Perjanjian di Bawah Tekanan dalam Putusan

SUDUT HUKUM | Pada dasarnya, perjanjian wajib dibuat para pihak dalam keadaan benar-benar bebas. Kata sepakat dalam perjanjian harusnya terbentuk kala kedua belah pihak dalam keadaan sadar dan punya pilihan bebas.

Pilihan bebas untuk menyepakati atau menolak, menentukan materi dan bentuk perjanjian. Namun, ada kalanya sebuah perjanjian dibuat ketika salah satu pihak berada dalam proses pidana. Bagaimana sikap pengadilan menghadapinya?

Putusan Mahkamah Agung Nomor 681/K/Pdt/2005 dapat diuji untuk dibandingkan dengan asas kebebasan berkontrak, syarat sah perjanjian dan yurisprudensi Mahkamah Agung lainnya.

Perjanjian di Bawah Tekanan dalam Putusan



Ringkasan Kasus Posisi


Para pihak dalam sengketa ini adalah Nyonya Rochma (R) dan suaminya Muhammad Deson (MD) sebagai pemohon kasasi melawan Poppy Agustina (PA) termohon kasasi

Sengketa ini dimulai ketika R punya utang kepada PA sebesar Rp. 185.000.000,00 (seratur delapan puluh lima juta rupiah). Utang tersebut disetujui MD. R berjanji membayar utang tersebut kepada PA, sekaligus dan seketika, 6 (enam) bulan sejak penandatanganan Akta Pengakuan Utang Dengan Jaminannya Nomor 20 tanggal 13 Desember 2001 (“Akta Pengakuan Utang”).

R menjaminkan tanah Sertipikat Hak Milik Nomor 996/R/Desa/Kampung L Pakjo tanggal 15 September 1979, Palembang (“tanah jaminan”). R atas persetujuan suaminya, MD juga memberi kuasa menjual tanah jaminan tersebut kepada PA. Kuasa tersebut dituangkan dalam Akta Kuasa Menjual No.21 tanggal 13 Desember 2001 (“Akta Kuasa Menjual”)

Setelah jatuh tempo, R tidak dapat melunasi utang. PA menemukan peminat tanah dengan harga Rp300.000,00 (tiga ratus juta). Hal itu dilakukan berdasarkan Akta Kuasa Menjual. Namun R meminta tanah jaminan dijual dengan harga pantas, Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta).

Sampai saat gugatan diajukan, R dan MD masih menempati tanah jaminan. Mereka juga belum melunasi utang. AP mengkhawatirkan R dan MD akan terus menaikkan harga tiap ada peminat dan peminat tidak akan tertarik bila tanah masih diduduki R dan MD.

Dengan demikian, PA menggugat R dan MD telah melakukan wanprestasi. PA menuntut ganti rugi sebesar 2% per bulan sejak Desember 2001 sampai utang R dibayar lunas 16 bulan x 2% x Rp185.000.000,00 dan jumlah ini akan bertambah.

PA meminta tanah jaminan dijual melalui lelang jika R dan MD tak juga membayar utang. Uang hasil lelang tersebut digunakan untuk melunasi utang PA. PA juga memohon sita jaminan untuk mencegah tanah jaminan dialihkan R dan MD ke pihak lain.

Dalam tuntutannya PA meminta majelis hakim memutuskan , di antaranya, pertama menerima dan mengabulkan gugatan PA seluruhnya. Kedua, menyatakan sah dan berharga sita jaminan pada tanah jaminan.

Ketiga, menyatakan R telah melakukan wanprestasi. Keempat, menghukum R membayar utang Rp185.000.000,00 (seratus delapan puluh lima juta). Kelima, menghukum R membayar bunga 16 bulan x 2% x Rp185.000.000,00 = Rp.59.200.000,00 (lima puluh sembilan juta dua ratus rupiah).

Keenam, menghukum R dan MD menjual tanah jaminan melalui lelang. Uang hasil lelang tersebut digunakan untuk melunasi utang PA. Ketujuh menyatakan putusan dalam perkara ini dapat dieksekusi serta merta, mesikipun ada banding, verzet dan upaya hukum lain,

Hal menarik dalam perkara ini adalah terdapat bantahan R bahwa antara dirinya, MD dengan PA tidak punya hubungan hukum. Akta Pengakuan Utang dan Akta Kuasa Menjual adalah tipu muslihat PA dengan Pegawai Bank Mandiri cabang Palembang Pusri (“Bank Mandiri”).

Hubungan hukum yang ada hanyalah antara Hendra (anak R) dan pegawai Bank Mandiri. Hendra bekerja di Bank Mandiri. Hendra dituduh melakukan penggelapan oleh Bank Mandiri dan ditahan polisi berdasarkan laporan: LP/3593-B/XI/2001/TABES dan surat perintah penahanan No. Pol P/946/XI/2001/Serse.

Pegawai PT. Bank Mandiri lalu membuat konsep surat permohonan perdamaian. Isi surat bukan surat resmi dari badan hukum Bank. Sertipikat tanah dan bangunan R diterima Ridwan secara personal. Bukan Bank Mandiri, sebagai badan hukum.

Setelah sertipikat diserah terimakan kepada Ridwan, Hendra dikeluarkan oleh Kepolisian Sumatera Selatan dengan Surat Perintah Penangguhan Penahanan No. Pol. P/946/XI/2001/Serse. PA kemudian mengajak R dan MD membuat Akta Pengakuan utang dan Akta Kuasa Jual.

Sikap Pengadilan


Atas tuntutan PA tersebut, Pengadilan Negeri Palembang (“PN Palembang”), dalam pokok perkara, memutuskan menyatakan gugatan PA tidak dapat diterima dan menghukum PA membayar biaya perkara Rp201.000,00 (dua ratus satu ribu rupiah). Putusan tersebut dituangkan dalam Putusan No.52/Pdt.G/2003/PN.Plg tanggal 20 Februari 2003.

Tidak puas dengan putusan PN Palembang tersebut, PA mengajukan banding ke pengadilan tinggi. Dalam Putusan Nomor 04/PDT/2004/PT.PLG tanggal 16 April 2004, Pengadilan Tinggi Palembang memutuskan, pertama, menerima banding PA. Kedua, membatalkan Putusan PN Palembang No. 52/Pdt.G/2003/PN.Plg tanggal 20 Februari 2003.

R dan MD kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung kemudian mempertimbangkan, pada dasarnya ,dua hal. Pertama, kasus pidana Hendra saat ini masih dalam proses. Sehingga dalil R dan MD bahwa Akta Pengakuan utang dan Akta Kuasa Jual dibuat dalam paksaan belum terbukti.

Kedua pertimbangan Pengadilan Negeri Palembang dan Pengadilan Tinggi Palembang sudah tepat. Sehingga, permohonan kasasi R dan MD harus ditolak.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, majelis hakim kasasi memutuskan, pertama, menolak permohonan kasasi R dan MD. Kedua, R dan MD harus membayar biaya perkara Rp500.000,00

Analisis


Pada asasnya, semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan kesepakatan para pihak atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.[1]

Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat[2]:

  1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  3. Suatu pokok persoalan tertentu;
  4. Suatu sebab yang tak terlarang.


Terkait kesepakatan, suatu persetujuan yang diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dari paksaan atau penipuan tidak punya kekuatan hukum.[3] Paksaan mengakibatkann perjanjian tersebut batal.[4]

Persetujuan kedua belah pihak, yang merupakan kesepakatan, harus diberikan secara bebas.[5] Paksaan adalah salah satu faktor yang membuat kesepakatan menjadi tidak bebas. Kehilafan dan penipuan adalah faktor lainnya.

Menurut Subekti, paksaan yang dimaksud adalah paksaan psikis bukan fisik. Misalnya, salah satu pihak terpaksa menyetujui perjanjian karena diancam atau ditakut-takuti. Subekti juga berpendapat, ancaman berupa gugatan di depan hakim bukanlah paksaan.[6]

Pada Putusan Mahkamah Agung No. 3641/K/Pdt/2001 terdapat kaidah hukum hakim berhak meneliti dan menyatakan kedudukan hukum para pihak. Sehingga hakim berhak menyatakan salah satu pihak tidak bebas menyatakan kehendaknya.

Nilai-nilai kepatutan, keadilan, perikemanusiaan dapat dipakai untuk mengubah isi perjanjian. Sekalipun, pada dasarnya, perjanjian bersifat terbuka terhadap keinginan para pihak.

Kebebasan berkontrak tersebut ditegaskan lagi oleh Putusan Mahkamah Agung No. 2356/K/Pdt/2008. Dalam putusan itu terdapat kaidah hukum perjanjian jual beli yang dibuat di bawah tekanan dan dalam keadaan terpaksa dapat dibatalkan karena tidak adanya kehendak bebas dari salah satu pihak. Sehingga tidak memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata.

Kedua putusan Mahkamah Agung tersebut sudah menjadi yurisprudensi. Dalam kedua putusan tersebut, salah satu pihak sedang berada dalam tahanan polisi saat menyepakati perjanjian. Sehingga kedudukan mereka lebih lemah daripada pihak lainnya dalam perjanjian.

Jika mengacu pendapat Subekti, maka keadaan dalam tahanan polisi bagi salah satu pihak dikecualikan dari kategori paksaan psikis. Namun ancaman pidana tentu menakutkan dan mengancam bagi pihak yang ditahan. Terlepas apakah dia akan diputus bebas atau bersalah di pengadilan nanti.

Dalam kondisi seperti itu, kehendak bebas pihak dalam tahanan polisi dalam perjanjian menjadi terbatasi. Pihak tersebut dapat berharap pengaduan pidana bisa dicabut sebagai ganti menandatangani perjanjian.

Oleh karena itu, pertimbangan dua yurisprudensi di atas sudah tepat. Guna menjamin kebebasan dalam membuat perjanjian, maka salah satu pihak tidak boleh terancam dan mengalami rasa takut. Termasuk dalam kondisi ditahan polisi atau menghadapi pengaduan pidana lain.

Terkait kuasa menjual, pada dasarnya, Kuasa Untuk Menjual yang mengikuti Pengakuan Utang tak bertentangan dengan undang-undang. Ketika debitor wanprestasi kreditor pemegang kuasa dapat menjual tanah atas nama debitor. Sehingga penjual adalah debitor bukan kreditor[7].

Walaupun demikian, untuk meminimalisir resiko sengketa, lebih baik menggunakan lembaga penjaminan Hak Tanggungan.[8] Hak Tanggungan mengatur hak dan kewajiban kreditor dan debitor lebih jelas di depan hukum.[9]

Sehubungan dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 3641/K/Pdt/2001, hakim Indonesia memang tidak terikat mengikuti putusan hakim sebelumnya.[10]

Namun dengan mempertimbangkan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan, sebuah yurisprudensi layak diikuti oleh hakim berikutnya. Akan janggal bila untuk perkara sejenis putusan hakim yang satu berbeda jauh dengan putusan lainnya.

Para pihak di satu perkara akan merasa diperlakukan tidak adil bila sengketanya diputus berbeda dengan perkara lain yang sejenis. Para pihak yang akan melakukan perbuatan hukum akan dapat memprediksi lebih tepat jika putusan pengadilan, atas perkara sejenis, konsisten.

Para pihak dapat mengkalkulasi akibat hukum yang terjadi berdasarkan analisis peraturan perundang-undangan dan konsistensi putusan-putusan pengadilan. Dengan demikian asas kemanfaatan tercapai.

Akta Pengakuan Utang melanggar kebebasan berkontrak berdasarkan dua yurisprudensi Mahkamah Agung. Perjanjian dilakukan di bawah tekanan karena R dan MD berada dalam tekanan akibat penahanan Hendra, putra R dan MD.

Asas kebebasan berkontrak dalam syarat kata sepakat tak terpenuhi pada Akta Pengakuan Utang dan Akta Kuasa Menjual dalam kasus ini. Kedua akta tersebut batal karena melanggar syarat sah perjanjian Pasal 1320 KUHPerdata.

Kesesuaian materi Akta Pengakuan Utang dan Akta Kuasa Menjual dalam kasus ini dengan peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, tak perlu diuji lagi.

Maka, Putusan Mahkamah Agung Nomor 681/K/Pdt/2005 tidak tepat. Putusan tersebut bertentangan dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 3641/K/Pdt/2001. Yurisprudensi tersebut menjamin kebebasan para pihak dalam berkontrak.

Berdasarkan putusan tersebut, para pihak tak dapat menandatangani perjanjian saat salah satu pihak berada dalam tahanan polisi akibat pengaduan pihak lain.

Yurisprudensi itu layak diikuti oleh hakim setelahnya karena memperhatikan asas kebebasan berkontrak. Sehingga memenuhi asas kepastian, keadilan dan kemanfaatan bagi para pihak yang berperkara sejenis.

Keadilan terpenuhi karena para pihak terbebaskan dari ancaman proses pidana saat menandatangani perjanjian. Kemanfaatan didapatkan karena para pihak yang akan membuat perjanjian dapat memprediksi akibat hukum jika mereka menyusun perjanjian di bawah ancaman proses pidana.

Simpulan


Perjanjian yang dibuat di bawah ketakutan psikis tak memenuhi unsur kata sepakat sehingga dapat dibatalkan. Berdasarkan dua yurisprudensi, perjanjian yang ditandatangani saat salah satu pihak berada dalam tahanan polisi bertentangan dengan syarat sah perjanjian Pasal 1320 KUHPerdata.

Akta Pengakuan Utang dan Akta Kuasa Menjual antara R, MD dan PA dapat dibatalkan karena dibuat saat Hendra, anak R, sedang dalam status ditahan polisi. Dengan demikian, Putusan Mahkamah Agung Nomor 681/K/Pdt/2005 tidak tepat. Putusan tersebut tidak membatalkan dua perjanjian yang dibuat salah satu pihak dalam tekanan.

/*Pradhana Adimukti
Legal Officer


Rujuakan:

  1. Pasal 1338 KUHPerdata
  2. Pasal 1320 KUHPerdata
  3. Pasal 1321 KUHPerdata
  4. Pasal 1323 KUHPerdata
  5. Subekti, Hukum Perjanjian, Penerbit Intermasa, cet 21, Jakarta, 2005, hlm 23.
  6. Ibid
  7. Fransika Nova Kartika, Analisis Mengenai Akta Pengakuan Utang Dengan Jaminan Hak Atas Tanah Yang Diikuti Kuasa Menjual, tesis Magister Kenotariatan Uinversitas Indonesia, 2012, Depok, Hlm 66
  8. Hak Tanggungan diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
  9. Fransika Nova Kartika, Op.Cit., catatan kaki nomor 6
  10. Pasal 1917 KUHPerdata