi’i menilai nikah semacam itu bukanlah nikah sirri karena fungsi saksi itu sendiri adalah pengumuman (I’lan). Karena itu kalau sudah disaksikan tidak perlu lagi ada pengumuman khusus. Kehadiran saksi pada waktu melakukan aqad nikah sudah cukup mewakili pengumuman, bahkan meskipun minta dirahasiakan, sebab menurutnya tidak ada lagi rahasia kalau sudah ada empat orang. Dengan demikian dapat ditarik pengertian bahwa kawin sirri itu berkaitan dengan fungsi saksi. Ulama sepakat bahwa fungsi saksi adalah pengumuman (I’lan wa syuhr) kepada masyarakat tentang adanya perkawinan.

  • Perkawinan yang tidak tercatat dalam catatan administrasi kenegaraan
Perkawinan sirri jenis ini merupakan konsekuensi hukum dari keberadaan perundang-undangan di Indonesia. Menurut jumhur ulama Indonesia, perkawinan jenis ini sah menurut agama namun tidak memiliki kekuatan hukum dalam lingkup perundang-undangan kenegaraan sebagai konsekuensi dari tidak terdaftarnya perkawinan tersebut.