Kedudukan Al-Mawardi Dalam Sejarah Pemikiran Islam

Berbagai goncangan politik yang menyebabkan perpecahan dalam diri kaum Muslimin dan krisis ekonomi sebagai dampaknya melanda wilayah kekuasaan dinasti Abbasiyyah secara umum, Meskipun demikian masa-masa itu meruapakan kejayaan dalam bidang perkembangan ilmu pengetahuan, baik ilmu keagamaan maupun bahasa Arab. Berbagai karya ilmuah saat itu muncul, karenna semangat ijtihad mencapai puncaknya, yang pada giliranya lahirlah sebagai visi dan pandangan baru, baik dalam bidang seni, budaya maupun ilmu pengetahuan.

Dalam kondisi demikian, Al-Mawardi pandai menari sesuai irama gendang. Ia mampu memainkan perananya dengan baik, sehingga mendapatkan jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan. Dalam kapasitasnya sebagai ahli hukum mazhab Syafi’i, ia pernah menjadi hakim di berbagai kota. Kemudian, pada masa pemerintahan khalifah al-Qadir (991-1031 M) Al-Mawardi bahkan diangkat sebagai ketua mahkamah agung (Qadhiy al-Qudhat) di Baghdad.

Karena kepandaian diplomasinya pula ia ditunjuk sebagai mediator perundingan antara pemeritah Bani Abbas dengan Buawiyah yang sudah menguasai politik katika itu. Al-Mawardi berhasil melakukan misinya dengan memuaskan kedua buah pihak. Bani Abbas tetap memegang jabatan tertinggi kekhalifahan. Sementara, kekuasaan politik dan pemerintah dilaksanakan oleh orang-orang Buawaihi. Tidak mengherankan kalau Al-Mawardi juga mendapat yang layak dan disenangi oleh amir-amir Buawaihi yang menganut paham syi’ah.

Selain itu ia merupakan seorang ahli politik yang handal, ia sangat cepat mengantisipasi keadaan, sedikitpun ia tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengambil sikap demi kepentingan negara. Sikapnya yang cepat itu, terlihat ketika muncul tanda-tanda melemahnya kekuatan dinasti Buwaihiyyah pada akhir abad ke-10, dan tampilnya kekuatan Gaznawiyyah yang beraliran Sunni.

Pada masa ini khalifah Bani Abbas benar-benar menjadi boneka. Kekuasaan ril ketika itu dipegang oleh orang-orang Buawaihi yang syi’ah. Selama masa-masa kejayaan Buawaihi (945-1055), mereka menaikan dan menurunkan khalifah sesuai kehendak mereka saja. Namun mereka tidak berani merebut kekhalifahan, karena konsep al-immamah min Quraisy masih begitu menghujam dikalangan umat Islam ketika itu. Jadi, mereka puas mengendalikan khalifah=khalifah tanpa harus menduduki jabatan itu.