Pembagian Kekuasaan

Masalah pembagian kekuasaan selalu dihubungkan dengan ajaran Motesquieu yang terkenal dengan sebuatan Trias Politica, yang menghendaki pembagian kekuasaan negara dalam tiga bidang pokok yang masing-masing berdiri sendiri, lepas dari kekuasaan lainnya. Satu kekuasaan mempunyai satu fungsi saja, yaitu:
  1. Kekuasaan legislatif, menjalankan fungsi membentuk undang-undang
  2. Kekuasaan eksekutif, menjalankan undang-undang/pemerintahan
  3. Kekuasaan yudikatif, menjalankan fungsi peradilan.

Dengan adanya pemisahan kekuasaan ini maka tidak ada campur tangan antara organ-organ negara terhadap operasional kekuasaan masing-masing. Dengan sistem yang demikian maka di dalam ajaran Trias Politica terdapat suasana checks and balance, di mana di dalam hubungan antara lembaga-lembaga negara itu terdapat sikap saling mengawasi, saling menguji, sehingga tidak mungkin masing-masing lembaga negara itu melampaui batas kekuasaan yang telah ditentukan. Dengan demikian terdapat hubungan kekuasaan antar lembaga-lembaga negara tersebut.

Pembagian Kekuasaan


Menurut Djokosutono, bahwa negara dapat pula diartikan sebagai suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia-manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama. Pemerintah ini sebagai alat untuk bertindak demi kepentingan rakyat untuk mencapai tujuan organisasi negara, antara lain kesejahteraan, pertahanan, keamanan, tata tertib, keadilan, kesehatan dan lain-lain. Untuk dapat bertindak dengan sebaik-baiknya guna mencapai tujuan tersebut, pemerintah mempunyai wewenang, wewenang mana dibagikan lagi kepada alat-alat kekuasaan negara, agar tiap sektor tujuan negara dapat bersamaan dikerjakan. Berkenaan dengan pembagian wewenang ini, maka terdapatlah suatu pembagian tugas negara kepada alat-alat kekuasaan negara.

Adapun pengertian pembagian kekuasaan berbeda dari pengertian pemisahan kekuasaan. Pemisahan kekuasaan berarti bahwa kekuasaan negara itu terpisah-pisah dalam beberapa bagian, baik mengenai orangnya maupun mengenai fungsinya. Kenyataan menunjukkan bahwa suatu pemisahan kekuasaan yang murni tidak dapat dilaksanakan. Oleh karena itu maka pilihan Indonesia jatuh kepada istilah pembagian kekuasaan, yang berarti bahwa kekuasaan itu memang dibagi-bagi dalam beberapa bagian, tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa di antara bagian-bagian itu dimungkinkan adanya kerja sama.

Sedangkan inti dari ajaran trias politica ialah adanya pemisahan kekuasaan dalam negara, sehingga dengan demikian penyelenggaraan pemerintahan negara tidak berada dalam kekuasaan satu tangan. Sementara kekuasaan cenderung bersalah guna (power tends to corrupt). Pemegang kekuasaan ada kecenderungan untuk menyalahgunakan kekuasaan, dan dalam konteks ini diperlukan adanya pembatasan kekuasaan.

Pada kenyataanya ajaran Montesquieu sulit untuk dilaksanakan, bahkan J.J. Von Schmid mengatakan, bahwa ajaran Montesquieu dalam bentuk yang digagas itu ternyata ia tak mungkin dilaksanakan di mana-mana, bahkan di Amerika Serikat pun tidak, karena alasan-alasan yang telah lebih dahulu diketemukan Rousseau, yaitu apabila pemisahan dalam tiga bagian itu dijalankan, tentulah terdapat persatuan lagi.

Selanjutnya Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim juga sependapat dengan J.J. Von Schmid, yang menyatakan bahwa Amerika Serikat yang oleh banyak sarjana disebut sebagai satu-satunya negara yang ingin menjalankan teori trias politica, dalam kenyataannya mempraktekkan sistem saling mengawasi dan saling mengadakan perimbangan antara kekuasaan-kekuasaan negara (check and balance system), sehingga akibatnya teori trias politica itu tidak dipraktekkan secara murni.

Namun demikian ajaran Montesquieu itu mengingatkan kepada penyelenggara negara, bahwa kekuasaan negara itu harus dicegah jangan sampai berada di dalam satu tangan, karena jika itu terjadi akan timbul kekuasaan yang sewenang-wenang. Oleh sebab itu kekuasaan negara harus dibagi-bagi dan dipisahkan satu sama lain.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, bahwa untuk mencegah jangan sampai suatu parlemen mempunyai kekuasaan yang melebihi badanbadan lain, bisa diadakan suatu sistem kerja sama dalam suatu tugas yang sama, yaitu membuat undang-undang antara parlemen dan pemerintah, atau di dalam parlemen itu sendiri dibentuk dua kamar yang saling mengadakan perimbangan kekuatan. Demikian juga halnya dengan kekuasaan eksekutif untuk mencegah jangan sampai kekuasaan itu melebihi dari pada kekuasaan-kekuasaan yang lainnya, dengan membatasi kekuasaan untuk tunduk kepada badan legislatif, misalnya dengan menetapkan parlemen sebagai badan pengawas terhadap pemerintah.

Rujuakan:

  • C.S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1986),
  • Sri Soemantri M, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Alumni, 1992),
  • Kotan Y. Stefanus, Perkembangan Kekuasaan Pemerintahan, Dimensi Pendekatan Politik Hukum Terhadap Kekuasaan Presiden Menurut UUD 1945, (Yogyakarta: Atmajaya, 1998),
  • Dahlan Thaib, DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1994).