Perusakan Terumbu Karang dan Penegakan Hukumnya

Indonesia adalah salah satu negara kepulauan terbesar dengan sumber keanekaragaman hayati maupun nonhayati yang tersebar luas berkat kondisi geografis yang dimilikinya. Dengan luas daratan Indonesia berkisar 1.922.570 km² dan luas perairannya yang mencapai 3.257.483 km², biota yang hidup dalam perairan tersebut sangat beragam.

Ekosistem yang ada pun saling terkait satu sama lain seperti ekosistem karang, ekosistem pasir dan lain-lain. Salah satu ekosistem yang berperan penting sebagai indikator lingkungan yang baik bagi biota laut untuk tumbuh berkembang biak ialah melalui ekosistem terumbu karang.



Terumbu karang merupakan komponen utama dalam ekosistem laut. Kandungan kapur yang dimiliki beserta kuatnya struktur fisik dari tubuh karang itu sendiri memberi nilai ekonomis bagi warga yang tinggal di pesisir pantai untuk menggunakannya sebagai material bahan bangunan.

Selain itu, terumbu karang juga bermanfaat bagi para nelayan untuk menangkap berbagai macam biota laut yang beranekaragam, dan juga sebagai tempat sebagai wisata panorama bawah alam laut. Indonesia terkenal dengan wisata bawah laut yang dimilikinya. Namun, pemanfaatan alam sebagai tempat wisata yang yang kurang dikelola dan pengawasan akan berdampak pada kerugian.

Salah satu contoh ialah ketika kapal pesiar asing MV Caledonian Sky yang membawa berberapa wisatawan untuk melakukan pengamatan burung di pulau Waigeo. Ketika dalam pelayaran menuju Bitung, kapal tersebut kandas di perairan Raja Ampat.

Diketahui sang nakhoda berlayar menuju perairan dangkal hanya menggunakan GPS tanpa memperhitungkan waktu arus pasang surut dan topografi perairan yang menyebabkan berlabuh nya kapal tersebut menjadi melenceng. Hingga menyebabkan kerusakan terumbu karang yang hampir mencapai 1.600 akibat pergerakan MV Caledonian Sky yang berusaha keluar dari area kandas.

Akibat tindakan tersebut, pihak dari Caledonian ini melanggar Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), mengingat area yang dirusak merupakan zona inti Kawasan Konservasi Perairan Daerah Selat Dampier atau area yang dilindungi.

Meskipun pemerintah saat ini masih mengadakan evaluasi terkait seberapa banyak dampak yang diterima dan meyakini bahwa tak hanya pihak dari Caledonian sendiri yang menjadi sumber utama penyebab kerusakan tersebut melainkan melibatkan pihak lain. Maka jalur penyelesaian secara hukum pun harus diselesaikan dengan hati-hati dan dilihat secara menyeluruh, melihat banyaknya pihak yang terkait.

Pertama, ialah jalur hukum bagi kapal MV Caledonian Sky dinakhodai oleh pria berpaspor Inggris. Namun, perusahaan pengelola kapal berasal dari Swedia. Bendera kapal pun menggunakan bendera Bahama, prinsip teritorialitas pun dapat diterapkan, karena seharusnya yang bertanggungjawab ialah bendera negara yang digunakan oleh kapal tersebut. Kedua, terkait bagaimana kapal persiar yang berbobot lebih dari 400 GT dapat memasuki perairan dangkal.

Hal ini dapat disimpulkan terjadinya kelalaian atau kesengajaan yang bahkan tidak diketahui oleh otoritas resmi.

Kelalaian tersebut dapat dikenakan sanksi pidana pasal 99 ayat (1) UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyebutkan bahwa setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan denda paling sedikit Rp. 1 Miliar dan paling banyak Rp. 3 Miliar.

Selain tindak pidana, pemerintah pun dapat melayangkan gugatan keperdataan, mengingat kerusakan yang diterima ialah objek lingkungan yang dalam restorasi nya membutuhkan waktu yang sangat lama, dan dalam kurun waktu tersebut dapat memberi kerugian dalam segi ekonomis, seperti hancurnya habitat perikanan yang berujung terhambatnya pendapatan bagi nelayan setempat, dan hilangnya lokasi terumbu karang yang berdampak pada sektor pariwisata.

Jika dilihat dalam sisi hukum internasional, selain prinsip teritorialitas yang sudah dipaparkan di atas, dengan keberadaan UNCLOS atau Konvensi PBB mengenai Hukum Laut 1982, pihak Caliedonian ini sebenarnya sudah melanggar salah satu ketentuan zonasi pengaturan hukum laut yaitu dalam Bab XII (dua belas) UNCLOS 1982 yang intinya mengenai perlindungan, pelestarian lingkungan laut, pencegahan, pengurangan, dan penguasaan pencemaran laut.

Bagi nahkoda kapal Caledonian sendiri, juga dapat dikenakan kode etik awak dan kapten nahkoda kapal mengenai pertanggungjawaban mengenai perlindungan lingkungan hidup yang tertuang dalam ketentuan International Maritime Organization (IMO).

Bahkan bagi negara Inggris sendiri, dalam Code of Conduct of Merchant Navy, perusakan lingkungan hidup merupakan bentuk pelanggaran berat yang menyebabkan dapat dicabutnya izin berlayar seorang nahkoda. Melihat banyak nya pelanggaran terhadap konvensi diatas , sebaiknya pemerintah lebih baik membawa perkara ini ke Mahkamah Hukum Laut Internasional atau International Tribunale for Law of Sea (ITLOS).

Hal yang dapat ditarik, selain dengan penegakan hukum nasional yang ada maupun dengan konvensi hukum internasional mengenai perlindungan lingkungan hidup, diharapkan Indonesia dapat menguatkan kerjasama regional oleh negara-negara yang peduli terhadap eksistensi terumbu karang. Seperti contohnya memaksimalkan keikutsertaan Indonesia dalam Coral Triangle Initiative (CTI).

Tujuan CTI memberi pandangan dan persepsi bahwa pentingnya kerjasama di bidang pengelolaan terumbu karang terutama bagi seluruh komunitas masyarakat yang hidup di daerah pesisir.

Sumber daya hayati Coral Triangle secara langsung menopang kehidupan lebih dari 120 juta orang yang tinggal di kawasan ini serta memberikan manfaat bagi jutaan umat manusia di seluruh penjuru dunia. Dengan gambaran ini, diharapkan masyarakat Internasional dapat memahami penting nya eksistensi terumbu karang dan ikut sertanya dalam upaya prevensi kerusakan terumbu karang.

//*Hilma Gita Harijon
Mahasiswa