Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan

Pencurian yang diatur dalam Pasal 363 KUHP dan Pasal 365 KUHP dinamakan pencurian dengan kualifikasi (gequalificeerd diefstal). Wirjono Prodjodikoro menerjemahkan dengan ”pencurian khusus” sebab pencurian tersebut dilakukan dengan cara tertentu. Istilah yang dirasa tepat adalah yang digunakan oleh R. Soesilo (dalam bukunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana) yaitu ”pencurian dengan pemberatan” sebab dari istilah tersebut sekaligus dapat dilihat, bahwa karena sifatnya maka pencurian itu diperberat ancaman pidananya. [1]

Pencurian Dengan Pemberatan


Kata ”pencurian” dalam rumusan pencurian dengan kualifikasi seperti yang diatur dalam Pasal 363 KUHP dan Pasal 365 KUHP tersebut mempunyai arti yang sama dengan kata ”pencurian” sebagai pencurian dalam bentuk pokok yang dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP, dengan demikian antara pencurian dengan pemberatan dan pencurian biasa mempunyai unsur-unsur yang sama, yaitu:

  • Unsur subyektif
Dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hukum.

  • Unsur obyektif
  1. barangsiapa
  2. mengambil
  • Sebuah benda
  • Yang sebagaian atau seluruhnya kepunyaan orang lain. [2]

Menurut Moch. Anwar, mengenai pencurian dengan pemberatan, berpendapat sebagai berikut: Perumusan Pasal 363 ayat (1) KUHP menunjukkan pencurian yang gequqlificeerd atas pencurian dalam bentuk pokok sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP adalah karena hanya disebut nama kejahatannya saja yaitu pencurian, ditambah unsur lain yang memberatkan”. [3]

Lebih lanjut tentang pencurian dengan pemberatan Sudradjat Bassar mengemukakan bahwa:

Pencurian ini termasuk pencurian istimewa maksudnya suatu pencurian dengan cara-cara bersifat lebih berat dan diancam dengan hukuman yang maksimalnya lebih tinggi, yaitu lebih dari hukuman penjara lima tahun”. [4]

Karena mengenai kata ”pencurian” di dalam rumusan Pasal 363 KUHP itu dipandang sudah cukup diartikan sebagai ”pencurian dalam bentuk pokok”, maka untuk selanjutnya akan dibicarakan unsur-unsur selebihnya yang pada umumnya merupakan ”unsur-unsur yang memberatkan”. Unsur-unsur yang memberatkan pidana, dalam doktrin juga sering disebut sebagai ”strafverzwarevde omstandigheden” atau ”keadaan-keadaan yang memberatkan pidana”. Keadaan-keadaan yang memberatkan pidana di dalam putusan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 363 KUHP dan Pasal 365 KUHP itu oleh Van Bemmelen dan Van Hattum disebut sebagai ”objectief verzwarende omstandigheden” atau ”keadaan-keadaan yang memberatkan secara obyektif”, yang berlaku bagi setiap ”peserta” dalam tindak pidana.[5]

Tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 365 KUHP itu juga merupakan suatu ”gequalificeerde diefstal” atau suatu pencurian dengan kualifikasi ataupun merupakan suatu pencurian dengan unsur-unsur yang memberatkan. Dengan demikian maka yang diatur dalam Pasal 365 KUHP itu sesungguhnya hanyalah ”satu kejahatan” dan bukan ”dua kejahatan” yang terdiri dari kejahatan ”pencurian” dan kejahatan ”pemakaian kekerasan terhadap orang”, ataupun bukan merupakan suatu ”samenloop” dari kejahatan ”pencurian” dengan kejahatan ”pemakaian kekerasan terhadap orang”.[6]

Kekerasan atau ancaman kekerasan itu harus ditujukan kepada orang-orang, akan tetapi tidaklah perlu bahwa orang tersebut merupakan pemilik dari benda yang akan dicuri atau telah dicuri. [7] Menurut pendapat Simons, kekerasan itu tidaklah perlu merupakan sarana atau cara untuk melakukan pencurian, melainkan cukup jika kekerasan tersebut tercaji ”sebelum”, ”selama” dan ”sesudah” pencurian itu dilakukan dengan maksud seperti yang dikatakan di dalam rumusan Pasal 365 ayat (1) KUHP, yaitu:

  1. untuk mempersiapkan atau untuk memudahkan pencurian yang akan dilakukan;
  2. jika kejahatan yang mereka lakukan itu ”o pheterdaad betrap” atau ”diketahui pada waktu sedang dilakukan”, untuk memungkinkan dirinya sendiri atau lain-lain peserta kejahatan dapat melarikan diri;
  3. untuk menjamin tetap dikuasainya benda yang telah mereka curi.[8]
Unsur-unsur yang memberatkan pidana pada tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 365 ayat (2) KUHP menurut Moch. Anwar adalah sebagai berikut:

“Pencurian yang dirumuskan adalah Pasal 365 ayat (1) KUHP dengan disertai masalah-masalah yang memberatkan yaitu:

ke-1 – pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup di mana berdiri sebuah rumah:

– di jalan umum;
– di dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan;
ke-2 dilakukan bersama-sama oleh 2 orang atau lebih;
ke-3 yang bersalah memasuki tempat kejahatan dengan cara membongkar, memanjat, anak kunci palsu,perintah palsu, pakaian jabatan palsu”. [9]

Mengenai apa yang dimaksud dengan jalan umum sebagai salah satu unsur yang terdapat dalam Pasal 365 ayat (2) sub 1 KUHP menurut R. Soesilo, adalah sebagai berikut : ”Jalan umum adalah semua jalan, baik mlik pemerintah maupun partikelir, asal dipergunakan untuk umum (siapa saja boleh berjalan di situ). Dalam Pasal 365 ayat (3) KUHP disebutkan apabila perbuatan pencurian dengan kekerasan ini menimbulkan matinya orang. Dalam ayat ini matinya orang lain merupakan akibat yang timbul karena penggunaan kekerasan dan kematian di sini bukan dimaksudkan oleh si pembuat. Apabila kematian itu dimaksud (diniati) oleh si pembuat maka ia dikenakan Pasal 339 KUHP. [10] Alasan memberatkan hukuman terhadap pencurian di jalan umum, dikereta api yang sedang berjalan, mobil atau bus umum seperti termuat dalam Pasal 365 ayat (2) KUHP adalah karena pada tempat-tempat tadi korban ttidak mudah mendapat pertolongan dari orang lain.[11]

Dengan melihat pengertian dan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 365 KUHP ini dapat dikatakan bahwa pasal tersebut merupakan pembatasan antara delik harta benda (vermogens delict) dan delik terhadap nyawa (levens delict). Lebih-lebih apabila kejahatan tersebut mengakibatkan matinya seseorang yang menurut KUHP Indonesia diancam dengan hukuman mati, sedangkan menurut WvS Nederland hanya ancaman penjara selama-lamanya 15 tahun. [12]


Rujukan:

  1. Hermien Hediati Koeswadji, 1984. Op. cit. hlm. 25.
  2. Lamintang 1989. Op. cit. hlm. 1.
  3. Moch. Anwar, 1989. Op. cit. hlm. 20.
  4. Sudradjat Bassar, 1986. Op. Cit., hlm. 68.
  5. Lamintang 1989. Op. cit. hlm. 48.
  6. Ibid., hlm. 52.
  7. Ibid., hlm. 55.
  8. Lamintang, 1989. Loc. cit.
  9. Moch. Anwar, 1986. Op. cit., hlm. 27.
  10. R. Soesilo, 1986. Op. cit., hlm. 254.
  11. Sudradjat Bassar, 1986. Op. cit. hlm. 72.
  12. Hermien Hediati Koeswadji, 1984. Op. cit., hlm. 44.