Etika Politik Dalam Islam

SUDUT HUKUM | Dalam sejarah umat manusia, tindakan kekerasan selalu mewarnai kehidupan politik maupun kehidupan sehari-hari. Kekerasan mencakup arti yang luas. Salah satu contoh mengenai tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuannya adalah dengan cara menyakiti, mematikan, dan merugikan orang lain secara fisik, mental, moral maupun spiritual. Kekerasan memang lebih sering dikaitkan dengan kekuasaan. Penguasa terkadang memakai kekerasan dalam memimpin atas kedudukan atau posisi mereka yang sedang berkuasa agar masyarakatnya menjadi tunduk dan patuh pada setiap peraturan yang dibuatnya.

Namun apapun alasannya, kekerasan tidak bisa dibenarkan sebagai cara untuk mendapatkan tujuan dari segala yang diinginkan. Karena kekerasan itu pada akhirnya hanya akan dipakai untuk membela keadilan bagi diri sendiri. Sejarah politik dalam Islam adalah sejarah dakwah untuk menyebarkan amar ma’ruf nahi munkar.

Sejarah ini bermula sejak masa Nabi Muhammad SAW. di Madinah pada 622 M. hingga masa Khulafa ar-Rasyidin yang berakhir sekitar 656 M. Pada saat itu, pemerintahan berada dalam upaya menegakkan kepemimpinan yang bermoral dan sangat peduli pada perwujudan keadilan serta kesejahteraan masyarakat. Gambaran ideal kehidupan politik Islam dapat dilihat dari sistem politik yang diterapkan oleh Nabi di Madinah.

Berkat usaha-usaha Nabi tersebut, lahirlah suatu komunitas masyarakat Islam pertama yang bebas dan merdeka. Selanjutnya untuk mengatur hubungan antar komunitas masyarakat yang majemuk itu, maka diproklamirkanlah Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah) sebagai undang undang dasar pertama bagi Negara Madinah dan Nabi Muhammad SAW. di anggap sebagai kepala pemerintahannya.

Sebagai konstitusi negara, intisari dari Piagam Madinah yang sangat penting untuk diterapkan dalam pembentukan negara Islam yang ideal, yaitu:

semua pemeluk Islam yang terdiri dari berbagai suku merupakan satu komunitas dan hubungan antara sesama anggota komunitas Islam didasarkan pada prinsip bertetangga yang baik, saling membantu, membela yang teraniaya, saling menasehati dan menghormati kebebasan beragama.


Konstitusi ini juga merupakan rumusan tentang kesepakatan kaum Muslim Madinah dengan berbagai kelompok bukan Muslim yang ada di Madinah tersebut untuk membangun masyarakat politik secara bersama-sama. Karena masyarakat di Madinah terkenal dengan masyarakatnya yang majemuk. Masa pemerintahan Nabi Muhammad SAW. di Madinah adalah pemerintahan yang toleran.

Konsep toleransi sangat penting dalam hubungan antara Islam dan negara, sehingga dapat menyatukan golongan-golongan yang saling bermusuhan menjadi satu-kesatuan bangsa yang utuh. Nabi Muhammad SAW. bukan hanya menjadi seorang Nabi yang ditugaskan oleh Allah SWT. untuk menyebarkan risalah kenabian kepada masyarakatnya, tetapi beliau juga dianggap sebagai seorang pemimpin negara yang adil dan mampu menerapkan keagungan moral bagi rakyatnya. Dengan demikian, kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. adalah cerminan moralitas yang dapat memunculkan kearifan-kearifan politik umat.

Sistem politik yang dibangun oleh Rasulullah SAW. dapat dikatakan sebagai sistem politik par excellent atau sistem religius, yang seluruh politik negara dan pekerjaan pemerintahannya diliputi oleh semangat akhlak dan jiwa agama. Sehingga dalam kepemimpinannya, beliau dapat mempersatukan umat, walaupun umat tersebut pada saat itu sangat terkenal dengan masyarakat yang majemuk.

Naskah Piagam Madinah yang merupakan salah satu sumber etika politik Islam itu sangat menarik untuk kembali dikaji dalam konteks pandangan etika politik modern. Sebab dalam piagam ini dirumuskan gagasan-gagasan yang kini menjadi pandangan hidup politik modern, seperti kebebasan beragama, hak setiap kelompok untuk mengatur hidup sesuai dengan keyakinannya, kemerdekaan ekonomi antar golongan, dan lain sebagainya.

Pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW., pemerintahan Islam diteruskan oleh empat khalifah yang utama, yaitu Khulafa Ar-Rasyidin. Cara keempat khalifah tersebut dalam memimpin, mendekati cara pemerintahan Nabi Muhammad SAW. Sehingga selama 30 tahun, keempat khalifah itu menampakkan sebuah pemerintahan politik Islam yang demokratis pada saat itu. Namun setelah pemerintahan Khulafa Ar-Rasyidin berakhir, pemerintahan dalam Islam mengalami pasang-surut (kebangkitan dan keruntuhan).

Singkatnya, dari sejarah itu terungkap bahwa pemerintahan yang mengedepankan etika dan moralitas akan memperoleh kejayaan. Begitu pula sebaliknya, jika suatu negara berada dibawah pemerintahan yang dijalankan secara zalim, tidak adil, dan tidak bermoral, maka negara tersebut akan mengalami kemunduran bahkan bisa mengalami kehancuran.

Etika politik bukanlah suatu sistem yang berbelit-belit. Secara sederhana, etika politik dapat diartikan sebagai sejumlah nilai luhur yang seharusnya diterapkan dalam perilaku politik, undang-undang, hukum, dan kebijakan dalam pemerintahan. Namun terkadang keputusan dan kebijakan politik itu tidak memperhatikan hati nurani karena lebih suka melayani kepentingan sendiri dari pada kepentingan rakyatnya. Padahal secara sistem demokratis, rakyatlah yang memberikan kekuasaan kepada para pemimpinnya.

Jika seorang pemimpin telah berkuasa di suatu wilayah, maka ia berkompetisi dalam kebaikan dan menampilkan karakter-karakter yang terpuji. Contohnya, kedermawanan, mau menerima dan berinteraksi dengan dengan orang-orang yang tidak mampu, menghormati dan memuliakan tamu, membantu semua orang, memberikan lapangan pekerjaan, sabar, menepati janji, menjalankan dan menegakkan hukum agama, memuliakan dan menghormati para ulama, mempercayai orang-orang yang ahli dalam agama, menghormati orang yang lebih tua, tunduk pada kebenaran dan menyerukannya kepada orang lain, berempati kepada orang-orang cacat, rendah hati kepada orang-orang miskin dan memberikan solusi terhadap keluhannya, bersikap sesuai dengan aturan-aturan agama dan bersungguh-sungguh dalam beribadah, serta menjauhkan diri dari pengkhianatan, penipuan, monopoli, atau melanggar perjanjian. Inilah yang dinamakan etika dalam berpolitik.”


Etika politik memberi patokan dan norma penilaian mutu politik terhadap pemerintahan negara dengan tolak ukur martabat manusia. Kajian etika politik dalam Islam bukan semata-mata untuk kepentingan ilmu dan kritik ideologi, ataupun merupakan bagian dari cabang filsafat, melainkan bagian integral dari syari’at yang wajib diamalkan oleh setiap muslim dalam kehidupan. Politik harus dijalankan dengan nilai-nilai etika sehingga mencapai tujuannya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat atas dasar keadilan sosial.

Adapun prinsip-prinsip etika politik dalam al-Qur’an adalah sebagai berikut:
  • Hubungan antara Kepala Negara dengan rakyat meliputi:

  1. Kewajiban kepala negara: (1) bermusyawarah dengan warga (Q.S. 3: 159); (2) menandatangani keputusan terakhir (Q.S. 3: 159); (3) menegakkan keadilan (Q.S. 4: 58, 38: 26); (4) menjaga ketentraman (Q.S. 3: 110, 5: 33); (5) menjaga harta benda orang banyak (Q.S. 3: 161); (6) mengambil zakat (Q.S. 9: 103); (7) tidak membiarkan harta benda beredar pada orang-orang kaya saja (Q.S. 59: 7); (8) melaksanakan hukum Allah (Q.S. 5: 44, 45, 47-50); (9) golongan minoritas memiliki hak yang sama dari segi undang-undang (Q.S. 2: 256, 5: 42-48; 10: 99, 60: 7-9).
  2. Kewajiban rakyat meliputi antara lain: (1) disiplin (Q.S. 59: 7); (2) taat yang bersyarat (Q.S. 4: 59); (3) bersatu di sekitar cita-cita tertinggi (Q.S. 3; 103, 30: 31-32); (4) bermusyawarah dalam persoalan orang banyak (Q.S. 42: 38); (5) menjauhi kerusakan (Q.S. 7: 56, 13: 25); (6) menyiapkan diri untuk membela negara (Q.S. 8: 60, 9: 38-41, 61: 1); (7) menjaga mutu moral atau semangat rakyat (Q.S. 4: 83); (8) menjauhi dari membantu musuh (Q.S. 60: 1, 9).

  • Hubungan Luar Negeri

  1. Hal-hal yang bersangkut paut dengan: (1) hubungan antara Negara Islam dan Negara kafir yang tidak memusuhi Islam (Q.S. 60: 7, 8); (2) cinta damai (Q.S. 8: 61); (3) menyerukan risalah Islam dengan hikmah (Q.S. 16: 125); (4) tanpa paksaan dalam memeluk agama (Q.S. 2: 256); (5) tidak menimbulkan kebencian (Q.S. 6: 108); (6) meninggalkan sifat diktator dan merusak (Q.S. 28: 23).
  2. Dalam keadaan berselisih: (1) setia pada perjanjian yang telah dibuat (Q.S. 5: 1, 9: 7); (2) patuh pada syarat-syarat perjanjian yang telah disepakati walaupun membahayakan (Q.S. 16: 91, 92); (3) menghadapi pengkhianatan dengan tegas (Q.S. 8: 58); (4) tidak memulai kejahatan (Q.S. 5: 2); (5) jangan berperang pada bulan haram (Q.S. 9: 36, 2: 217, 5: 2); (6) jangan berperang di tempat-tempat haram (Q.S. 2: 191); (7) memerangi bila diperangi (Q.S. 2: 190, 194); (8) tidak boleh lari ketika bertemu musuh (Q.S. 8: 51); (9) kecuali untuk mengatur siasat perang atau menggabungkan diri dengan pasukan lain (Q.S. 8: 16); (10) tidak boleh takut mati (Q.S. 3: 154, 156, 173); (11) tidak boleh menyerah (Q.S. 47: 35, 2: 192-193); (12) hati-hati terhadap tipu daya orang orang kafir dan munafik (Q.S. 4: 77-78, 3: 165-168); (13) sabar dan mengajak sabar (Q.S. 3: 200); (14) menghormati hak-hak untuk bersikap netral dalam peperangan (Q.S. 4: 90); (15) persaudaraan manusia sejagat (Q.S. 4: 1, 49: 13).