Presidential Threshold

PEMBAHASAN RUU Penyelenggaraan Pemilu oleh DPR dan pemerintah belum juga usai. Bahkan, walau tidak diharapkan, potensi terjadinya jalan buntu (deadlock) telah diantisipasi pemerintah.

Masih terdapat perbedaan pandangan, baik antarfraksi di DPR maupun antara fraksi di DPR dan pemerintah mengenai beberapa isu utama yang menen­tu­kan corak sistem pemilu yang akan datang. Salah satunya adalah tentang persyaratan ambang batas perolehan suara atau kursi sebagai syarat pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold/ PT).

Presidential Threshold


Perdebatan PT tidak hanya terkait dengan soal besaran persentase, tetapi juga dikaitkan dengan eksistensinya, bertentangan dengan konstitusi atau tidak. Eksistensi PT telah dinyatakan oleh MK tidak bertentangan dengan UUD 1945 melalui Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013. PT ada di wilayah kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang menjadi wewenang pembentuk undang-undang. PT telah diterapkan pada 3 kali pemilu di era reformasi.

Soal PT kembali mengemuka setelah adanya putusan MK yang menyatakan bahwa pemilu legislatif dan pemilu presiden harus dilakukan secara serentak. Walaupun putusan ini sama sekali tidak berkaitan dengan soal PT, banyak pihak menjadikannya sebagai landasan untuk menyatakan bahwa dengan pemilu serentak, PT menjadi bertentangan dengan konstitusi.

Acuan Konstitusional


Landasan konstitusional pencalonan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”

Pasal itu menentukan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat diusulkan oleh satu partai politik saja atau oleh gabungan beberapa partai politik yang bersama-sama mengusulkan satu pasangan calon presiden dan wakil presiden sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Memaknai ketentuan tersebut tentu tidak dapat dilepaskan dari konteks pembahasan perubahan UUD 1945, khususnya dari arah sistem kepartaian.

Para perumus perubahan UUD 1945 telah mendiskusikan bahwa untuk membentuk pemerintahan yang stabil atau yang dapat dikelola (governability), diperlukan sistem multipartai sederhana. Tidak seperti sistem multipartai ekstrem di awal era Reformasi dan belajar dari hasil Pemilu 1999, tetapi di sisi lain juga tidak mau terjebak pada sistem kepartaian terbatas seperti masa Orde Baru. Sistem multipartai sederhana itu diwujudkan dalam sistem pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden dan wakil presiden.

Salah satu wujudnya adalah rumusan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Frasa “diajukan oleh partai politik” berarti bahwa satu partai politik dapat mengajukan satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Partai politik ini adalah partai politik yang memiliki kekuatan politik tertentu sehingga dapat menjamin stabilitas pemerintahan serta governability, khususnya dalam hubungannya dengan DPR.

Jika suatu partai politik itu tidak memiliki kekuatan politik yang signifikan guna menjaga stabilitas dan governability, partai itu harus bergabung dengan partai politik lain untuk mengajukan satu pasangan calon presiden dan wakil presiden bersama-sama. Karena itu pasangan calon presiden dan wakil presiden juga dapat diajukan oleh gabungan partai politik.

Kriteria kekuatan politik yang paling terukur sebagai dasar pengajuan pasangan calon adalah suara sah yang diperoleh dalam pemilu legislatif atau jumlah kursi yang diperoleh di DPR. Antara suara sah yang diperoleh dengan jumlah kursi yang diperoleh di DPR tentu tidak akan banyak selisih mengingat sistem pemilu legislatif yang menganut sistem proporsional atau distrik berwakil banyak.

Persentase jumlah kursi DPR pasti lebih tinggi dari persentase suara sah yang diperoleh karena adanya suara yang tidak diperhitungkan, baik karena tidak memenuhi parliamentary threshold maupun sisa suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi.

Pemilu Serentak dan PT


Walaupun saat ini pendapat yang menolak PT didasarkan pada pelaksanaan pemilu serentak, sesungguhnya kedua hal itu memiliki orientasi yang sama, yaitu mencapai stabilitas pemerintahan. Keduanya berangkat dari asumsi bahwa meskipun dalam sistem presidensial kekuasaan presiden mendapatkan jaminan konstitusional yang sangat kuat, dalam realitas politik dan ketatanegaraan dipengaruhi oleh relasinya dengan parlemen.

Pencapaian stabilitas pemerintahan melalui pemilu serentak diharapkan terjadi terutama dari efek keserentakan (cocktail effect) terhadap pilihan pemilih. Pemilih diharapkan memberikan pilihan secara konsisten antara partai politik untuk pemilu legislatif dan pasangan calon presiden serta wakil presiden yang diusung.

Hal ini juga didorong oleh pelaksanaan kampanye secara bersamaan sehingga antara partai politik pengusung dengan pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat saling mengampanyekan. Partai politik diharapkan membangun koalisi permanen, yaitu koalisi yang dibangun sebelum pelaksanaan pemilu legislatif sehingga tidak semata-mata ditentukan oleh pertimbangan kekuatan politik praktis.

Tapi tetap harus diingat bahwa kasus sebaliknya dapat saja terjadi. Antara pilihan terhadap partai politik berbeda dengan pilihan atas pasangan calon presiden dan wakil presiden. Hal ini sangat dimungkinkan karena pemilih Indonesia cenderung memilih partai berdasarkan ikatan ideologis tradisional, sedangkan pilihan terhadap calon presiden dan wakil presiden lebih didasarkan pada popularitas figur.

Hal ini juga terjadi pada Pemilu 2004 dan 2009, walaupun pemilu belum dilaksanakan secara serentak. Setidaknya Pemilu 2009 di mana tiap partai telah dapat diramalkan akan mengusung calon presiden yang mana ternyata partai politik pemenang pemilu tidak mampu menjamin pasangan calon presidennya terpilih. Sebaliknya presiden terpilih ternyata adalah calon yang diajukan partai politik menengah.

Terdapat potensi besar yang mendorong partai politik tetap mengajukan calon masing-masing. Target yang dituju bukan menjadi calon terpilih, melainkan menyolidkan suara partai politik, apalagi jika kapasitas merebut suara dari orang yang dicalonkan lebih besar dari kapasitas partai politik. Partai politik tidak akan takut kehilangan momentum untuk membangun koalisi pemerintahan karena masih ada kesempatan yaitu pada saat penyusunan kabinet.

Perolehan suara pemilu sebagai dasar koalisi yang dihindari oleh pemilu serentak sebagai dasar koalisi saat mengusung pasangan calon bergeser menjadi dasar koalisi dalam pembentukan pemerintahan yang sangat mungkin lebih bersifat pragmatis lagi. Karena itu tujuan dari pemilu serentak adalah untuk mewujudkan stabilitas pemerintahan dan governability melalui proporsionalitas antara hasil pemilu legislatif dan pemilu presiden serta melalui pembentukan koalisi permanen sesungguhnya yang lebih kuat jika menggunakan ketentuan PT.

Keharusan melakukan koalisi semakin kuat karena kalaupun masih ada kemungkinan koalisi pada saat pembentukan pemerintahan, koalisi awal yang dibangun pada saat pengajuan pasangan calon akan lebih permanen dan menarik bagi partai politik. Koalisi yang terbentuk melalui persyaratan PT juga memastikan proporsionalitas antara komposisi kursi di DPR dengan Presiden terpilih.

Karena itu tidak ada alasan mempertentangkan antara pe­milu serentak dengan eksis­tensi PT. Persoalannya hanya pada tataran teknis dan peralihan. Pada tataran teknis me­nen­tu­kan dasar PT dengan sendirinya pilihan terbaik adalah hasil pemilu se­belumnya. Adapun un­tuk partai baru perlu dirumuskan pada ketentuan peralihan, misalnya harus berkoalisi dengan partai lama atau dapat mengajukan sendiri bersama sejumlah partai baru yang lain.

Janedjri M Gaffar
Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang