Positioning Hukum Islam di Indonesia

SUDUT HUKUM | Ingatlah petuah Viktor Serge untuk mahasiswa:

Kau ingin jadi apa? pengacara, untuk mempertahankan hukum kaum kaya yang secara inheren tidak adil? Dokter, untuk menjaga kesehatan kaum kaya dan menganjurkan makan makanan yang sehat, udara yang baik dan waktu istirahat kepada mereka yang memangsa kaum miskin? Arsitek, untuk membangun rumah nyaman untuk tuan tanah? Lihatlah di sekelilingmu dan periksan hati nuranimu, apa kau tak mengerti bahwa tugasmu adalah sangat berbeda: untuk bersekutu dengan kaum tertindas dan bekerja untuk menghancurkan sistem yang kejam ini?”.

Derasnya arus globalisasi melalui pemanfaatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah merambah ke seluruh Negara di dunia dan menjadikan dunia seolah tanpa batas. Seiring dengan perkembangan global tersebut telah berkembang pula issue global yang mencakup demokratisasi, HAM, lingkungan hidup dan keterbukaan, yang di samping membawa dampak positif dalam semangat kebersamaan antar bangsa di dunia, juga sering dimanfaatkan oleh Negara adidaya untuk melakukan intervensi terhadap Negara-negara berkembang yang menurutnya mengabaikan nilai-nilai demokratisasi, HAM, lingkungan hidup dan nilai-nilai global lainnya.

Positioning Hukum Islam di Indonesia



Menyikapi berbagai permasalahan bangsa dan krisis multi dimensi yang melanda Indonesia termasuk krisis di bidang hukum yang sarat dengan penyimpangan dan kepentingan politik. Bahkan terkesan bahwa penyimpangan tersebut seolah di lindungi oleh pembiasan hukum yang berlaku saat itu. Karena berbagai undang-undang, peraturan di design untuk melindungi perbuatan-perbuatan penyimpangan yang pada akhirnya dijadikan pembenaran dan sangat merugikan masyarakat sebagai pencari keadilan.

Pada sisi lain telah berkembang fenomena-fenomena yang merupakan kelemahan proses penegakan hukum dan sering kali sering mencerminkan rasa keadilan dan kepastian hukum. Sehingga dapat mengakibatkan kekecewaan dan lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia.

Bagi Negara teokrasi kekuasaan membuat undang-undang ada pada Tuhan yang dikuasakan kepada seorang wakil Tuhan di muka bumi, seperti Negara Vatikan ialah pada tahta suci, Pauslah sebagai wakil Tuhan. Juga pada Negara Jepang zaman sebelum perang pada Tennocheika sebagai titisan Amaterasu atau pada Hayam Wuruk sebagai titisan Wishnu. Pada Negara demokrasi, kekuasaan membuat undang-undang dan hukum sepenuhnya ada pada rakyat, rakyatlah yang berkuasa. Untuk menentukan suatu undang-undang, di Negara Barat 50% tambah 1 merupakan mayoritas.

Ada juga yang mayoritas mutlaknya tiga perempat dari jumlah suara atau tiga perempat harus hadir dan tiga perempat dari jumlah suara yang hadir. Bagi Negara Pancasila di Indonesia kekuasaan membuat undang-undang ada pada rakyat, akan tetapi tidak boleh bertentangan kehendak Tuhan. Hukum yang dibuat Tuhan sebagai hukum tertinggi dan hukum yang dibuat oleh manusia tidak boleh bertentangan dengan hukum Tuhan (ini berdasarkan teori hierarki piramidal dari Notonagoro).

Oemar Seno Adji berpendapat bahwa Negara hukum Indonesia memiliki ciri khas tersendiri karena mempunyai pandangan hidup bernegara yaitu Pancasila dan pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum. Sebagai Negara hukum yang bersumber dari Pancasila maka sudah barang tentu produk hukum dilahirkan merupakan suatu cita-cita atau nilai yang diserap dari norma-norma kehidupan masyarakat serta budayanya.

Berangkat dari penjelasan di atas yang kemudian akan muncul pertanyaan dimana posisi hukum Islam dalam menentukan kebijakan. Selama ini hukum Islam hanya dijadikan sebagai alternatif dan perspektif belaka bukan sebagai landasan utama dalam menentukan kebijakan. Jika kita menilik kembali teori hierarki piramidal dari Notonagoro seharusnya hukum Islam bukan dijadikan alternatif dan perspektif belaka karena akan berakibat fatal di kemudian hari.

Pada hakikatnya perlindungan terhadap hak orang-orang yang tidak sanggup melindungi diri sendiri merupakan fungsi utama hukum. Hukum Islam bertujuan menciptakan suatu masyarakat yang didasarkan pada rasa tanggung jawab moral yang di dalamnya setiap warga masyarakat dapat mengembangkan kepribadiannya sesuai dengan ajaran agama.

Pengaruh Islam cukup dominan dalam peta dan perkembangan hukum negeri ini, terutama yang berupa nilai-nilai agama yang selalu mendorong dan mengarahkan perkembangan masyarakat yang berdasarkan pancasila. Hal tersebut antara lain karena hukum Islam selain berfungsi sebagai pengatur, pembina dan pendorong perubahan dalam masyarakat juga berfungsi sebagai sosial kontrol.

Hukum Islam pada hakikatnya telah ada sejak ratusan tahun lalu yang kemudian berakar dan luluh dalam kehidupan masyarakat khususnya Indonesia. Karena dalam konteks pembinaan hukum nasional, modernisasi yang dilakukan bukan westernisasi sehingga asas-asas dan jiwa hukum Islam semakin terjamin. Terlebih lagi dalam pelaksanaan pembangunan nasional, peran serta muslim dalam hukum Islam dikategorikan sebagai kewajiban kolektif yang merupakan salah satu motif pembangunan yang mengarahkan pembangunan nasional tidak berorientasi dunia saja akan tetapi ibadah amaliah juga.

Dengan demikian, moralitas yang berpegangan erat pada hukum Islam tidaklah perlu cemas terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pada dasarnya didorong oleh semangat eksperimental belaka, yang justru memiliki sifat keterbatasan. Pengetahuan Islam memiliki dimensi lain yang dalam hal eksistensi dan aktualisasi manusia dan permasalahannya akan selalu mengacu pada kebenaran atau ketidakbenaran atas dasar otoritas wahyu Allah yang merupakan kriteria tertinggi.

Apakah hukum-hukum yang di buat oleh pemerintah bertujuan untuk kemaslahatan rakyat Indonesia secara menyeluruh atau hukum itu di buat hanya untuk melindungi dirinya sendiri dengan mengataskan namakan rakyat Indonesia? Pertanyaan sederhana ini yang kemudian menjadi tugas kita bersama untuk lebih kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang dilayangkan oleh pemerintah untuk rakyatnya.//*Nanda Irwansyah