Sanksi Tindak Pidana Pemerasan dalam Hukum Islam

SUDUT HUKUM | Dari uraian yang sudah dipaparkan diatas, bisa diketahui bahwa kalau dilihat dari perspektif hukum pidana Islam, tindak pidana pemerasan mempunyai penjabaran, sebagai berikut.
Masalah penipuan di website, kasus pemerasan melalui e-mail, pencemaran nama baik dengan menggunakan media internet seperti e-mail, mailing, list, penyebaran pornografi di website, penyebaran foto atau film pribadi yang vulgar di internet, kasus deface atau hacking yang membuat sistem milik orang lain tidak berfungsi. Dalam kasus ini bisa dikatagorikan pada jarimah ta’zir.

Dari berbagai paparatn di atas, maka dapat dipahami bahwa kejahatan apa pun bentuknya, baik konvensional maupun kejahatan yang dilakukan melalui internet atau cybercrime tidak akan lepas dari hukuman, oleh karena mengganggu ketertiban umum yang sangat diperlihara oleh Islam. Seiring dengan itu di dalam hukum positif dikenal dengan adagium “setiap kejahatan tidak boleh dibiarkan berlalu tanpa hukuman” (aut punere aut de dere, nullum crimen sine poena).
Cybercrime dalam hal ini pemerasan sudah masuk dalam ranah jarimah ta’zir bukan termasuk jarimah qishash dan hudud. Sebab bisa dipastikan bahwa di zaman Rasulullah belum ditemukan teknologi computer dan internet seperti zaman ini. Maka dari itu tidak ada satu ayat atau hadis pun yang menyebutkan secara eksplisit kejahatan dunia maya seperti yang ada di zaman sekarang ini.
Berdasarkan hak yang dilanggar oleh pelaku, Imam Muhammad Abu Zahra membagi hukuman ta’zir menjadi dua, yaitu ta’zir yang berkaitan dengan hak Allah dan sanksi ta’zir yang berkaitan dengan pelanggaran hak manusia.
Selanjutnya ia memberikan contoh beberapa pelanggaran yang berkaitan dengan hak Allah dan pelakunya harus dihukum ta’zir, diantaranya perbuatan bid’ah, pelecehan terhadap Nabi Muhammad, perdangangan manusia, berbisnis narkoba, manipulasi, riba, dan kesaksian palsu. Adapun beberapa contoh pelanggaran yang berkaitan dengan hak manusia terutama pada kasus pemerasan. Disamping adanya pengembalian nama baik yang dilakukan pelaku karena memfitnah korban, masih terdapat sanksi lagi berupa ta’zir memelihara hak manusia.
Ibnu Aqil berpendapat bahwa pemfitnah termasuk pemerasan maupun perampokan muslim yang mengganggu orang lain boleh dihukum ta’zir. Pendapat ini sama dengan pendapat yang menyatakan bahwa pelaku bid’ah atau orang-orang yang selalu berbuat kerusakan juga boleh dihukumi ta’zir sesuai dengan keputusan hakim.
Hal ini disesuaikan dengan Hadist berikut:

Dari Ziyad bin Alaqa berkata, “Saya mendengar Arfajah berkata saya mendengar Rasulullah bersabda,’Akan terjadi fitnah dan bid’ah. Barangsiapa bermaksud memecah persatuan umat ini, padahal mereka dalam persatuan, maka hukumlah orang tersebut dengan pedang(HR.Muslim)

Ta’zir dapat terjadi pada setiap jarimah yang tidak masuk dalam cangkupan had dan kafarah, baik menyangkut pelanggran terhadap hak Allah. Serta ta’zir juga dapat berlaku pada pelanggaran hak manusia, melakukan tidak senonoh, mencuri, berkhianat, suap, mencaci, menfitnah atau pemerasan dengan lafat qadzaf.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa hukuman ta’zir sebagai tindakan untuk menghukum beberapa jenis kejahatan tertentu boleh ditentukan terutam dalam tindak pidana pemerasan melalui media elektronik.
Adapun mengenai jika dikaitkan dengan hukum yang ada di Indonesia maka diatur dalam Pasal 27 ayat 4 jo Pasal 45 ayat 1, sudah dapat dihukumi penjara dengan kurungan penjara 6 tahun dengan denda 1 miliyar rupiah tentu harus dengan pertimbangan hakim.
Hukuman yang berat seperti ini juga untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana pemerasan dengan memanfaatkan media elektronik. Dengan demikian, hal ini sesuai dengan pendapat ulama Hanabilah yang membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir, kalau pelaku berulang kali melakukan tindak pidana.