Pidana Bersyarat dan Pengaturannya

SUDUT HUKUM | Pidana adalah pemberian sanksi kepada setiap orang yang melangar hukum pidana, salah satu tujuan pemberian pidana adalah untuk memperbaiki prilaku sipelangar hukum pidana tersebut. Sejalan dengan hal tersebut, pidana dengan bersyarat yang dalam praktik hukum sering juga disebut dengan pidana percobaan, adalah suatu sistem/model penjatuhan pidana oleh hakim yang pelaksanaanya digantungkan pada syarat-syarat tertentu, artinya pidana yang dijatuhkan oleh hakim itu ditetapkan tidak perlu dijalankan pada terpidana selama syarat yang ditentukan tidak dilanggarnya, dan pidana dapat dijalankan apabila syarat-syarat yang ditetapkan itu tidak ditaatinya atau dilanggarnya.

Menurut Muladi, pidana bersyarat adalah suatu pidana dalam hal mana si terpidana tidak usah menjalani pidana tersebut, kecuali bila mana dalam masa percobaan terpidana telah melanggar syarat-syarat umum atau khusus yang telah ditentukan oleh pengadilan. Dalam hal ini pengadilan yang mengadili perkara tersebut mempunyai wewenang untuk melakukan perubahanperubahan syarat- syarat yang telah ditentukan atau memerintahkan agar pidana dijalani. Pidana bersyarat ini merupakan penundaan terhadap pelaksanaan pidana.

Penjatuhan pidana bersyarat diatur dalam Pasal 14 a–14 f KUHP, dalam Pasal 14a KUHP ditentukan bahwa hakim dapat menetapkan pidana dengan bersyarat dalam putusan pemidanaan, apabila:
  • Hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun;
  • Hakim menjatuhkan pidana kurungan (bukan kurungan penggganti denda maupun kurungan penggganti perampasan barang);
  • Hakim menjatuhkan pidana denda, dengan ketentuan ialah :

  1. Apabila benar-benar ternyata pembayaran denda atau perampasan barang yang ditetapkan dalam keputusan itu menimbulkan keberatan yang sangat bagi terpidana, dan
  2. Apabila pelaku tindak pidana yang dijatuhi denda bersyarat itu bukan berupa pelanggaran yang berhubungan dengan pendapatan negara.


Penjatuhan pidana bersyarat terdapat syarat-syarat yang ditetapkan dalam putusan hakim yang harus ditaati oleh terpidana untuk dapatnya ia dibebaskan dari pelaksanaan pidananya itu. Syarat-syarat itu dibedakan antara syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum bersifat imperaktif, artinya bila hakim menjatuhkan pidana dengan bersyarat, dalam putusanya itu harus ditetapkan syarat umum, sedangkan syarat bersifat fakultatif (tidak menjadi keharusan untuk ditetapkan). Dalam syarat umum harus ditetapkan oleh hakim bahwa dalam tenggang waktu tertentu (masa percobaan) terpidana itu tidak boleh melakukan tindak pidana (Pasal 14c Ayat (1) KUHP). Dalam syarat umum ini tampak benar sifat mendidik dalam putusan pidana dengan bersyarat, dan tidak tampak lagi rasa pembalasan sebagaina dianut oleh teori pembalasan.

Menurut Muladi, penerapan pidana bersyarakat harus diarahkan pada manfaat- manfaat sebagai berikut:
  • Pidana bersyarat tersebut di satu pihak harus dapat meningkatkan kebebasan individu, dan di lain pihak mempertahankan tertib hukum serta memberikan perlindungan pada masyarakat secara efektif terhadap pelanggaran hukum lebih lanjut.
  • Pidana bersyarat harus dapat meningkatkan prestasi masyarakat terhadap falsafah rehabilitasi dengan cara memelihara kesinambungan hubungan antara narapidana dan masyarakat secara normal.
  • Pidana bersyarakat berusaha menghindarkan dan melemahkan akibat-akibat negatif dari pidana perampasan kemerdekaan yang sering kali menghambat usaha pemasyarakatan kembali narapidana kedalam masyarakat.
  • Pidana bersyarat mengurangi biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk membiayai sistem koreksi yang berdayaguna.
  • Pidana bersyarat diharapkan dapat membatasi kerugian-kerugian dari penerapan pidana pencabutan kemerdekaan, khususnya terhadap mereka yang hidupnya tergantung kepada si pelaku tindak pidana.
  • Pidana bersyarat diharapkan dapat memenuhi tujuan pemidanaan yang bersifat integratif, dalam fungsinya sebagai sarana pencegahan (umum dan khusus), perlindungan masyarakat, memelihara solidaritas masyarakat dan pengimbangan.


Dasar pemberian pidana bersyarat diatur dalam ketentuan sebagai berikut : Pasal 14 a KUHP, menentukan bahwa:

(1) Apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusnya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudianhari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena si terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut diatas habis, atau karena si terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan lain dalam perintah itu.

(2) Hakim juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali dalam perkara- perkara yang mangenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan pidana denda, tetapi harus ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan yang mungkin diperintahkan pula akan sangat memberatkan si terpidana . Dalam menerapkan ayat ini, kejahatan dan pelanggaran candu hanya dianggap sebagai perkara mengenai penghasilan negara, jika terhadap kejahatan dan pelanggaran itu ditentukan bahwa dalam hal dijatuhkan pidana denda, tidak diterapkan ketentuan Pasal 30 Ayat (2)

(3) Jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai pidana pokok juga mengenai pidana pokok juga mengenai pidana tambahan.

(4) Perintah tidak diberikan, kecuali hakim setelah menyelidiki dengan cermat berkeyakinan bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat umum, bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, dan syarat-syarat khusus jika sekiranya ditetapkan.

(5) Perintah tersebut dalam Ayat (1) harus disertai hal-hal atau keadaan- keadaan yang menjadi alasan perintah itu.


Pasal 14 b KUHP, menentukan bahwa:

(1) Masa percobaan bagi kejahatan dan pelanggaran dalam pasal-pasal 492, 504, 505, 506, dan 536 paling lama tiga tahun dan bagi pelanggaran lainnya paling lama dua tahun.

(2) Masa percobaan dimulai pada saat putusan telah menjadi tetap dan telah diberitahukan kepada terpidana menurut cara yang ditentukan dalam undang-undang.

(3) Masa percobaan tidak dihitung selama terpidana ditahan secara sah.


Pasal 14 c KUHP, menentukan bahwa:

(1) Dengan perintah yang dimaksud Pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan pidana denda, selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana tindak pidana , hakim dapat menerapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tadi.

(2) Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara lebih dari tiga bulan atau pidana kurungan atas salah satu pelanggaran berdasarkan pasal-pasal 492, 504, 505, 506, dan 536, maka boleh diterapkan syarat-syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi selama masa percobaan atau selama sebagian dari masa percobaan.

(3) Syarat-syarat tersebut diatas tidak boleh mengurangi kemerdekaan beragama atau kemerdekaan berpolitik terpidana.


Pasal 14 d KUHP, menentukan bahwa :

(1) Yang diserahi mengawasi supaya syarat-syarat dipenuhi, ialah pejabat yang berwenang menyuruh menjalankan putusan, jika kemidian ada perintah untuk menjalankan putusan.

(2) Jika ada alasan, hakim dapat memberikan perintah boleh mewajibkan lembaga yang berbentuk badan hukum dan berkedudukan di Indonesia, atau kepada pemimpin suatu rumah penampungan yang berkedudukan di situ, atau kepada pejabat tertentu, supaya memberi pertolongan atau bantuan kepada terpidana dalam memenuhi syarat-syarat khusus.

(3) Aturan-aturan lebih lanjut mengenai pengawasan dan bantuan tadi serta mengenai penunjukan lembaga dan pemimpin rumah penampungan yang dapat diserahi dengan bantuan itu, diatur dengan undang-undang.


Pasal 14 e KUHP, menentukan bahwa:

Atas usul pejabat dalam pasal Ayat (1), atau atas permintaan terpidana, hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama, selama masa percobaan, dapat mengubah syarat-syarat khusus dalam masa percobaan. Hakim juga boleh memerintahkan orang lain daripada orang yang diperintahkan semula, supaya memberi bantuan kepada terpidana dan juga boleh memperpanjang masa percobaan satu kali, paling banyak dengan separuh dari waktu yang paling lama dapat diterapkan untuk masa percobaan.


Pasal 14 f KUHP, menentukan bahwa:

(1) Tanpa mengurangi ketentuan pasal diatas, maka ats usul pejabat tersebut dalam Pasal 14d Ayat (1), hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama dapat memerintahkan supaya pidananya dijalankan, atau memerintahkan supaya atas namanya diberi peringatan pada terpidana, yaitu jika terpidana selama masa percobaan melakukan tindak pidana dan karenanya ada pemidanaan yang menjadi tetap, atau jika salah satu syarat lainnya tidak dipenuhi, ataupun jika terpidana sebelum masa percobaan habis dijatuhi pemidanaan yang menjadi tetap, karena melakukan tindak pidana selama masa percobaan mulai berlaku. Ketika memberi peringatan, hakim harus menentukan juga cara bagaimana memberika peringatan itu.

(2) Setelah masa percobaan habis, perintah supaya pidana dijalankan tidak dapat diberikan lagi, kecuali jika sebelum masa percobaan habis, terpidana dituntut karena melakukan tindak pidana di dalam masa percobaan dan penuntutan itu kemudian berakhir dengan pemidanan yang menjadi tetap. Dalam hal itu, dalam waktu dua bulan setelah pemidanaan menjadi tetap, hakim masih boleh memerintahkan supaya pidananya dijalankan, karena melakukan tindak pidana tadi.