Asas-asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa asas hukum merupakan jantungnya peraturan hukum, karena ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kecuali disebut landasan, asas hukum ini layak disebut sebagai alasan lahirnya peraturan hukum, atau merupakan ratio logis dari peraturan hukum.

Asas-asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara


Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara garis besar terdapat beberapa asas dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara yaitu:
  • Asas praduga Rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid, prasumptio iustae causa).Dengan asas ini setiap tindakan pemerintah selalu dianggap rechmatig sampai ada pembatalan. (Pasal 67ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986).
  • Asas gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang dipersengketakan, kecuali ada kepentingan yang mendesak dari penggugat (Pasal 67ayat (1) dan ayat (4) huruf a).
  • Asas para pihak harus didengar (audi et alteram partem). Para pihak mempunyai kedudukan yang sama dan harus diperlakukan dan diperhatikan secara adil. Hakim tidak dibenarkan hanya memperhatikan barang bukti, keterangan, atau penjelasan salah satu pihak saja.
  • Asas kesatuan beracara dalam perkara sejenis baik dalam pemeriksaan di peradilan judex facti, maupun kasasi dengan MA sebagai puncaknya. Atas dasar satu kesatuan hukum berdasarkan Wawasan Nusantara, maka dualisme hukum acara dalam wilayah Indonesia menjadi tidak relevan.
  • Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari segala macam campur tangan kekuasaan yang lain baik secara langsung dan tidak langsung bermaksud untuk mempengaruhi keobjektifan putusan pengadilan (Pasal 24 UUD 1945 jo Pasal 3 UU No. 48 Tahun 2009).
  • Asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan ringan (Pasal 4 UU No. 48 Tahun 2009). Sederhana adalah hukum acara yang mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Dengan hukum acara yang mudah dipahami peradilan akan berjalan dalam waktu yang relativ cepat. Dengan demikian biaya berperkaya juga menjadi ringan.
  • Asas hakim aktif. Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa hakim mengadakan rapat permusyawaratan untuk menetapkan apakah gugatan dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar atau dilengkapi dengan pertimbangan (Pasal 62 UU No. 5 Tahun 1986), dan pemeriksaan persiapan untuk mengetahui apakah gugatan penggugat kurang jelas, sehingga penggugat perlu untuk melengkapinya (Pasal 63 UU No. 5 Tahun 1986). Dengan demikian asas ini memberikan peran kepada hakim dalam proses persidangan guna memperoleh suatu kebenaran materiil dan untuk itu UU No. 5 Tahun 1986 mengarah pada pembuktian bebas. Bahkan, jika dianggap perlu untuk mengatasi kesulitan penggugat memperoleh informasi atau data yang diperlukan, maka hakim dapat memerintahkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai pihak tergugat itu untuk memberikan informasi atau data yang diperlukan itu (Pasal 85 UU No. 5 Tahun 1986).
  • Asas sidang terbuka untuk umum. Asas inimembawa konsekuensi bahwa semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila di ucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 13UU 48 Tahun 2009 jo Pasal 70 UU No. 5 Tahun 1986).
  • Asas peradilan berjenjang. Jenjang peradilan di mulai dari tingkat yang paling bawah yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara, kemudian Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dan puncaknya adalah Mahkamah Agung. Dengan dianutnya asas ini, maka kesalahan dalam putusan pengadilan yang lebih rendah dapat dikoreksi oleh pengadilan yang lebih tinggi. Terhadap putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan upaya hukum banding kepada PTTUN dan kasasi kepada Mahkamah Agung. Sedangkan terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan upaya hukum permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
  • Asas pengadilan sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan. Asas ini menempatkan pengadilan sebagai ultimum remedium. Sengketa Tata Usaha Negara sedapat mungkin terlebih dahulu diupayakan penyelesaiannya melalui upaya administratif yang diatur dalam Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986 lebih menunjukkan penyelesaian ke arah itu. Apabila musyawarah tidak mencapai mufakat, maka barulah penyelesaian melalui Pengadilan Tata Usaha Negara dilakukan.
  • Asas Objektivitas. Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera wajib mengundurkan diri, apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubngan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasihat hukum atau antara hakim dengan salah seorang hakim atau panitera juga terdapat hubungan sebagaimana yang di sebutkan di atas, atau hakim atau paniteratersebut mempunyai kepentingan langsung dan tidak langsung dengan sengketanya. (Pasal 78 dan Pasal 79 UU No. 5 Tahun 1986).
  • Asas Pembuktian Bebas. Peluang hakim administrasi menerapkan asas pembuktian bebas hanyalah merupakan konsekuensi logis dari tugas hakim menemukan kebenaran materiil dan pemberian peran aktif hakim administrasi. Wewenang untuk menetapkan asas pembuktian bebas ini, mengakibatkan hakim tidak lagi terikat terhadap alat-alat bukti yang diajukan para pihak dan penilaian pembuktian juga diserahkan sepenuhnya kepada hakim akibat dari itu pula peran hakim menjadi melebar karena hakim dapat menguji aspeknya di luar sengketa.

Penjelasan Umum angka 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa hukum acara yang digunakan pada Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai persamaan dengan hukum acara yang digunakan pada Peradilan Umum untuk perkara perdata, dengan beberapa perbedaan antara lain :
  1. Pada Peradilan Tata Usaha Negara Hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan guna memperoleh kebenaran material dan untuk undang-undang ini mengarah pada ajaran pembuktian bebas;
  2. Suatu gugatan Tata Usaha Negara pada dasarnya tidak bersifat menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan.

Spesifikasi hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara ditampakan oleh asas-asas yang menjadi landasan normatif-operasional hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu:
  1. Asas praduga rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid-praesumption iustae causa). Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap rechmatig sampai ada pembatalannya. Dengan asas ini, gugatan tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat (Pasal 67 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986).
  2. Asas pembuktian bebas. Hakim yang menetapkan beban pembuktian.
  3. Asas keaktifan Hakim (dominus litis). Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak karena tergugat adalah pejabat tata usaha Negara sedangkan penggugat adalah orang atau badan hukum perdata.
  4. Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan “erga omnes”. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian putusan pengadilan Tata Usaha Negara berlaku bagi siapa saja, tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa.