Konsep Wali Nikah dalam Hukum Positif

Masalah perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena itu pemerintah Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga sekarang menaruh perhatian yang serius dalam hal perkawinan ini.

Banyak aturan perundang-undangan yang telah dibuat untuk mengatur masalah perkawinan ini, salah satunya yaitu pada tahun 1985 pemerintah memprakarsai Proyek Kompilasi Hukum Islam (KHI). Setelah berhasil diproyeksikan bahwa buku hukum (Kompilasi Hukum Islam) tersebut menjadi buku standar yang tunggal bagi hakim Pengadilan Agama di Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Di jelaskan dalam KHI bahwa untuk melaksanakan sebuah perkawinan terdapat syarat dan rukun yang harus dipenuhi. Diantara syarat dan rukun perkawinan tersebut salah satunya adalah adanya seorang wali nikah. Pernikahan tidak dianggap sah apabila tidak ada wali yang menikahkannya. Dalam KHI, masalah wali nikah ini diatur dalam Pasal 19 sampai 23. Dalam Pasal 19, KHI mengatakan:

Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”.


Selanjutnya pada Pasal 20 ayat (1), KHI menyatakan bahwa:

Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, akil dan balig. Diteruskan pada ayat (2), “Wali nikah terdiri dari : wali nasab dan wali hakim”.

Kemudian dijabarkan pada pasal 21 ayat (1), ada empat kelompok wali nasab, yaitu:

Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.

Pertama, kelompok laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.

Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.

Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.

Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara lakilaki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.

Selanjutnya dalam pasal 22,

apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya”.

Menyangkut dengan wali hakim, diterangkan pada Pasal 23 yang berbunyi:
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirinya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhol atau enggan.
(2) Dalam hal wali adhol atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.