Korban Kejahatan

Korban kejahatan adalah mereka yang menderita secara, jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat perbuatan orang lain untuk mencari pemenuhan kebutuhan diri disini pengertiannya adalah korban perorangan atau individual yang disebut dengan viktimisasi primer, dan korban bukan perorangan atau misalnya suatu badan atau organisasi atau lembaga, pihak adalah impersonal, kolektif komersial yang disebut viktimisasi skunder (Arif Gosita, 1585:79).

Masyarakat terutama korban makin tipis kepercayaan kepada hukum, bukan hanya karena pidana pengadilan terhadap pelaku dinilai terlalu ringan, tetapi berkaitan juga dengan dua hal mendasar:
  1. konstruksi yuridis hukum (KUHP) itu sendiri terhadap kejahatan keji semacam itu sejak lahir memang diskriminatif terhadap wanita. Konstruksi hipotesis pasal 285 KUHP dibangun dengan pandangan positivis-rasional sebagaimana membangun pasal pasal kriminal lain yang dalam konteks ini sama sekali tidak memasukkan derita korban pada rancangan yuridisnya.
  2. berkaitan dengan birokrasi penegakan hukum itu sendiri yang dinilai “tidak manusiawi dan menyakitkan” buat korban disbanding pemerkosa itu sendiri. Prosedur berperkara yang harus dilalui korban atau keluarganya dinilai dan dirasakan “berbelit”, sekaligus memperlama penyelesaian kasus dan memperpanjang penderitaan korban. Sebaliknya korban pemerkosaan, mereka kehilangan kehormatan dan harga diri yang tidak mungkin diganti, dibeli atau disembuhkan sekalipun mencincang pelaku hingga mati berkali-kali (Suparrnan Marzuki, 1997:100-102).

Kajahatan kekerasan terhadap perempuan, khususnya pemerkosaan disatu sisi dipandang sebagai kejahatan yang sangat merugikan juga mencemaskan perempuan, masyarakat dan kemanusian. Disisi lain terdapat realitas sosialbudaya, Yaitu “menyuburkan” pemerkosaan seperti mitos-mitos berkaitan, dengan jenis kelamin, budaya “diskriminatif’, budaya “tukang suap”, hukum yang. “tidak adil”. Kejahatan sekarang rneningkat, resiko menjadi korban menjadi lebih besar, sebab pokoknya adalah karena kemunduran otoritas institusional dan kewibawaan hukum (Arif Gosita, 1985:57).

Peningkatan korban kejahatan terjadi karena kurangnya usaha pencegahan yang dilakukan seperti penyuluhan dan pembiaran penyimpangan disengaja oleh masyarakat karena beberapa hal tertentu. Pencurahan perhatian Hukum Pidana Indonesia lebih dititikberatkan pada pelaku daripada korban. Selain itu, UndangUndang Pidana Indonesia seolah-olah membuat suatu perbedaan atau pemisahan yang tajam antara pelaku dan korban.