Post-Modern Rasa Yunani Kuno

SUDUT HUKUM | Cerita seorang mahasiswa kepada saya dimana ia mendengar seorang dosennya mengatakan “Ahok bukan kafir” semakin menambah keyakinkan saya bahwa saat ini kita telah berada di fase Post-Modern dengan rasa Yunani Kuno.

Ya, fase post (pasca) modern, tapi orang-orang yang hidup di fase ini semakin akut dilanda kebingungan, persis di era Yunani Kuno.

Di era Yunani Kuno, masyarakatnya diterpa kegalauan dan kebodohan untuk bagaimana mendefenisikan sebuah kebenaran.

Tidak adanya panduan dalam berfikir (tidak ada teks suci), membuat masyarakat Yunani Kuno bingung dalam memahami suatu masalah dan jalan keluarnya sehingga dilanda kekacauan — sampai kemudian Socrates menyusun kerangka “definisi” untuk menjadi pegangan dan kerangka definisi dan logika berfikir masyarakatnya pada saat itu.

Saat ini, di era post-modern, rupanya banyak juga yang galau untuk sekedar memahami definisi tentang apa yg disebut kafir.

Kenapa ini bisa terjadi? Satu-satunya jawaban logis adalah karena panduan dari teks suci sudah tidak dipakai lagi.

Padahal, teks suci (Alquran) justru diturunkan untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan ke alam yang terang benderang.

Teks suci, padahal berfungsi untuk mencegah kebingungan, kegalauan dan kebodohan yg merupakan ciri-ciri masyarakat jahiliyah.

Itu sebab, Alquran mengingatkan kita, “Kalau kalian berselisih dalam suatu perkara, maka kembalilah (meruju’) kepada Allah (Alquran) dan RasulNya (hadis).

Dengan Alquran, yang jika betul kita jadikan sebagai pegangan, seharusnya kita tidak perlu galau, tidak akan bungung dalam berfikir.

Alquran ini jelas berfungsi untuk mengeluarkan kita dari kegelapan menuju cahaya.

Untuk merespon berbagai fenomena terkini masyarakat post-modern, apalagi yg berkaitan dg teologi, kenapa kita tidak merujuk saja pada tafsir-tafsir para ulama yg merupakan interpretasi dari Alquran? Why?

Socrates (yang sangat jauh dari masa kedatangan Islam) wajar berupaya menyusun kerangka sebuah definisi, sebab mmg masyarakatnya pada saat itu tidak punya panduan dalam berfikir, tidak punya teks suci, sebagaimana halnya kita umat Islam. Sementara kita, umat Islam sudah memiliki panduan.

Jadi, sangat lucu saat seorang muslim melepaskan diri dari keharusan berpedoman pada teks suci dalam memahami suatu masalah.

Sejatinya, berbagai isu teologis yang didiskusikan masyarakat post-modern telah ada jawabannya dalam Alquran via kitab-kitab tafsir yang disusun para ulama.

Tapi kenapakah kita justru malas merujuk pada panduan suci kita?

Padahal, bukankah Rasul kita telah secara jelas mengingatkan, “Aku tinggalkan kepada kalian perkara yg jk kalian berpegang teguh kepada keduanya maka kalian tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah RasulNya”.

Dalam kondisi seperti ini, saya jadi nyambung setelah terbawa pada bacaan dan ingatan saya tentang filsafat Dekonstruksi Teks-nya Jecquis Derrida yang berkembang di Barat, sebuah filsafat yang mendekontruksi teks-teks suci.

Sangat banyak pelajar muslim yang terpengaruh dengan filsafat ini. Sebenarnya wajar saja para filsuf Barat menyeru pada Dekonstruksi Teks, karena memang sejarah masa lalu mereka yang dipenuhi hubungan yang kelam antara filsuf dan pihak gereja.

Tapi lucunya filsafat ini justru dibawa alumnus Islamic Studies (alumnus studi islam di Barat) ke dunia Islam, wal hasil kebingungan mereka semakin menjadi-jadi, yang diperparah dengan membuat orang lain bingung.

Bukankah sangat galau jika hanya untuk memahami terminologi kafir saja tidak bisa? Sebenarnya, inilah pentingnya nasehat Teungku di dayah dulu, “Perkuat Aqidah dulu sebelum segala sesuatu!”.

Oleh:

Teuku Zulkhairi

/*Teuku Zulkhairi,
Kuta Alam, 9 Maret 2017