Perbedaan Puasa Umat Muslim dengan Puasa yang Dilakukan Agama Lain

SUDUT HUKUM | Setelah kita ketahui bagaimana puasa umat sebelum Islam (Klik disini Jika belum baca). Lalu apa beda puasa kita sebagai muslim dengan puasa yang dilakukan agama lain?

Tentu saja sangat berbeda. Tata cara puasa yang kita lakukan mempunyai rujukan baik waktu, teknis, aturan dan segala detailnya, yaitu apa yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW.

Kita sebagai muslim meski berpuasa seperti agama lain, tetapi bentuk puasa kita sangat spesifik, unik dan khusus. Tidak bisa disejajarkan begitu saja dengan jenis puasa agama lain:

Perbedaan Puasa Umat Muslim dengan Puasa yang Dilakukan Agama Lain


Lebih Ringan

Perbedaan yang paling terasa antara puasa yang disyariatkan kepada umat Nabi Muhammad SAW dengan puasa-puasa yang disyariatkan kepada umat terdahulu adalah dari segi keringanannya.

Di dalam rangkaian ayat tentang kewajiban puasa di bulan Ramadhan, Allah SWT telah menegaskan bahwa Dia menginginkan kemudahan bagi kita dalam puasa ini.

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS. Al-Baqarah : 185)

Dan dibandingkan dengan puasa yang Allah SWT tetapkan buat Maryam, dimana puasanya akan menjadi batal kalau berbicara, puasa yang disyariatkan buat umat Nabi Muhammad SAW jauh lebih ringan, karena berbicara itu tidak membatalkan puasa.

Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini.”(QS. Maryam: 26)

Selain itu juga puasa yang disyariatkan buat kita ini dipenuhi dengan berbagai macam rukhshah atau keringanan. Misalnya, orang yang sakit, musafir dan orang yang tidak mampu, dibolehkan tidak puasa, walau pun nanti wajib mengganti baik dengan qadha’ atau dengan membayar fidyah.

Dan salah satu bentuk keringanan puasa buat umat Nabi Muhammad SAW adalah diharamkannya puasa wishal, yaitu puasa terus menerus tanpa berbuka dan sahur. Puasa itu memang dibolehkan bagi beliau SAW, karena beliau mendapat makanan dari Allah SWT. Namun bagi umatnya, puasa dengan cara menyakiti diri seperti itu termasuk haram hukumnya.

Rasulullah SAW melarang para shahabat berpuasa wishal sebagai bentuk kasih sayang kepada mereka. Para shahabat bertanya,”Anda sendiri berpuasa wishal?”. Beliau SAW menjawab,”Aku tidak seperti kalian. Sesungguhnya Allah memberiku makan dan minum”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Lebih Sedikit

Dibandingkan dengan jumlah hari yang Allah SWT tetapkan buat umat lain, puasa yang diwajibkan buat kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW jumlahnya hanya sedikit.

Hal itu terungkap ketika Allah SWT berfirman:

Hanya dalam beberapa hari yang tertentu. (QS. Al-Baqarah : 184)

Umat Rasulullah SAW ini hanya diwajibkan puasa di bulan Ramadhan saja, sementara sebelas bulan lainnya tidak wajib. Tentu cara seperti ini jauh lebih ringan dari puasa yang Allah SWT wajibkan kepada Nabi Daud alaihissalam dan umatnya.

Meski pun mereka diwajibkan puasa berselang-seling sehari puasa dan sehari tidak, namun mereka diwajibkan berpuasa setiap bulan dalam dalam setahun.

Disyariatkan Makan Sahur

Selain masalah keringanan, perbedaan yang lainnya adalah disyariatkannya makan sahur sesaat sebelum dimulainya puasa.

Meski pun makan sahur itu hukumnya sunnah, namun secara tegas Rasulullah SAW menyebutkan bahwa makan sahur itu adalah hal yang membedakan antara puasa kita dengan puasa orang-orang terdahulu, khususnya agama ahli kitab, baik nasrani maupun yahudi.

Hal itu bukan sekedar karangan para ulama, melainkan benar-benar Rasulullah SAW sendiri yang menyebutkan dalam sabda beliau:

Yang membedakan antara puasa kita dan puasa ahli kitab adalah makan sahur. (HR. Muslim)

Dari hadits ini kita jadi tahu, rupanya umat-umat lain itu meski diwajibkan berpuasa, tetapi mereka tidak disyariatkan untuk melaksanakan makan sahur.

Dan pada kenyataanya, hikmah dari makan sahur itu akhirnya akan dirasakan sendiri oleh kita sebagai umat Muhammad SAW, yaitu puasa kita menjadi lebih kuat.

Sebagaimana sabda beliau :

Mintalah bantuan dengan menyantap makan sahur agar kuat puasa di siang hari. Dan mintalah bantuan dengan tidur sejenak siang agar kuat shalat malam. (HR. Ibnu Majah)