Syarat Sah Puasa

SUDUT HUKUM | Yang dimaksud dengan syarat sah adalah semua hal yang membuat ibadah puasa menjadi sah hukumnya. Bila salah satu syarat ini tidak ada, maka ibadah itu tidak sah hukumnya. Sedangkan syarat wajib adalah hal-hal yang bila terpenuhi pada diri seseorang, puasa menjadi wajib atas dirinya.

Sedangkan syarat sah adalah syarat yang harus dipenuhi agar puasa yang dilakukan oleh seseorang itu menjadi sah hukumnya di hapadan Allah SWT. Namun sekali lagi para ulama berbeda pandangan tentang apa saja yang termasuk ke dalam syarat sah puasa.

Syarat Sah Puasa

Niat

Para ulama selain Asy-Syafi’iyah, seperti Al-hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah meletakkan niat sebagai syarat puasa . Sedangkan As-Syafi’iyah tidak meletakkan niat sebagai syarat, melainkan justru ditempatkan pada bagian rukun puasa.

Niat itu sendiri tempatnya di dalam hati bukan pada lidah. Seorang yang melafadzkan niat di lidahnya belum tentu berniat di dalam hatinya. Dan seorang yang meniatkan di dalam hati tanpa melafadzkannya di lidah, sudah pasti berniat.

Al-Malikiyah mengatakan lebih utama untuk meninggalkan at-talaffudz bin-niyah (melafadzkan niat). Sebaliknya jumhur ulama selain Al-Malikiyah menyunnahkannya.
  • Tabyit

Yang dimaksud dengan istilah tabyitun-niyah adalah melakukan niat pada malam hari sebelum masuk waktu shubuh. Ini merupakan syarat mutlak yang diajukan jumhur ulama.

Dasarnya adalah hadits berikut ini :

Dari Hafshah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Barang siapa yang tidak berniat sebelum fajar, maka tidak ada puasa untuknya.” (HR. Tirmidzy, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad).

Bila seseorang berpuasa tapi lupa atau tidak berniat, maka puasanya tidak sah . Maksudnya puasa wajib bulan Ramadhan atau puasa wajib nazar atau puasa wajib qadha‘. Namun bila puasa sunnah, maka niatnya tidak harus sejak terbit fajar, boleh dilakukan di siang hari ketika tidak mendapatkan makanan.
  • Ta’yin

Maksudnya adalah ketika berniat puasa itu harus dita’yin (ditetapkan) status dan detailnya. Jadi harus tegas puasa jenis apa, kapan dan seterusnya. Lawannya adalah niat puasa secara mutlak, yaitu asal puasa saja tidak ditetapkan puasa apa, kapan dan seterusnya.

  • Satu Niat untuk Satu Puasa

Jumhur ulama mensyaratkan bahwa setiap hari puasa membutuhkan satu niat tersendiri. Sebab dalam pandangan mereka, ibadah puasa itu dihitungnya perhari, bukan satu paket sebulan. Maka tiap malam Ramadhan harus ada satu niat khusus untuk puasa besoknya. Kalau jumlah hari puasa dalam Ramadhan itu 30 hari, maka kita tiap malam niat selama 30 malam.

Dalil bahwa tiap hari itu berdiri sendiri adalah bila seorang tidak puasa di satu hari dalam rangkaian bulan Ramadhan, tidak merusak puasa hari lainnya. Sebaliknya, kalau puasa itu dianggap satu paket
rangkaian dari awal hingga akhir Ramadhan, konsekuensinya bila batal di satu hari, semua hari pun ikut batal. Seperti satu rukun dalam shalat, bila satu saja tidak dilakukan, maka seluruh rangkaian shalat akan ikut rusak juga.

Namun Al-Malikiyah menentang pendapat ini. Dalam pendiriannya, Al-Malikiyah membolehkan kita berniat satu kali untuk seluruh hari yang ada dalam satu bulan Ramadhan.

Dalilnya adalah bahwa yang Allah wajibkan bukan hari per hari dalam Ramadhan, melainkan Allah SWT mewajibkan kita puasa untuk satu bulan lamanya.

Siapa diantara kalian yang menyaksikan bulan (Ramadhan), maka berpuasalah. (QS. Al-Baqarah : 185)

Beragama Islam

Para ulama memandang bahwa keislaman seseorang bukan hanya menjadi syarat wajib untuk berpuasa, tetapi juga sekaligus menjadi syarat sah untuk berpuasa.

Hal itu berarti bila orang yang bukan muslim melakukan puasa, baik dia beragama Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu atau agama apapun termasuk atheis yang tidak mengakui adanya tuhan, maka puasanya itu dianggap tidak sah dalam pandangan syariah Islam. Dan bila mereka tetap berpuasa, maka tidak mendapatkan balasan apa-apa di sisi Allah.

Jadi dalam pandangan jumhur ulama, orang kafir tetap wajib berpuasa, tetapi kalau mereka berpuasa, hukumnya tidak sah. Artinya, di akhirat nanti seorang non muslim tetap dianggap berdosa dengan tidak melakukan kewajiban puasa. Semakin banyak dia tidak berpuasa tiap bulan Ramadhan, maka akan semakin banyak dosanya. Dan semakin banyak dosanya, tentu akan semakin banyak siksaan yang diterimanya.

Maka kalau kita menggunakan logika tersebut, non muslim yang mati muda, siksaannya akan lebih sedikit dari pada non muslim yang mati tua. Karena kalau dihitunghitung, jumlah dosanya lebih banyak, kewajiban-kewajiban yang ditinggalkannya jauh melebihi non muslim yang mati muda. Sedangkan non muslim yang mati sebelum baligh, para ulama sepakat mengatakan bahwa ruhnya tetap diterima Allah dan masuk ke dalam surganya, meski kedua orang tuanya menguburkannya dengan prosesi agama mereka. Sebab bayi dan anak yang belum baligh belum menanggung dosa apa pun.

Kalau pun dalam keadaanya yang bukan muslim itu seseorang ingin berpuasa, tetap saja Allah SWT tidak akan menerima ibadah puasanya itu, karena seorang yang muslim bila berpuasa hukumnya tidak sah alias tertolak. Ibarat orang mau shalat, syaratnya harus berwudhu terlebih dahulu. Bila seseorang shalat tanpa berwudhu’, meski shalatnya 2 jam tanpa berhenti, tetap saja hukumnya tidak sah, alias tidak diterima oleh Allah SWT.

Jadi bagaimana agar seorang non muslim nanti tidak disiksa di neraka?

Jawabnya sederhana, yaitu kita ajak dia memeluk agama Islam. Sehingga kalau dia berpuasa dengan memenuhi segala ketentuan dan aturannya, puasanya akan diterima Allah SWT.

Suci dari Haidh dan Nifas

Suci dari haidh dan nifas selain menjadi syarat wajib juga sekaligus menjadi syarat sah dalam berpuasa. Artinya, seorang wanita yang mendapat haidh dan nifas, bila tetap berpuasa, maka puasanya tidak sah dan tidak diterima di sisi Allah SWT.

Bahkan kalau dirinya tahu bahwa sedang mengalami haidh atau nifas, tetapi nekat ingin mengerjakan puasa juga, maka hukumnya justru menjadi haram.

Dalil untuk tidak berpuasanya seorang wanita yang sedang haidh adalah hadits Aisyah radhiyallahuanha berikut ini:

Kami (wanita yang haidh atau nifas) diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintah untuk mengqadha; shalat. (HR.Muslim)

Dan para ulama sepakat bahwa seorang wanita yang nifas terikat dengan hukum yang berlaku pada wanita yang haidh.

Pada Hari Yang Dibolehkan

Syarat sah yang terakhir untuk ibadah puasa adalah hanya boleh dilakukan pada hari-hari yang dibolehkan berpuasa. Bila melakukan puasa pada hari-hari yang dilarang, maka puasanya tidak sah bahkan haram untuk dilakukan.

Ada pun hari-hari yang terlarang untuk melakukan puasa antara lain Hari Raya Idul Fithri dan Idul Adha, hari Tasyrik, yaitu tanggal 11,12, dan 13 bulan Dzulhijjah. Dan termasuk ke dalam hari-hari yang terlarang untuk berpuas adalah puasa yang dilakukan hanya khusus di hari Jumat. Sebagian ulama juga mengharamkan puasa sunnah yang dilakukan pada paruh kedua bulan Sya‘ban, atau pada hari-hari syak, yaitu satu atau dua hari menjelang masuknya bulan Ramadhan.

Para ulama juga mewajibkan para wanita untuk meminta izin kepada suami mereka bila ingin mengerjakan puasa sunnah. Untuk lebih detailnya tentang hari-hari yang terlarang untuk berpuasa, silahkan buka pada bab 14 yang judulnya: Hari Puasa Yang Terlarang.