Pengertian Li’an dan Dasar Hukumnya

SUDUT HUKUM | Li’an menurut bahasa artinya la’nat, termasuk dosa sebab salah satu dari suami istri berbuat dusta, sedangkan menurut istilah li’an adalah suami menuduh istrinya berzina, ia bersumpah menerima la’nat apabila ia berbohong. Istilah li’an diambil dari kata la’n (berarti: laknat atau kutukan), karena suami pada sumpah yang kelima mengucapkan, ”Laknat Allah ditimpakan kepadanya jika dia termasuk pendusta.” Kata ini juga disebut li’an, ilti’an dan mula’anah.

Menurut istilah syara’, li’an berarti sumpah seorang suami di muka hakim bahwa ia benar tentang sesuatu yang dituduhkan kepada istrinya perihal perbuatan zina. Jadi, suami menuduh istrinya berbuat zina dengan tidak mengemukakan saksi, kemudian keduanya bersumpah atas tuduhan tersebut. Tuduhan itu dapat ditangkis oleh istri dengan jalan bersumpah pula bahwa apa yang dituduhkan suami atas dirinya adalah dusta belaka.

Ada beberapa definisi li’an yang dikemukakan ulama fikih. Ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali mendefinisikannya dengan “Persaksian kuat dari pihak suami bahwa istrinya berbuat zina yang diungkapkan dengan sumpah yang diikuti dengan lafal li’an, yang ditanggapi dengan kemarahan dari pihak istri.” Bagi ulama Mazhab Hanbali, li’an juga berlaku dalam nikah fasid (rusak, karena kekurangan salah satu syarat nikah). Bagi ulama Mazhab Hanafi, li’an tidak sah dalam nikah fasid.

Ulama Mazhab Maliki mendefinisikannya dengan “Sumpah suami yang muslim dan cakap bertindak hukum bahwa ia melihat istrinya berzina atau ia mengingkari kehamilan istrinya sebagai akibat hasil pergaulannya dengan istrinya itu, kemudian istri bersumpah bahwa tuduhan itu tidak benar sebanyak empat kali di hadapan hakim, baik nikah suami istri itu nikah sahih maupun nikah fasid.” Bagi mereka, li’an yang dilakukan suami yang kafir, anak kecil, orang gila, dan orang mabuk tidak sah.

Ulama Mazhab Syafi’i mendefinisikannya dengan “Kalimat tertentu yang dijadikan alasan untuk menuduh istri berbuat zina dan mempermalukannya atau mengingkari kehamilan istri sebagai hasil pergaulannya dengan istri itu.”

Dalam undang-undang hukum perdata di Indonesia tidaklah dikemukakan adanya li’an namun disebut dengan pengingkaran atau penyangkalan anak yang dilakukan oleh suami terhadap anak yang dilahirkan istri. Adapun prosesi li’an itu secara menyeluruh adalah sebagaimana dijelaskan dalam surat an-Nur Ayat 6 dan 7:

Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la’nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta” (QS. An-Nur: 6-7)


Kemudian berlanjut dengan an-Nur Ayat 8 dan 9:

Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar Termasuk orangorang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu Termasuk orang-orang yang benar.” (QS. An-Nur: 8-9)

Hadits Ibn Umar r.a.,bahwasannya Nabi s.a.w. menyumpah li’an seorang suami dengan isterinya lalu suaminya tidak mengakui anaknya maka beliau memisahkan antara suami istri itu dan memberikan anak itu kepada ibunya.”

Al-Bukhari mentakhrijkan hadist ini dalam “Kitab Talak” bab tentang anak itu diberikan kepada wanita yang bersumpah li’an. Seorang suami yang melihat lakilaki lain yang keluar dari tempat istrinya atau duduk bersama jangan cepat-cepat menuduhnya berzina, sebab tuduhan harus disertai bukti-bukti yang nyata. Seorang suami yang melihat istrinya mengandung jangan cepat-cepat menuduhnya berzina.

Sebab anak yang dikandung mungkin juga hasil hubungan dengan dirinya (yang belum dirasakan), kecuali kalau sudah yakin betul bahwa istrinya berzina. Dalam menuduh istri berzina tetapi ia tidak mempunyai bukti yang nyata maka ia harus bersumpah li’an.