Obyek Jaminan Fidusia

SUDUT HUKUM | Sebelum berlakunya UU No. 42 tahun 1999 tersebut benda yang menjadi objek fidusia umumnya merupakan benda-benda bergerak yang terdiri dari benda inventory, benda dagangan, piutang, peralatan mesin dan kendaraan bermotor. Namun sejak berlakunya UU No. 42 tahun 1999, pengertian jaminan fidusia diperluas sehingga yang menjadi objek jaminan fidusia mencakup bendabenda bergerak yang berwujud maupun tidak berwujud serta benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan menurut UU No. 4 Tahun 1996.

Benda yang menjadi objek jaminan fidusia adalah benda yang dapat dimiliki dan dialihkan hak kepemilikannya, baik benda itu berwujud maupun tidak berwujud, terdaftar maupun tidak terdaftar, bergerak maupun tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan atau hipotik.

Apabila kita memperhatikan pengertian benda yang dapat menjadi objek jaminan fidusia tersebut, maka yang dimaksud dengan benda adalah termasuk juga piutang (account receivables). Khusus mengenai hasil dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia, undang-undang mengaturnya dalam Pasal 10 UUJF disebutkan, bahwa jaminan fidusia meliputi semua hasil dari benda jaminan fidusia tersebut dan juga klaim asuransi kecuali diperjanjikan lain.

Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia harus disebut dengan jelas dalam akta jaminan fidusia, baik identifikasi benda tersebut maupun penjelasan surat bukti kepemilikannya dan bagi benda inventory yang selalu berubah-ubah dan atau tetap harus dijelaskan jenis benda dan kualitasnya.

Jaminan fidusia dapat diberikan terhadap satu atau lebih satuan atau jenis benda, termasuk piutang baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian. Pembebanan jaminan atas benda atau piutang yang diperoleh kemudian tidak perlu dilakukan dengan perjanjian tersendiri.

Hutang yang pelunasannya dijamin dengan fidusia dapat berupa:
  • Hutang yang telah ada.

Walaupun undang-undang maupun penjelasannya tidak memberikan patokan apa-apa kepada kita, namun logika kita mengatakan, tentunya patokan itu adalah pada saat jaminan fidusia itu diberikan. Jadi, pada saat jaminan fidusia diberikan hutang yang dijamin memang sudah terhutang. Karena sepintas kedengarannya agak janggal, maka perlu ada sedikit penjelasan.

Perjanjian-perjanjian tertentu dalam KUHPerdata merupakan perjanjian yang bersifat riil, artinya pada saat penjanjian seperti itu ditutup, objek Prestasinya sudah langsung diserahkan atau lebih tepat perjanjian yang bersangkutan baru lahir, sesudah objek prestasinya diserahkan Penjanjian hutang piutang termasuk dalam kelompok perjanjian pinjammeminjam/ mengganti (verbruiklening), yang bersifat riil, sehingga kalau kita pakai lembaga fidusia untuk menjamin suatu perjanjian hutang-piutang, maka dapat kita katakan, bahwa jaminan fidusia di sana dipakai untuk menjamin suatu hutang yang sudah terhutang/ada. Kita baru bisa mengatakan, bahwa debitur terhutang sejumlah uang berdasarkan perjanjian hutang-piutang, kalau debitur sudah menerima uang pinjaman tersebut. Baru dengan penyerahan uang pinjaman itulah perjanjian hutang-piutang lahir.

Kalau fidusia dipakai untuk menjamin suatu kewajiban berdasarkan perjanjian yang bersifat riil, maka dalam hal demikian fidusia diberikan untuk menjamin suatu hutang/kewajiban yang sudah terhutang.
  • Hutang yang timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu, atau Sebagian besar dan perjanjian-perjanjian di dalam KUHPerdata bersifat obligatoir.

Berdasarkan kebebasan berkontrak, perjanjian-perjanjian yang ditutup oleh anggota masyarakat, di luar yang secara khusus diatur dalam KUHPerdata adalah perjanjian yang bersifat obligatoir.Perjanjian-perjanjian yang demikian baru menimbulkan hak dan kewajiban saja antara para pihak. Objek prestasinya masih tetap menjadi milik masing-masing pihak yang menutup perjanjian.

Perjanjian seperti itu, antara lain perjanjian kredit, perlu diikuti dengan perjanjian kebendaan, yang pada umumnya berupa penyerahan/leveringnya. Jadi, kalau orang menutup suatu perjanjian kredit, dengan ditandatanganinya perjanjian itu, maka uang kredit belum diterima oleh debitur, sehingga pada saat itu belum terhutang apa-apa oleh debitur. Nanti pada waktu uang kredit itu benar-benar diambil/dipakai oleh debitur, baru ada terhutang uang oleh debitur.
  • Hutang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi

Yang dimaksud oleh Pasal 7 sub c Undang-Undang Jaminan Fidusia adalah, bahwa sudah cukup memenuhi syarat, bahwa jumlah atau besarnya keseluruhan hutang pada saat eksekusi akan dilakukan bisa ditentukan.

Penjelasan atas pasal tersebut, yang hanya menyebutkan hutang bunga dan biaya lainnya, yang dalam bayangan pembuat undangundang tidak dapat ditentukan pada saat akta penjaminan ditutup, mengambarkan pandangan yang sempit dari pembuat undang-undang dan tidak bisa diselaraskan dengan ketentuan Pasal 7 sub b.

Pada masa sekarang umumnya para pengusaha yang mengambil kredit dari bank, menutup Perjanjian kredit Per Rekening Koran, dengan tujuan untuk menghemat sebesar mungkin pembayaran bunga. Jarang sekali orang mengambil kredit dalam jumlah yang selalu semula sudah pasti (fix loan). Pada
Kredit Per Rekening Koran, bank hanya menetapkan suatu plafon kredif tertentu, yang merupakan jumlah maksimal kredit yang bisa diambil oleh debitur.